(IslamToday ID) – Investigasi Tempo mengungkap sejumlah perusahaan penyedia layanan tes PCR berafiliasi atau dimiliki oleh beberapa petinggi atau pejabat dan politikus di Indonesia.
Hussein Abri Dongoran, Redaktur Majalah Tempo dalam acara ‘Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV’ menyatakan temuan itu diperoleh dari diskusi dengan sejumlah pejabat pemerintah yang menjadi background atau latar belakang temuan.
“Dari mereka pun kami mendapatkan clue bahwa perusahaan yang membuka PCR itu banyak diisi oleh politisi, pejabat, dan pengusaha,” ungkapnya seperti dikutip dari KompasTV, Selasa (2/11/2021).
Data hasil investigasi mereka pun telah dikonfirmasikan pada sejumlah pejabat yang disebut dalam artikel.
Yang paling menarik, lanjut Hussein, adalah adanya nama pemilik perusahaan yang disebut-sebut terlibat pada kasus korupsi e-KTP.
“Dari dokumen yang kami terima betul seperti itu. Dan yang paling menarik, ada salah satu perusahaan yang pemiliknya pernah disebut-sebut berkasus korupsi e-KTP,” ujarnya.
Mengenai nama politisi yang juga berafiliasi atau memiliki perusahaan penyedia layanan tes PCR, Hussein mengatakan pihaknya baru menemukan seperti yang tertulis dalam artikel.
“Yang baru kami temui seperti dalam tulisan, baru Nasdem saja, tapi kalau Pak Luhut kan juga politisi Golkar, dan kami rasa masih banyak nama-nama yang belum terungkap dari berbagai partai lain,” tuturnya.
Menurutnya, berdasarkan hasil diskusi dengan sejumlah narasumber, adanya perusahaan yang berafiliasi atau dimiliki oleh pejabat tersebut bisa disebut sebagai skandal, dan aturan yang diterbitkan oleh pemerintah terkait tes PCR sangat janggal.
“Karena berubah-ubah, dan hari ini akhirnya hanya syarat antigen yang dipakai untuk penerbangan Jawa-Bali. Artinya ada aturan yang keliru yang sekarang direvisi oleh pemerintah itu sendiri,” jelas Hussein.
Sementara, narasumber lain dalam acara itu, Bakri HM, anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PAN, menduga penyebab naik turunnya harga tes PCR bisa jadi disebabkan oleh para pejabat-pejabat itu.
“Jadi, sportivitas terhadap orang-orang yang melakukan bisnis itu saya pikir tidak terlalu transparan. Sehingga pemerintah sudah sampai empat kali mengubah harga PCR, yang dulu di atas Rp 1 juta, saat ini ada yang Rp 300.000, ada yang Rp 275.000,” kata Bakri.
Ia juga menyebut berubah-ubahnya harga PCR yang ditetapkan membuat masyarakat bingung. Meski menurutnya, masyarakat awam pun berpikir bahwa ini merupakan bentuk tidak transparannya pemerintah dalam pengelolaan PCR. “Saya pikir ini perlu diusut, kalau toh memang iya, ini yang mungkin menyebabkan harga tidak transparan.”
“Saya setuju jika ini ditindaklanjuti dan dilacak sampai akar-akarnya. Karena kita tahu bahwa transparan ini perlu di musim Covid ini. Kita berharap bahwa pelaku bisnis maupun pemerintah ini membantu masyarakat yang berdampak terhadap jiwa manusia,” tambahnya. [wip]