(IslamToday ID) – Presiden Jokowi mengaku tidak ingin konflik agraria terus berlangsung di masyarakat. Hal itu ia sampaikan saat menyerahkan sertifikat tanah objek reforma agraria kepada para petani, nelayan, dan masyarakat umum.
Jokowi menegaskan komitmen pemerintah untuk memberi kepastian hukum atas tanah secara berkeadilan. Ia berkata upaya mewujudkan hal itu menjadi tugas seluruh elemen bangsa.
“Saya sudah berkali-kali menyampaikan bahwa tidak ingin konflik agraria yang terjadi di banyak daerah ini terus menerus berlangsung. Saya tidak ingin rakyat kecil tidak mempunyai kepastian hukum terhadap lahan yang jadi sandaran hidup mereka,” katanya di Istana Kepresidenan Bogor seperti dikutip dari CNN Indonesia, Kamis (23/9/2021).
Jokowi memahami konflik agraria jadi tantangan berat para penggarap lahan. Ia mengaku selalu menerima aduan dari para penggarap lahan yang mengalami konflik agraria.
Ia mengaku sudah beberapa kali mengundang perwakilan masyarakat sipil untuk merumuskan solusi atas konflik agraria. Pemerintah pun sering mengadakan rapat terbatas khusus membahas konflik agraria.
Jokowi menyebut salah satu upaya pemerintah adalah redistribusi tanah kepada masyarakat. Upaya itu dilakukan secara berkala di berbagai daerah.
“Hari ini bertepatan dengan Hari Agraria dan Tata Ruang 2021, saya akan menyerahkan 124.120 sertifikat tanah hasil redistribusi di 26 provinsi, 127 kabupaten/kota, 5.512 di antaranya hasil penyelesaian konflik agraria di 7 provinsi,” tutur Jokowi.
Sementara, melalui akun Twitter pribadinya, Jokowi juga menulis soal pentingnya kepastian hukum tidak hanya bagi masyarakat kecil, tapi juga bagi pengusaha terkait dengan kepemilikan lahan.
“Kita tidak ingin rakyat kecil tidak mempunyai kepastian hukum terhadap lahan yang menjadi sandaran hidup mereka. Kita juga tidak ingin para pengusaha tidak mempunyai kepastian hukum atas lahan usahanya,” tulisnya di @jokowi.
Sebelumnya, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat konflik agraria yang terjadi selama kepemimpinan Jokowi 2015-2020 mencapai 2.291 kasus.
Sekjen KPA Dewi Kartika mengatakan jumlah kasus itu melampaui 10 tahun masa kepemimpinan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang hanya 1.770 kasus.
“Sehingga memang yang kita lihat sekarang adalah konflik agraria yang tidak berkesudahan,” kata Dewi, Senin (13/9/2021).
Berdasarkan catatan KPA, dalam periode 2015-2020, sektor perkebunan menjadi penyumbang konflik tertinggi, yaitu 851 kasus. Diikuti sektor properti 519, kehutanan 169, pertanian 147, pertambangan 141, pesisir dan pulau-pulau kecil 63, serta pembangunan infrastruktur 30, dan fasilitas militer 21.
“Sehingga tidak heran kalau kita bicara situasi riil di lapangan sampai sekarang ada puluhan ribu desa dengan tanah-tanah pertanian produktif masyarakat yang tumpang tindih di dalam konsesi perkebunan HGU milik swasta atau negara,” tuturnya.
Jumlah kasus konflik lahan tersebut menunjukkan ada tindakan perampasan tanah yang sangat masif di seluruh wilayah Indonesia. “Baik itu di desa-desa yang ditempati oleh masyarakat agraris, bahari, pedesaan, hingga masyarakat adat,” imbuh Dewi. [wip]