(IslamToday ID) – Direktur Jenderal (Dirjen) PAUD dan Pendidikan Dasar Menengah Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) Jumeri mengklarifikasi soal gaduh data terkait 2,8 persen atau 1.296 sekolah menjadi klaster Covid-19 yang diduga terjadi selama pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas.
Menurut Jumeri, jumlah klaster itu bukan terjadi selama PTM terbatas yang belakangan baru diberlakukan, melainkan data selama pandemi Covid-19.
“Itu akumulasi selama 18 bulan, bukan saat PTM terbatas saat ini,” katanya seperti dikutip dari CNN Indonesia, Jumat (24/9/2021).
Lebih detail, Jumeri mengatakan, periode pengumpulan data itu dilakukan sejak Maret 2020 sampai September 2021.
Terpisah, Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim mengaku pihaknya akan terus memonitor sekolah-sekolah yang menjadi klaster Covid-19. Ia menyebut akan menutup PTM sementara jika ditemukan kasus positif di suatu sekolah.
Meski begitu, Nadiem juga menegaskan pihaknya tidak akan memberhentikan PTM terbatas di sekolah-sekolah lain. Dengan catatan protokol kesehatan harus diterapkan secara ketat.
“Itu terus kita monitor, itu temuannya. Bukan berarti PTM-nya akan diundur, masih harus jalan, terbuka, tapi sekolahnya masing-masing kalau ada kasus klaster ya harus ditutup segera, memang seperti itu,” kata Nadiem.
“PTM terbatas masih dilanjutkan, prokes harus dikuatkan,” tandasnya.
Sebelumnya, pemaparan Jumeri terkait temuan 1.296 sekolah menjadi klaster Covid-19 di sebuah webinar menjadi heboh. Banyak pihak terutama pakar pendidikan dan epidemiolog yang mempertanyakan kembali kesiapan PTM.
Sementara itu, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan, vaksinasi pelajar usia 12-17 tahun menjadi aspek penting yang perlu dipenuhi disamping penegasan penerapan prokes oleh aparat.
Satriwan mengatakan, mengutip data vaksinasi per 17 September 2021, tingkat vaksinasi anak usia 12-17 tahun yang masih di angka 12,18 persen turut berpengaruh pada terjadinya klaster sekolah.
“Karena kami, P2G, konsisten menyuarakan bahwa sekolah dapat dibuka jika guru, tenaga kependidikan, dan siswa minimal sudah divaksinasi tuntas 70 persen dari populasi sekolah,” katanya seperti dikutip dari DetikCom.
“Meskipun Mas Nadiem tidak memasukkan vaksinasi pelajar sebagai syarat sekolah dibuka (untuk PTM terbatas), bagi kami lebih aman vaksinasi pelajar itu minimal 70 persen. Nah ini baru 12,18 persen. Jadi wajar saja sekolah jadi klaster, wong pelajarnya belum divaksin kok,” kata Satriwan.
“Kalau tidak siap memenuhi unsur daftar periksa seperti item sarana prasarana prokes, data siswa komorbid, disinfektan, sekolah jangan dibuka (untuk sekolah tatap muka),” kata Satriwan.
Ia juga mengimbau pihak sekolah untuk menyampaikan informasi jujur kepada orang tua terkait kesiapan sekolah untuk memulai sekolah tatap muka terbatas.
Di sisi lain, kata Satriwan, orang tua hendaknya tidak terburu-buru menyekolahkan anak jika sekolahnya tidak memberikan data lengkap dan komprehensif tentang kesiapan penyelenggaraan PTM sekolah.
“Orang tua mesti mendapat informasi komprehensif dari sekolah. Karena itu orang tua jangan mendesak, karena lama-lama sekolah malah bisa memaksakan diri meskipun sebenarnya tidak siap dari sarana prasarana prokes. Dan sekolah harus jujur,” kata Satriwan.
Ia menambahkan, P2G meminta pihak sekolah menyampaikan surat izin sekolah tatap muka kepada orang tua lengkap dengan lampiran data kesiapan PTM terbatas, termasuk data vaksinasi guru, siswa, dan kuantitas sarana prasarana.
Dengan demikian, lanjutnya, orang tua dapat memutuskan anak diberi izin untuk sekolah tatap muka atau PJJ berdasarkan data empiris dan pertimbangan matang. [wip]