(IslamToday ID) – Riset AidData mengungkap ambisi China untuk membuat jalur sutera baru yang dikenal Belt and Road Initiative (BRI) mendorong puluhan negara menumpuk “utang tersembunyi” mencapai 385 miliar dolar AS. Salah satunya adalah Indonesia yang disebut memiliki utang tersembunyi sebesar 17,28 miliar dolar AS atau setara Rp 266 triliun.
Berdasarkan laporan AidData yang dirilis akhir bulan lalu, utang tersembunyi China ke Indonesia diberikan sepanjang 2000-2017. Nilainya setara 1,6 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Namun, Indonesia bukanlah negara yang memiliki porsi utang tersembunyi terhadap PDB ke China paling besar. Laos diketahui memiliki utang mencapai 35 persen terhadap PDB-nya, Angloa dan Namibia masing-masing 12 persen, Brunei Darussalam 14 persen, Kazakhstan 16 persen, Papua New Guinea 11 persen, Tonga 21 persen, hingga Turkmenistan 23 persen.
Di luar dari utang tersembunyi tersebut, Indonesia juga diketahui telah menerima pinjaman senilai 4,42 miliar dolar AS atau setara Rp 63 triliun pada periode yang sama melalui skema Official Development Assistance (ODA), serta pinjaman melalui skema Other Official Flows (OOF) sebesar 29,96 miliar dolar AS atau setara Rp 427 triliun. Indonesia termasuk 10 negara penerima pinjaman terbesar dari China melalui dua skema tersebut.
AidData merupakan laboratorium penelitian pengembangan internasional yang berbasis di Virginia’s College of William & Mary. Lembaga ini menganalisis 13.427 proyek pembangunan China senilai total 843 miliar dolar AS di 165 negara selama periode 18 tahun hingga akhir 2017 untuk mengungkap besaran utang tersembunyi dari proyek BRI.
AidData mendefinisikan utang tersembunyi sebagai utang yang diberikan oleh China kepada negara berkembang bukan melalui pemerintahan negara peminjam, melainkan melalui perusahaan negara (BUMN), bank milik negara, Special Purpose Vehicle (SPV), perusahaan patungan, dan lembaga sektor wasta.
Mayoritas dari utang tersebut biasanya tidak akan muncul dalam neraca utang pemerintah. Dengan demikian, utang ini tidak akan masuk dalam sistem pelaporan utang yang dibuat oleh lembaga keuangan dunia seperti Bank Dunia maupun Dana Moneter Internasional (IMF). Kendati demikian, utang ini dapat menjadi beban pemerintah apabila terjadi wanprestasi.
AidData melaporkan 70 persen pinjaman China mengalir ke lima jenis debitur tersebut. Padahal, mayoritas pinjaman China mengalir langsung ke pemerintahan sebelum adanya proyek BRI.
Laporan tersebut juga menemukan bahwa ada 42 negara yang saat ini memiliki tingkat eksposur utang publik ke China lebih dari 10 persen PDB. Mereka juga menemukan bahwa utang-utang ini secara sistematis tidak dilaporkan ke sistem pencatatan utang milik Bank Dunia Debtor Reporting System (DRS).
Hal ini karena mayoritas pemerintah pusat di negara-negara tidak melihatnya sebagai pinjaman utama yang harus segera dilunasi.
AidData juga menemukan sebagian utang yang diberikan lewat pendanaan proyek infrastruktur tersebut tidak menguntungkan bagi negara debitur. Catatan lembaga ini, ada sekitar 7 persen dari proyek BRI China sejak 2000-2017 yang menghadapi skandal, kontroversi, hingga pelanggaran hukum.
Indonesia, Pakistan, Malaysia, Vietnam, dan kenya diketahui lima negara teratas yang memiliki proyek BRI bermasalah selama periode tersebut.
“Masih harus dilihat apakah penyesalan para debitur atas proyek bermasalah, tapi utang menggunung ini akan merusak keberlanjutan jangka panjang ambisi BRI China. Tetapi jelas Beijing perlu mengatasi kekhawatiran negara-negara debitur untuk mempertahankan dukungan terhadap BRI,” kata salah satu penulis laporan tersebut Brooke Russell seperti dikutip dari Kata Data, Rabu (6/10/2021).
China juga diketahui mulai mengungguli AS dalam hal ambisi menyalurkan pinjaman pembangunan infrastruktur di luar negaranya. AidData mencatat China mengeluarkan anggaran 85 miliar dolar AS per tahun untuk program pembangunan di luar negeri, ini dua kali lebih banyak dari capaian AS sebesar 37 miliar dolar AS.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah per Agustus 2021 mencapai Rp 6.625,43 triliun atau setara dengan 40,85 persen terhadap PDB. [wip]