(IslamToday ID) – Pemerintah akan menerapkan kelas standar dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sehingga dengan adanya kelas standar ini, maka sistem kelas 1, 2, dan 3 yang berlaku dalam program BPJS Kesehatan akan dihapuskan.
Lantas, seperti apa konsep penerapan kelas standar BPJS Kesehatan?
Konsep kelas standar nantinya hanya akan terdapat dua kelas kepesertaan program, yakni Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan non-PBI. Segmen peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) dan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau mandiri akan tergolong sebagai non-PBI.
Berdasarkan kelas PBI dan non-PBI itu, ketentuan luas kamar dan jumlah tempat tidur tiap kamar akan berbeda.
Dimana untuk kelas untuk peserta PBI, minimal luas per tempat tidur (dalam meter persegi/m2), sebesar 7,2 meter persegi dengan jumlah maksimal 6 tempat tidur per ruangan.
Sementara di kelas untuk peserta non-PBI, luas per tempat tidur sebesar 10 meter persegi dengan jumlah maksimal 4 tempat tidur per ruangan.
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan, maka kelas standar akan mewujudkan akses dan mutu sesuai standar pelayanan, menyediakan kebutuhan standar minimal sarana prasarana dan alat kesehatan, serta menyediakan sumber daya manusia yang sesuai dengan rasio pasien.
Adanya dua kelas itu berdasarkan catatan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) akan membuat perhitungan iuran menjadi lebih sederhana, karena paket tarif Indonesia Case Based Groups (INA-CBG’s) pun menjadi lebih sedikit.
Oleh karena itu, dalam kajiannya pemerintah ingin menggandeng atau mengajak kerja sama para asuransi swasta yang berlaku di Indonesia.
“Akan membuat mekanisme urun biaya atau benefit sharing supaya bisa melibatkan swasta. Misalnya, asuransi di sini bisa combine benefit-nya dengan asuransi-asuransi swasta,” jelas Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Kamis (16/9/2021) lalu.
Sementara itu, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Tubagus Achmad Choesni mengatakan pihaknya akan melakukan harmonisasi dan uji coba penerapan kelas standar BPJS Kesehatan secara bertahap pada awal tahun depan.
“Pada 2023-2024 bisa implementasi bertahap dan peninjauan peraturan dengan melihat beberapa lesson learn dari implementasi dan jika tidak ada perubahan, maka pada 2025 bisa langsung mengimplementasikan kelas standar tunggal,” jelas Tubagus seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Selasa (21/9/2021).
Dalam pelaksanaan kelas standar nantinya, pemerintah ingin mengajak kerja sama asuransi swasta untuk melakukan sharing benefit atau berbagi keuntungan. Pasalnya, kata Tubagus, saat ini ada beberapa layanan yang belum bisa dicover oleh BPJS Kesehatan.
Oleh karena itu, kata Tubagus, asuransi swasta berperan agar masyarakat bisa memenuhi pelayanan kesehatan yang dibutuhkan.
“Ada koordinasi penyelenggaraan jaminan, kalau misalnya teman-teman peserta ingin menambah manfaat dengan asuransi kesehatan tambahan,” jelas Tubagus.
Pertimbangkan Kondisi Finansial
Dihubungi terpisah, anggota DJSN Muttaqien menjelaskan sampai saat ini pihaknya bersama otoritas terkait masih terus memformulasikan mengenai iuran BPJS Kesehatan jika nanti mulai diterapkan kelas standar.
Saat ditanya apakah tarifnya akan pada kisaran Rp 50.000 sampai Rp 70.000 per bulan, Muttaqien belum bisa memastikan. “Ini sampai sekarang belum bisa dijawab. Karena masih menunggu finalisasi KDK Kemenkes,” jelas Muttaqien.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengimbau agar pemerintah dan otoritas dalam menerapkan tarif iuran BPJS Kesehatan kelas standar harus mempertimbangkan kondisi finansial dan daya beli peserta mandiri.
Ketua YLKI Tulus Abadi menjelaskan kelas standar secara harafiah memang merupakan amanat Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), oleh karena itu pemerintah sebaiknya mempertimbangkan kemampuan para peserta mandiri atau Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) terutama yang Kelas III.
Artinya tarif kelas standar BPJS Kesehatan harus bisa dijangkau untuk semua kalangan atau harus lebih murah dari tarif yang berlaku saat ini.
“Tarif ini, memang dengan kelas standar ini kan harapannya akan menjadikan tarif yang lebih rasional kepada masyarakat. Tapi, implikasinya ke kelompok menengah ada kenaikan,” ujar Tulus, Senin (20/9/2021).
“Artinya pemerintah untuk menetapkan sistem tarifnya harus ada kajian komprehensif yang memperhatikan semua kepentingan, semua stakeholders. Khususnya di kelas menengah ke bawah, terutama yang Kelas III,” tambahnya.
Seperti diketahui, sejak Januari 2021 iuran BPJS Kesehatan Kelas III peserta PBPU telah mengalami kenaikan. Iuran yang berlaku saat ini adalah sebesar Rp 42.000 per bulan, namun pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp 7.000 per anggota.
Sehingga peserta PBPU Kelas III BPJS Kesehatan harus membayar Rp 35.000 per bulan, naik Rp 9.500 dari sebelumnya hanya Rp 25.500 per bulan. Sementara untuk Kelas I Rp 150.000 per bulan dan Kelas II Rp 100.000 per bulan.
Adapun bila mengalami keterlambatan atau tunggakan pembayaran, maka akan ada denda yang dikenakan. Besaran denda diatur dalam Perpres No 64 Tahun 2020 dimana denda yang dibebankan sebesar 5 persen dari biaya diagnosa awal pelayanan kesehatan rawat inap dikalikan jumlah bulan tunggakan.
Pun jika dilihat dari jumlah kepesertaannya, berdasarkan data DJSN, Kelas III memiliki jumlah peserta yang tidak bisa dibilang sedikit, yakni sebanyak 23 juta orang atau tepatnya 23.126.007 peserta per Juni 2021.
“Kalau dengan kelas standar artinya nanti Kelas III kan terjadi kenaikan, itu yang harus ada perhitungan kemampuan finansial, daya beli, dan lain sebagainya,” pungkas Tulus. [wip]