(IslamToday ID) – Mahkamah Agung (MA) dinilai salah kaprah mengenai konsep restorative justice saat mengabulkan uji materi sejumlah pasal yang mengatur remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 99 Tahun 2012.
Dalam pertimbangan menjatuhkan putusan, MA memandang rumusan norma yang ada dalam PP No 99/2012 semestinya harus mempunyai semangat yang sebangun dengan filosofi pemasyarakatan, yakni memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice.
“Salah kaprah yang sepertinya semakin banyak dilakukan,” ujar pakar hukum tata negara Bivitri Susanti dalam agenda diskusi di kanal YouTube Indonesia Corruption Watch (ICW) seperti dikutip dari CNN Indonesia, Rabu (3/11/2021).
Dosen STHI Jentera itu menjelaskan konsep restorative justice bukan sekadar memberikan sesuatu yang saling menguntungkan atau win-win solution sebagaimana mediasi. Menurutnya, konsep tersebut lahir saat mekanisme peradilan tidak bisa memberikan keadilan yang maksimal kepada korban.
Restorative justice, jelasnya, menitikberatkan terhadap kondisi terciptanya keadilan bagi korban.
“Dalam korupsi harus diingat korbannya itu bukan koruptor, korbannya itu kita-kita yang kehilangan hak untuk mendapat fasilitas umum yang baik, ketika alat kesehatan dikorupsi kita tidak mendapat pelayanan yang maksimal dari negara, mungkin ada yang meninggal. Korbannya ini kita, bukan koruptor,” terangnya.
“Saya kira Mahkamah Agung di sini telah salah untuk memahami restorative justice,” sambungnya.
Saat mengabulkan uji materi sejumlah pasal dalam PP No 99/2012, MA juga menilai hak untuk mendapat remisi harus diberikan tanpa terkecuali alias berlaku untuk semua warga binaan termasuk terpidana korupsi.
Bivitri mengkritik pertimbangan tersebut karena tindak pidana korupsi sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime.
“Kita bicarakan konsep extra ordinary crime, jadi memang berbeda, oleh karena itu diskriminasi dalam hal ini enggak terjadi karena jenis kejahatannya juga berdasarkan peraturan perundang-undangan sudah dibedakan. Jadi, berbeda dengan pemahaman MA tampaknya apa yang dimaknai diskriminatif,” kata Bivitri.
Di samping itu, ia turut menyinggung kondisi sistem penegakan hukum yang sudah rusak dari hulu sampai hilir (pemasyarakatan).
“Dengan kondisi itu, apakah kemudian layak bagi kita juga untuk memberikan pengurangan-pengurangan yang murah hati?” pungkas Bivitri.
MA diketahui mengabulkan uji materi sejumlah pasal yang mengatur remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor dalam PP No 99/2012.
PP No 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan itu diketahui memperketat pemberian remisi kepada narapidana tiga jenis kejahatan luar biasa, yakni korupsi, narkoba, dan terorisme.
“Putusan: Kabul HUM (Hak Uji Materiil),” demikian bunyi putusan yang telah dibenarkan oleh Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro.
Putusan itu menindaklanjuti uji materi yang dilayangkan oleh Subowo dan empat orang lainnya yang merupakan kepala desa serta warga binaan Lapas Kelas I Sukamiskin, Bandung.
Perkara No: 28 P/HUM/2021 itu diputus pada 28 Oktober 2021. Adapun susunan majelis yang menangani uji materi yaitu hakim ketua Supandi dengan hakim anggota masing-masing Yodi Martono Wahyunadi dan Is Sudaryono. [wip]