(IslamToday ID) – Ekonom senior Chatib Basri melihat di masa pandemi ini ada tiga hal penting yang perlu dialokasikan dana besar oleh pemerintah. Yakni sektor kesehatan, bantuan sosial (bansos), dan dukungan kepada UMKM.
Untuk bansos, ia mengatakan pemerintah perlu memperluas penerima bantuan dari 40 persen menjadi 60 persen masyarakat terbawah Indonesia atau sebanyak 160 juta orang.
“Karena itu perlindungan sosial harus tetap diberikan, bahkan saya sebetulnya mengusulkan untuk diperluas kepada 60 persen dari penduduk Indonesia,” katanya dalam webinar APBN 2022, Senin (18/10/2021).
Menurutnya, tak hanya perluas jumlah penerimanya tapi juga besaran nominal bantuan yang diberikan. Terutama untuk 40 juta masyarakat yang terdaftar sebagai rumah tangga.
Sebab, nominal yang diberikan saat ini tidak bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga dalam sebulan. Sehingga mereka tetap harus terus bekerja meski pandemi belum berakhir.
“Mereka yang miskin itu tidak mungkin tinggal di rumah, di Indonesia itu hanya orang kaya yang bisa nganggur, orang miskin dia harus kerja, ya harus keluar rumah. Makanya bansosnya jangan dikasih Rp 300.000 sampai Rp 700.000. Tapi dikasih Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta,” kata Chatib seperti dikutip dari CNBC Indonesia.
Lanjutnya, untuk memberikan bantuan sebesar itu APBN sangat mampu. Bahkan dalam enam bulan anggaran yang dibutuhkan hanya sampai Rp 240 triliun. Jika ini terlaksana maka pemulihan ekonomi jauh akan lebih cepat.
“Dalam satu bulan Rp 40 triliun, kita kasih sekitar 3 bulan atau 6 bulan tuh sekitar Rp 120 triliun sampai Rp 240 triliun dan menurut saya alokasi ada,” tegasnya.
Sementara untuk fokus sektor kesehatan, ia berharap pemerintah mempercepat vaksin dan akses vaksin gratis bisa merata di seluruh Indonesia baik di pusat kota bahkan di pedesaan.
Selain itu, pemerintah juga diminta untuk kembali menurunkan harga tes swab PCR. Sebab harga saat ini masih lebih tinggi dibandingkan negara lain, sehingga banyak masyarakat yang enggan melakukan tes karena terpentok biaya.
“Perbandingan dengan negara lain PCR itu walaupun sekarang Rp 400.000-an masih mahal. Ya mungkin yang harus dilakukan adalah penghematan, sehingga price itu jauh lebih rendah. Kemudian di daerah-daerah akses PCR juga harus diperbaiki,” pungkasnya. [wip]