(IslamToday ID) – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengusulkan agar DPR maupun pemerintah melakukan revisi terhadap dua undang-undang menyusul putusan MK yang menyatakan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) inkonstitusional bersyarat.
Adapun perbaikan UU yang dimaksud yaitu UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) dan UU Ciptaker itu sendiri.
“Ya, bisa diusulkan usul dua RUU terpisah. Pertama, RUU tentang Perubahan UU PPP untuk mengatur mekanisme baru khususnya untuk adopsi omnibus legislative technique. Biar jangan ngasal seperti RUU Ciptaker,” kata Jimly seperti dikutip dari Kompas, Rabu (1/12/2021).
Hal ini disampaikan Jimly untuk merespons pernyataan anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Firman Soebagyo yang mengajukan revisi UU PPP guna menyikapi putusan MK terhadap UU Ciptaker.
Jimly menjelaskan, DPR dan pemerintah perlu memperhatikan penyusunan UU dengan mekanisme yang jelas. Terlebih, apabila ke depan akan ada penerapan metode omnibus dalam UU. Sebab, Jimly menegaskan bahwa hingga kini metode tersebut belum diatur dalam aturan perundang-undangan.
“UU PPP juga untuk praktik supaya ada mekanisme yang jelas untuk menerapkan metode omnibus selanjutnya. Karena sekarang ini belum diatur, maka penerapan omnibus di UU Ciptaker berlebihan,” jelasnya.
Menurut Jimly, revisi UU PPP harus memperhatikan pula terkait penyusunan naskah UU Ciptaker yang dinilai terlalu tebal. Sekadar catatan, naskah UU Ciptaker memiliki total 1.187 halaman setelah diresmikan menjadi UU di DPR pada 5 Oktober 2020.
Ke depan, Jimly berharap revisi UU PPP juga mengatur agar ada batasan per klaster kebijakan yang saling terkait dalam pembentukan UU, sehingga tak menyebabkan halaman yang berlebih dalam naskah UU nantinya.
Sementara itu, pemerintah dan DPR juga perlu segera memperbaiki UU Ciptaker. Ada sejumlah hal yang menurut Jimly perlu diperhatikan untuk diperbaiki mulai dari ketebalan halaman naskah sehingga terkesan tak proporsional.
“Terlalu tebal, jadi sembarangan dengan menyalahgunakan momentum Covid-19. Padahal, seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2020 yang sudah menjadi UU kan juga pakai metode omnibus, tapi proporsional, tidak terlalu tebal,” ucap Jimly membandingkan.
Untuk mengatasi ketebalan halaman itu, ia meminta UU Ciptaker direvisi dengan cara membagi per klaster atau tema. Karena tebalnya halaman naskah, Jimly menyarankan pemerintah dan DPR membagi UU Ciptaker menjadi 5 hingga 10 RUU.
“Saya sarankan dipecah jadi 10 RUU atau paling sedikit jadi 5 RUU dengan fokus materi yang saling terkait langsung saja,” jelasnya.
“Mestinya, UU Ciptaker kemarin dibuat per klaster saja. Masa, baru mulai dipraktikkan langsung semua dimasukkan,” tambahnya.
Kendati demikian, mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) itu berharap semua proses pembahasan revisi terhadap dua UU itu tetap berjalan partisipatoris dan terbuka.
Artinya, kata Jimly, pembahasan keduanya harus melibatkan keterbukaan dan partisipasi publik dengan membuka perdebatan substansif serta tak mengulangi kesalahan yang lalu.
“Mudah-mudahan pemerintah bekerja cepat, supaya 2022 urusan UU Ciptaker tuntas sambil memastikan pengusaha merasa ada kepastian kebijakan yang tidak berubah-ubah. Bagaimanapun niat pemerintah baik, tinggal diperbaiki cara kerjanya,” pungkas Jimly. [wip]