(IslamToday ID) – Pengamat kebijakan publik Said Didu ikut bersuara perihal data rasio utang atas pendapatan negara.
Lewat cuitan yang ia unggah di akun Twitternya, Said Didu menyebut bahwa salah satu indikator yang menyebabkan utang negara menjadi ugal-ugalan adalah peningkatan jumlah utang yang sangat besar.
Ia bahkan menyebut peningkatan jumlah tersebut sudah melampaui standar normal.
“Data bicara. Salah satu indikator utang ugal-ugalan adalah peningkatan jumlah utang yang sangat besar yang sudah melampaui standar normal,” tulis Said Didu seperti dikutip dari Suara.com, Sabtu (11/12/2021).
Lebih lanjut, ia mengatakan kondisi tersebut telah berlangsung sejak sebelum pandemi melanda. Ia menegaskan bahwa pandemi hanya mempercepat. “Ini terjadi sebelum pandemi. Pandemi hanya mempercepat,” sambungnya.
Cuitan tersebut ditulis Said Didu untuk menanggapi cuitan akun Awalil Rizky mengenai rasio utang atas pendapatan negara.
Dalam cuitan tersebut dijelaskan tentang dasar peringatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada pemerintah agar berhati-hati soal utang dan rasionya terhadap pendapatan negara.
“Rasio utang atas pendapatan negara sebesar 368,99% pada tahun 2020 merupakan salah satu indikator kerentanan utang yang menjadi dasar peringatan BPK agar pemerintah berhati-hati. Karena telah melampaui rekomendasi IMF dan IDR,” tulisnya.
Disebutkan pula bahwa rasio tersebut terlihat akan memburuk di tahun 2021 dan 2022.
Untuk diketahui, berdasarkan keterangan yang ditulis di akun Twitternya, Awalil Rizky merupakan seorang pembelajar ekonomi yang menyebut dirinya sedang berupaya memberi informasi dan edukasi (literasi).
Ia berpandangan bahwa setiap warga negara berhak untuk mengetahui kondisi ekonomi negeri.
Menanggapi cuitan-cuitan tersebut, para warganet lantas menuliskan beragam komentar.
“Wkwk 2019-2020 udah ugal-ugalan ya ngakunya ngutang gara-gara pandemi. Itu buat nolong rakyat atau buat nalangin rugi Jiwasraya, Asabri dll yang total ratusan triliun? Lalu tes PCR dibisnisin nggak gratis,” komentar salah seorang warganet.
“Lalu… berapa generasi ke depan yang harus memikulnya agar lunas? Itupun … jika sanggup,” sahut warganet lain. [wip]