(IslamToday ID) – Kelompok DPD RI di MPR mendukung judicial review (peninjauan kembali) aturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang diatur di dalam pasal 222 UU No 7/2017 tentang Pemilu.
Dukungan ini merupakan respons dari langkah inisiator Perhimpunan Menemukan Kembali Indonesia Ferry Juliantono dan kawan-kawannya yang sudah mengajukan judicial review aturan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan mendatangi DPD RI pada Senin (6/12/2021) lalu.
Kelompok DPD RI di MPR memandang resonansi yang ada di masyarakat dan media saat ini sudah sangat keras terhadap aturan presidential threshold (PT) 20 persen, karena dianggap menghalangi munculnya tokoh potensial alternatif di luar partai politik untuk menjadi pilihan bagi rakyat.
Wakil Ketua Kelompok DPD RI di MPR Fahira Idris menyatakan dukungannya pada Dialog Kebangsaan tersebut di Lobi Gedung DPD RI, kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (8/12/2021).
“Kami Kelompok DPD di MPR akan mendorong judicial review terhadap pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) 20 persen ke Mahkamah Konstitusi,” ucap Fahira seperti dikutip dari Law-Justice.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) atau Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor mengungkapkan, selain mengaburkan makna presidensial, PT juga mereduksi partisipasi politik masyarakat karena pilihannya tidak terwakili.
“Mengapa harus meninggalkan PT, setidaknya ada beberapa hal menurut saya. Pertama jelas melenceng dari spirit keserentakan, adanya tendensi polarisasi keterbelahan seperti tahun 2014 lalu hingga saat ini, hingga menutup adanya tokoh alternatif,” katanya.
Lain halnya, pengamat politik dan dosen Fisipol UGM, Abdul Gaffar Karim berpendapat ada beberapa negara yang berhasil menerapkan sistem presidensial dengan multi partai seperti beberapa negara di Amerika Latin juga termasuk Indonesia.
“Pada buku The Surprising Success of Multiparty Presidentialism oleh Carlos Pereira menjelaskan bahwa agar berhasil di sistem presidensial multi partai, seorang presiden harus sebagai jabatan kuat secara konstitusional, punya kekuatan untuk barter atau negosiasi atau dipertukarkan dengan parlemen, check and balances yang kuat,” ujarnya.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Margarito Kamis melihat persoalan PT ini sudah beberapa kali dilakukan judicial review, namun gagal karena terus mengangkat persoalan yang sama.
Ia mendorong agar pihak-pihak yang mengajukan gugatan aturan PT jangan lagi menggunakan argumen yang sama. Di samping itu, harus disediakan ahli untuk maju dalam persidangan, utamanya dari DPD RI dan akademisi dan mobilisasi rakyat yang juga sepaham dengan poin gugatan.
“Saya menyarankan DPD RI satu suara, kemudian lakukan konferensi nasional untuk mendiskusikan ini dan didukung oleh pers. Menurut saya pers punya pengaruh dan bisa memperbesar spektrum dari isu ini,” tuturnya.
“Melalui jurnalism talk saya yakin mampu mendorong persoalan ini hingga orang mengetahui bahwa DPD RI bersama rakyat mengusung kepentingan rakyat terkait PT ini,” pungkas Margarito. [wip]