(IslamToday ID) – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal uji materi UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menggantung dan tidak tegas.
“Putusan ini adalah putusan kompromi. Meskipun menyatakan bertentangan dengan UUD, tetapi MK memberikan putusan yang menggantung atau tidak berani lurus dan tegas dengan logika hukum dan UU MK,” demikian keterangan YLBHI dan 17 LBH se-Indonesia seperti dikutip dari Tempo, Jumat (26/11/2021).
MK dalam amar putusannya menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini, yakni dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan dibacakan.
Putusan MK juga menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Seharusnya MK membuat putusan dengan menyatakan batal saja, sehingga tidak membuat bingung dan menoleransi pelanggaran. Ini juga membuat kondisi yang tidak mudah dipenuhi, dan malah menimbulkan ketidakpastian hukum,” demikian pendapat YLBHI.
YLBHI meminta pemerintah segera menghentikan pelaksanaan UU Cipta Kerja dan seluruh PP turunannya, serta meminta pemerintah menghentikan segera proyek-proyek strategis nasional yang telah merampas hak-hak masyarakat dan merusak lingkungan hidup.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai MK seperti mengambil politik jalan tengah dalam putusan tentang UU Cipta Kerja. Ia menilai gelagat itu salah satunya bisa dilihat dari 9 hakim ada 4 orang yang memiliki pendapat berbeda.
“Putusan ini memang jalan tengah,” kata Bivitri lewat keterangan tertulis, Kamis (25/11/2021). Ia mengatakan jalan tengah yang diambil itu membuat bingung.
Putusan MK, katanya, menyatakan bahwa proses legislasi pembentukan UU Cipta Kerja inkonstitusional. Bila demikian, seharusnya produk yang dihasilkan dari proses itu juga inkonstitusional. “Sehingga dianggap tidak berlaku,” kata Bivitri.
Meski demikian, katanya, putusan MK justru membedakan antara proses dengan hasil. “Sehingga yang dinyatakan inkonstitusional hanya prosesnya, tetapi UU-nya tetap konstitusional dan berlaku,” kata pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera ini.
Bivitri melanjutkan, putusan MK yang mengabulkan gugatan formil ini pertama dalam sejarah. Ia bilang tak mungkin MK bisa menolak lagi permohonan uji formil UU Cipta Kerja atau Omnibus Law karena cacat formil yang didalilkan para pemohon sangat nyata dan sederhana.
Di sisi lain, ia menilai MK juga masih melakukan pertimbangan politik, tidak hanya hukum. Karena itu, ia menyatakan jalan keluarnya adalah putusan MK yang membingungkan itu. Bivitri menyebutnya dengan istilah conditionally unconstitusional atau putusan inkonstitusional bersyarat selama 2 tahun.
Bivitri menilai putusan MK soal UU Cipta Kerja bukan kemenangan pemohon. UU Cipta Kerja tetap berlaku dua tahun lagi.
Meski demikian, ia menilai masyarakat masih bisa bernapas. Sebab dengan adanya putusan ini pemerintah belum bisa lagi membuat peraturan pelaksana dalam dua tahun ke depan. “Tetapi ini pun berarti peraturan pelaksana yang sudah ada dan penuh kritik tetap berlaku,” kata Bivitri.
Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan pemerintah menghormati dan mematuhi putusan MK. Pemerintah akan melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja dan mematuhi putusan MK yang memerintahkan tidak menerbitkan peraturan baru yang bersifat strategis sampai dengan dilakukan perbaikan atas pembentukan UU Cipta kerja.
“Pemerintah akan segera menindaklanjuti putusan MK melalui penyiapan perbaikan undang-undang dan melaksanakan sebaik-baiknya arahan sebagaimana dimaksud dalam putusan MK,” ujarnya. [wip]