(IslamToday ID) – Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan sanksi pidana mati terkait kasus korupsi mempunyai keterbatasan. Sebab, pidana mati ini hanya terdapat pada Pasal 2 UU Tipikor saja.
Diketahui, dalam pasal tersebut terdapat sejumlah syarat bagi penerapan pidana hukuman mati agar dapat dilakukan.
Berikut bunyi pasalnya:
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Penjelasan Pasal (2):
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Padahal, kata Burhanuddin, modus dari tindak pidana korupsi dewasa ini sudah sangat beragam, dan tak hanya terbatas pada yang terdapat dalam Pasal 2 UU Tipikor saja.
“Penerapan sanksi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi ini memiliki beberapa persoalan yang patut kita cermati dan waspadai bersama-sama. Antara lain yang pertama sanksi pidana mati hanya dapat diterapkan di Pasal 2 UU Tipikor,” kata Burhanuddin dalam webinar ‘Hukuman Mati Bagi Koruptor, Terimplementasikah?’ yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) dengan Kejaksaan Agung, Kamis (18/11/2021).
“Padahal jenis dan modus tindak pidana korupsi sangat banyak dan juga dapat merugikan keuangan negara,” sambungnya seperti dikutip dari Kumparan.
Ia menilai pembatasan khusus dalam ketentuan keadaan tertentu yang menjadi syarat penerapan pidana mati dalam Pasal 2 UU Tipikor tersebut menjadi hambatan.
Ia membandingkan isi syarat dalam UU Tipikor tersebut dengan UU Narkotika. Sebab, dalam UU Narkotika, dijelaskan secara rinci syarat seseorang bisa dipidana mati. Seperti jumlah narkoba yang dibawa dan sebagainya.
Sementara di UU Tipikor, tak dijelaskan rinci apabila seorang koruptor merugikan negara sekian banyak apakah bisa dijerat pidana mati atau tidak.
Sehingga, katanya, bisa saja koruptor yang melakukan korupsi yang nilainya triliunan rupiah terhindar dari hukuman mati ini, apabila tak memenuhi syarat dalam Pasal 2 UU Tipikor.
“Kita lihat berapa keuangan negara yang dirugikan sebagai parameter utama jika diperbandingkan dengan di UU No 35/2009 tentang Narkotika, pelaku kejahatan dapat dikenakan tindak pidana mati dengan melihat parameter berapa berat jenis narkotika, mengapa di dalam tindak pidana korupsi tidak diberlakukan parameter yang serupa dengan melihat berapa kerugian negara yang ditimbulkan,” kata Burhanuddin.
“Hal ini mengakibatkan koruptor yang telah merugikan miliaran atau triliunan keuangan negara tidak dapat dikenakan tindak pidana mati sepanjang tidak ada syarat-syarat khusus dalam keadaan tertentu sebagaimana di dalam ketentuan Pasal 2 Ayat 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” sambungnya.
Berikut bunyi pidana mati dalam UU Narkotika di Pasal 113 ayat (2):
Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Hal yang sama juga diatur di pasal-pasal lain di UU Narkotika seperti Pasal 114 ayat (2); Pasal 116 ayat (2); 118 ayat (2); 119 ayat (2); 121 ayat (2) hingga 126 ayat (2).
Selain, terdapat juga hambatan lainnya, yakni frasa dalam ‘keadaan tertentu’ yang dijelaskan dalam Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor dinilai kurang jelas. Sehingga, Burhanuddin menilai diperlukannya pembahasan yang mendalam terkait frasa tersebut.
“Hal ini mengakibatkan adanya banyak tafsir dengan melibatkan banyak ahli yang justru dapat berpotensi untuk disalahgunakan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu,” kata Burhanuddin.
Selain itu, instrumen hukum di Indonesia yakni Peninjauan Kembali (PK) dapat dimintakan lebih dari satu kali. Sebab, putusan MK No 34/PPU9/2013 telah menyatakan ketentuan PK hanya boleh satu kali saja sebagaimana diatur di Pasal 268 ayat 3 KUHAP, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Selain itu, Burhanuddin menilai tak ada batasan waktu permohonan grasi bagi koruptor. Sebab, putusan MK No 107/ppu 13/2015 telah menyatakan permohonan diajukan grasi paling lama satu tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 2 UU No 5/2010 tentang perubahan atas UU No 22/2002 tentang grasi dinyatakan tidak berlaku lagi.
“Kedua putusan MK tersebut berpotensi dapat menjadikan pelaksanaan putusan menjadi berlarut-larut, manakala terpidana yang hendak dieksekusi tiba-tiba mengajukan permintaan PK atau permohonan grasi,” kata Burhanuddin.
Terkait hukuman mati ini, ia menilai sangat layak diterapkan pada koruptor. Salah satu tujuannya adalah sebagai efek jera.
“Pemberantasan korupsi dan sebagai media pembelajaran bagi masyarakat untuk jangan sekali-kali melakukan perbuatan korupsi. Peraturan sanksi pidana bukan semata-mata ditujukan kepada pelaku kejahatan, melainkan juga mempengaruhi norma-norma masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan,” pungkas Burhanuddin. [wip]