(IslamToday ID) – Jaksa kini berhak mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK). Ini menyusul telah disahkannya revisi UU Kejaksaan menjadi UU oleh DPR. Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) sudah melarangnya.
“Selain melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 30A, dan Pasal 30B Kejaksaan mengajukan peninjauan kembali,” demikian bunyi Pasal 30C huruf H sebagaimana dikutip dari RUU yang disahkan DPR, Selasa (7/12/2012).
Dalam penjelasannya, disebutkan bahwa PK oleh Kejaksaan merupakan bentuk tugas dan tanggung jawab Kejaksaan mewakili negara dalam melindungi kepentingan keadilan bagi korban, termasuk bagi negara, dengan menempatkan kewenangan jaksa secara proporsional pada kedudukan yang sama dan seimbang (equality of arms principle) dengan hak terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan permohonan PK.
“Peninjauan kembali yang diajukan oleh oditurat dikoordinasikan dengan Kejaksaan. Jaksa dapat melakukan PK apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan,” demikian bunyi penjelasan tersebut seperti dikutip dari DetikCom.
Soal kasus jaksa tidak boleh meminta PK pernah diputuskan oleh MK, yaitu saat istri Djoko Tjandra, Anna Boentaran mengajukan judicial review KUHAP ke MK. Dalam putusan itu, MK menyatakan jaksa penuntut umum tidak bisa mengajukan permohonan PK, kecuali terpidana atau ahli warisnya.
“Mengabulkan permohonan Pemohon, Pasal 263 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit (tegas) tersurat dalam normaa quo,” ucap Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan bernomor No. 33/PUU-XIV/2016 di ruang sidang MK, Kamis (12/5/2016).
Pasal 263 ayat (1) KUHAP berbunyi:
Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Awalnya, Djoko divonis bebas oleh PN Jakarta Selatan hingga tingkat kasasi pada 2001. Alasannya, perbuatan yang didakwakan bukan tindak pidana, melainkan lingkup perbuatan perdata. Selang 8 tahun kemudian, jaksa penuntut umum mengajukan permohonan PK dan menang. Djoko dihukum bersalah dan dipidana 2 tahun penjara.
Namun Djoko kabur sesaat setelah amar PK diputuskan. Djoko belakangan menyuap sejumlah pejabat Indonesia agar bisa mengajukan upaya PK. Akhirnya Djoko diadili.
Kini Djoko Tjandra dihukum 2,5 tahun penjara di kasus surat palsu dan 4,5 tahun penjara di kasus korupsi menyuap pejabat. Selain itu, Djoko harus menjalani hukuman korupsi 2 tahun penjara di kasus korupsi cessie Bank Bali lebih dari Rp 500 miliar. [wip]