(IslamToday ID) – Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari khawatir amandemen UUD 1945 akan menjadi pintu masuknya kepentingan elite politik. Mulai dari penambahan wewenang MPR sampai perubahan masa jabatan presiden.
Menurutnya, jika itu terjadi maka akan merusak cita-cita dari perbaikan sistem konstitusi yang dibangun sejak reformasi.
“Akan ada potensi bola salju kepentingan dimana bola salju itu menggelinding dan membesar dan itu bisa masuk ke kepentingan-kepentingan politik jangka pendek yang tidak baik bagi ketatanegaraan bagi kita. Seperti isu periode ketiga, pemilihan presiden melalui MPR,” kata Feri seperti dikutip dari CNN Indonesia, Selasa (17/8/2021).
Ia melanjutkan, penambahan masa jabatan presiden dan wewenang MPR akan berbahaya. Selain itu, ia juga menyebut itu tidak sehat dan seakan kembali ke Orde Baru.
Ia mengatakan apalagi jika ditambah dengan kehadiran Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), yang dinilai serupa dengan GBHN Orde Baru, dimanfaatkan untuk membungkam kebebasan hak-hak yang telah ditetapkan oleh konstitusi.
“Nanti akan dikatakan KPK bertentangan GBHN, bahkan presiden bisa bertentangan dengan GBHN ini ujung-ujungnya mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi,” kata Direktur Pusako ini.
Ia mengatakan wacana amandemen itu harus diwaspadai. Sebab, kemungkinan poin-poin tadi untuk dimasukkan akan selalu ada, meskipun elite politik saat ini menampiknya.
Oleh sebab itu, Feri mengkritik jika memang akan dilakukan amandemen, maka harus dilakukan secara transparan. Ia menyebut berbagai usulan dari DPR, MPR, dan DPD harus dibeberkan ke publik secara detail.
Ia mengatakan, selama ini beberapa perubahan yang berkaitan dengan hukum sering dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Feri beranggapan di saat itulah kemungkinan kepentingan elite politik dimasukkan.
“Harus diingat ada ruang selalu berupaya dilakukan ketika perubahan di saat pembahasan. Dan ruang itu tidak jelas juntrungannya apa, karena mereka bisa memasukkan banyak hal,” ucapnya.
Feri mengatakan, saat ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan amandemen UUD 1945. Ia menilai seharusnya pemerintah fokus pada penanganan pandemi.
“Kenapa kemudian membahas perubahan UUD di masa pandemi? Cenderung pembahasan di masa-masa dalam keadaan genting berbahaya seperti ini lebih sarat kepentingan politiknya daripada kepentingan publik,” ujarnya.
Sebelumnya, DPR, MPR dan presiden kompak mendorong adanya amandemen terbatas UUD 1945. Ketua MPR, Bambang Soesatyo mengatakan amandemen itu hanya untuk menghadirkan PPHN.
Ia juga mengatakan, presiden berpesan agar amandemen tidak melebar ke hal lain, termasuk perubahan masa jabatannya. Sementara itu, Wakil Ketua DPD RI, Sultan B Najamudin mengusulkan agar pemilihan presiden dan wakil presiden kembali dipilih oleh MPR.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago juga mengatakan rencana amandemen UUD 1945 dinilai tak ada urgensinya sama sekali, karena dikhawatirkan akan terjadi persekongkolan jahat antara desain agenda pemerintah dengan agenda partai di parlemen.
“Amandemen saat ini tidak ada urgensinya, momentumnya tidak ada, (diduga) pintu masuknya amandemen hanya soal penambahan masa jabatan presiden,” kata Pangi seperti dikutip dari KOMPAS TV, Selasa (17/8/2021).
Ia menyebut, kondisi parlemen sekarang itu bisa dibilang sedang tidak sehat, karena perbandingan antara partai koalisi dan opisisi amat tidak seimbang.
“Amandemen sangat berbahaya karena tidak ada yang menjamin bergeser ke pasal-pasal lain, jadi bisa merembes ke pasal-pasal yang berpotensi mengganggu kepentingan nasional,” ujarnya.
Selain itu, amandemen UUD 1945 juga tak ada urusannya dengan kepentingan rakyat yang kini sedang banyak mengalami kesusahan akibat adanya pandemi Covid-19.
“Ini kan nggak ada urusan dengan agenda rakyat. Ini baunya amis, hanya kepentingan agenda elite, bukan berurusan dengan agenda melindungi rakyat dari kemiskinan dan kelaparan,” kata Pangi.
Ia menambahkan, berdasarkan hasil survei Voxpol Center juga menunjukkan bahwa publik tidak setuju amandemen karena itu belum dikaji secara komprehensif. Kemudian, isu tersebut juga hanya baru masuk isu di tataran elite demi kepentingan kekuasaan semata.
“Ketika amandemen di buka pintunya, maka yang bakal didesain adalah penambahan masa jabatan 3 periode. Karena memang pintu masuknya hanya satu jalan adalah lewat amandemen, kalau enggak opsi alternatif seperti wacana KPU menunda pemilu sampai tahun 2027,” katanya. [wip]