ISLAMTODAY ID —Ketika warga Solomon membersihkan puing-puing dari kerusuhan yang mencekam di ibu kota Kepulauan Solomon, Honiara, dua kekuatan terbesar di Pasifik – AS dan China – berusaha untuk tidak disalahkan.
Pada awalnya, kerusuhan yang pecah pada 24 November tampaknya berasal dari langkah PM Manasseh Sogavare, untuk mengalihkan pengakuan diplomatik dari Taipei ke Beijing.
Sogavare mendapat mayoritas parlemen untuk mendukung langkah tersebut, dan pada Oktober 2019 perjanjian langsung disepakati di Beijing bersama dengan Presiden China Xi Jinping dan Perdana Menteri Li Keqiang.
Manfaat dari perjanjian ini langsung terlihat, dimana perusahaan milik negara China akan mengeluarkan US$825 juta untuk membuka kembali tambang emas, dan China akan membangun stadion olahraga berkapasitas 12.000 kursi yang siap untuk Olimpiade Pasifik Selatan yang akan diselenggarakan pada tahun 2022.
Tetapi beberapa politisi menentang pendukungan Solomon terhadap China, karena selama 36 tahun hubungan diplomatik telah dibangun oleh Solomon dan Taiwan.
Hubungan ini telah memberikan pemasukan bagi Solomon melalui program bantuan Taiwan yang sebagian besar berfokus pada pertanian.
Suidani Sosok yang Dekat dengan Taiwan & AS
Daniel Suidani, perdana menteri provinsi pulau Malaita, menuduh bahwa agen Beijing telah menawarkan satu juta dolar Kepulauan Solomon (US$123.000) kepada setiap anggota parlemen yang memilih untuk beralih dari Taiwan ke China.
Suidani, perdana menteri Malaita, menjadikan aksi kerusuhan sebagai pertarungan terbuka dengan perdana menteri, dan tokoh-tokoh di parlemen demi mencari peluang untuk menggulingkan pemerintahan saat ini.
Orang Malaitan telah lama menjadi elemen yang paling bergolak di negara itu dengan selalu menjadi oposisi bagi pemerintah.
Yang membuat Sogavare dan China kesal adalah kenyataan dimana Taiwan terus mengirimkan bantuan langsung ke Malaita.
Pada Mei tahun lalu, Taiwan juga menerbangkan Suidani ke Taipei untuk perawatan medis yang mahal.
Setelah itu Suidani langsung berbicara tentang mengadakan referendum apakah Malaita harus memisahkan diri dari Kepulauan Solomon.
Selain itu Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) meluncurkan program bantuan yang meningkat untuk provinsi Malaita yang dipimpin Suidani.
Komponen utama proyek ini yaitu proyek lima tahun senilai US$25 juta di Malaita yang bertujuan untuk mengakhiri pembalakan ilegal dan membantu penduduk desa menanam tanaman pohon seperti kopi dan kakao di bawah naungan hutan alam.
Pemerintah Sogavare bersikeras bahwa semua bantuan semacam itu harus diberikan melalui salurannya sendiri, tidak secara langsung.
Kedutaan Besar AS, sementara itu, bersikeras bahwa proyek Malaita telah dipersiapkan selama dua tahun dan bukan merupakan tanggapan atas pergeseran diplomatik.
Kontraktor yang ditunjuk oleh USAID, organisasi bantuan nirlaba yang berbasis di AS, Winrock International, kemudian tampaknya telah mengalami gangguan dalam pendirian awal tahun ini, dengan kepala proyeknya, seorang eksekutif bantuan Australia yang berpengalaman, ditolak izin kerjanya.
Pertarungan Sengit Sogavare dan Suidani di Solomon
Oktober ini, Suidani menghadapi ancaman di wilayahnya sendiri: mosi tidak percaya pada majelis provinsi yang secara luas diyakini telah diatur oleh PM Sogavare.
Namun, Ketika ribuan pendukung Suidani berkumpul di ibu kota pulau Auki, mosi itu ditolak.
Suidani lalu menyangkal bahwa dia menghasut kerusuhan terbaru di Honiara, atau membantu pemrotes dengan memberikan dana S$250 untuk dapat menaiki feri dari Auki ke Honiara.
Akan tetapi PM Sogavare bersikukuh untuk menyalahkan Suidani atas kerusuhan di Solomon.
Minggu ini pemerintahnya menuduh para penghasut yang tidak disebutkan namanya membuat “rencana jahat lain”, kali ini untuk menghancurkan Honiara secara total, dan Suidani bergerak untuk mendeklarasikan kemerdekaan Malaitan.
Atas permintaan Sogavare, Australia menerbangkan sekitar 100 petugas polisi, dari berbagai pasukan anti huru hara, dengan kontingen dukungan militer kecil.
Mereka bergabung dengan 40 petugas polisi dari Papua Nugini dan 50 tentara dari Fiji, dengan Selandia Baru dan Samoa juga bergerak untuk mengirim kontingen polisi.
Suidani mengatakan Australia menopang “kepemimpinan yang korup.” Keterlibatan pasukan asing akan membuat Sogavare “menghindari berurusan dengan semua masalah yang perlu ditangani,” katanya.
Lalu, Wale, pemimpin oposisi, sedang merencanakan mosi tidak percaya terhadap Sogavare dalam beberapa hari mendatang.
China Sasaran Aksi Protes di Solomon
Protes politik awal terhadap Sogavare dengan cepat berubah menjadi pola penjarahan yang dilakukan oleh penduduk muda yang menganggur di pemukiman liar Honiara, dengan toko-toko perdagangan yang dikelola orang China menjadi target utama penjarahan.
Tiga mayat ditemukan di antara toko-toko China yang terbakar.
Bank Sentral Kepulauan Solomon memperkirakan total kerusakan mencapai US$28 juta. (Rasya)