(IslamToday ID) – Isu amandemen UUD 1945 dan perubahan masa jabatan presiden mendapat tanggapan dari pakar hukum tata negara UGM, Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu.
Ia mengatakan MPR RI tidak perlu melakukan amandemen UUD 1945, sebab dari sisi hukum tata negara saat ini tidak ada hal yang mendesak untuk dilakukan pengaturan ulang soal konstitusi negara.
Justru, menurutnya, jika dipaksakan dan sering terjadi amandemen menyebabkan negara tidak pernah akan stabil, baik dalam sisi hukum maupun politik.
“Setiap negara yang terlalu sering mengubah konstitusinya akan mengakibatkan negara tersebut tidak akan pernah stabil,” kata Sandi seperti dikutip dari laman ugm.ac.id, Selasa (7/9/2021).
Ia berpendapat apabila dasar negara sering diamandemen maka fondasi negara akan selalu bergeser. Padahal, diperlukan waktu yang lama untuk menstabilkan sebuah negara.
Sandi mengungkapkan, secara filosofis UUD 1945 merupakan kontrak dasar hubungan antara yang diperintah dan yang memerintah, serta antar para pemegang kekuasaan negara. Oleh karena itu, UUD merupakan kontrak jangka panjang dalam penyelenggaraan negara, bukan untuk kepentingan waktu sesaat.
“Jika UUD diubah hanya untuk memenuhi hasrat sesaat, pasti UUD akan detail dan tidak long lasting,” tutur Dosen Fakultas Hukum UGM ini.
Sandi mencontohkan pengalaman Carlos Menem di Argentina yang berhasil mengubah UUD untuk melanggengkan kekuasaannya selama tiga periode. Tetapi tetap saja akhirnya terjadi kekacauan dan kemudian UUD Argentina diubah lagi dengan mengembalikan ke posisi semula.
Selain itu, pendapat Sandi, konstruksi amandemen UUD 1945 sekarang lebih condong dikuasai partai politik, khususnya berkaitan dengan keputusan akhir melakukan amandemen.
Lembaga negara atau alat negara manapun dapat mengajukan permintaan amandemen UUD kepada MPR, nantinya MPR akan menelaah dan memutuskan dalam rapat paripurna MPR. Sedang MPR beranggotakan anggota DPR dan anggota DPD.
“Jika kemudian seluruh anggota DPR yang semuanya berasal dari parpol menyetujuinya maka proses amandemen pasti terjadi,” kata Sandi.
Ia juga sempat menyinggung wacana amandemen UUD 1945 yang akan menghidupkan kembali GBHN melalui Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) seperti aturan GBHN yang pernah ada di era Orde Baru.
Menurutnya, aturan ini bertentangan konsep pemilihan langsung presiden dan wakil presiden. Sebab, jika pemerintah melaksanakan program kerja yang ditentukan oleh MPR, berarti Indonesia termasuk ke dalam negara parlementer. Walaupun MPR tidak bisa sepenuhnya dikategorikan sebagai parlemen. [wip]