(IslamToday ID) – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani secara resmi mengajukan kebijakan pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) atas barang kebutuhan pokok atau sembako, jasa pendidikan atau sekolah, dan jasa kesehatan kepada Komisi XI DPR RI. Pengajuan dilakukan dalam rapat yang digelar pada hari Senin (13/9/2021).
“Terhadap barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak seperti barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan dikenakan PPN dengan tarif yang lebih rendah dari tarif normal,” kata Sri Mulyani seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Kendati begitu, ia mengatakan pemerintah tetap membuka opsi bahwa barang dan jasa tersebut bisa tidak dipungut pajak. Selain itu, pemerintah juga berpeluang memberikan kompensasi bagi masyarakat yang tidak mampu.
“Atau dapat tidak dipungut PPN serta bagi masyarakat yang tidak mampu dapat diberikan kompensasi dengan pemberian subsidi,” imbuhnya.
Menurutnya, opsi kebijakan ini sengaja diberikan agar asas keadilan dapat diwujudkan. Namun, hal ini akan disesuaikan dengan melihat tingkat pendapatan dari berbagai kelompok masyarakat.
Selain mengajukan usul pungutan PPN atas sembako, sekolah, dan kesehatan, bendahara negara juga mengungkap usulan tentang kebijakan PPN multitarif.
Rencananya, kebijakan ini dengan menaikkan tarif umum PPN dari 10 persen menjadi 12 persen dan memperkenalkan skema multitarif dengan kisaran 5 persen sampai 25 persen pada barang dan jasa.
Ia juga mengusulkan kemudahan dan penyederhanaan PPN untuk barang dan jasa kena pajak (BKP/JKP) dengan tarif tertentu yang dihitung dari peredaran usaha dengan besaran tarif lebih rendah dari 5 persen.
Selanjutnya, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu juga menyampaikan usulan kebijakan PPN lainnya, seperti pengenaan PPN menyeluruh bagi semua barang dan jasa, kecuali yang sudah menjadi objek Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) seperti pajak restoran, hotel, parkir, dan hiburan.
Pengecualian juga dilakukan pada uang dan emas batangan untuk cadangan devisa, serta surat berharga. Kemudian, jasa pemerintahan umum yang tidak dapat disediakan pihak lain dan jasa penceramah keagamaan. Hal ini untuk mencerminkan keadilan dan lebih tepat sasaran.
Sementara itu, fasilitas yang tidak dipungut PPN atas barang dan jasa tertentu dilakukan untuk mendorong ekspor di dalam dan luar kawasan tertentu, serta hilirisasi sumber daya alam, fasilitas PPN dibebaskan atas BKP/JKP strategis diubah menjadi fasilitas PPN tidak dipungut, dan kelaziman serta perjanjian internasional.
Ditolak Kalangan DPR
Sejumlah anggota DPR pun merespons dengan menolak usulan Sri Mulyani tersebut. Menurut mereka, pengenaan PPN dalam kondisi ekonomi yang masih terdampak pandemi akan membuat masyarakat semakin sulit.
Anggota Komisi XI DPR Fraksi Partai Nasdem Fauzi Amro menolak tegas pengenaan pajak ke sejumlah bidang tersebut. “Hal ini akan memberatkan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah,” katanya seperti dikutip dari DetikCom.
Fauzi menyebutkan lebih baik pemerintah menarik pajak dari sumber lain, misalnya mengejar perusahaan teknologi yang beroperasi di Indonesia untuk membayar pajak seperti Google, Facebook, Instagram, Twitter, sampai Netflix. Selanjutnya e-commerce seperti Tokopedia sampai Shopee.
“Untuk menutupi defisit, Nasdem setuju berbagai sektor potensial yang ditarik seperti pajak cukai plastik, pajak digital, minuman berpemanis, hingga pajak karbon,” jelasnya.
Kemudian anggota Komisi XI dari PKS Ecky Awal Mucharam menyayangkan jika pemerintah memiliki rencana penarikan pajak tersebut. Apalagi di masa pandemi kebutuhan pokok seperti sembako, pendidikan, hingga kesehatan merupakan hal yang sangat penting.
“Fraksi PKS dengan tegas tidak bisa menerima pengenaan PPN atas kebutuhan pokok yang mendasar. PKS tidak bisa menerima jika layanan sosial dan pendidikan hingga keagamaan dikenakan pajak,” jelasnya.
Selanjutnya anggota Komisi XI DPR Fraksi Partai Demokrat Vera Febyanthy juga meminta penjelasan kepada Sri Mulyani terkait rencana tersebut. Menurutnya, pemerintah harus selektif dan sensitif dalam memasukkan objek pajak baru. Apalagi yang terkait dengan hajat hidup orang banyak.
“Sensitivitas tersebut sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas dan ini tidak menurunkan daya konsumsi masyarakat yang menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia,” katanya. [wip]