(IslamToday ID) – Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS Amin AK menanggapi hasil raker dengan Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi terkait dengan kelangkaan minyak goreng yang ramai akhir-akhir ini.
Amin mengatakan, sejumlah fakta menunjukkan bahwa pemerintah kalah melawan mafia pangan, dalam hal ini kartel produsen CPO.
Menurutnya, pencabutan Permendag No 6 Tahun 2022 yang mengatur harga eceran tertinggi (HET) dan DMO minyak mentah kelapa sawit (CPO) 20 persen dan kemudian menyerahkan harga pada mekanisme pasar menunjukkan bahwa pemerintah kalah dari mafia.
“Saya yakin pemerintah itu memiliki data siapa saja produsen CPO yang menguasai industri kelapa sawit dari hulu hingga hilir. Setahu saya ada 16 perusahaan yang menguasai industri kelapa sawit secara terintegrasi, di mana 5 di antaranya menguasai 49 persen produksi CPO Indonesia,” ungkap Amin, Sabtu (19/3/2022).
Ia mengatakan, para produsen CPO tersebut sekaligus produsen minyak goreng dan juga menguasai distribusinya hingga ke pasar, baik ritel modern maupun pasar tradisional. Mereka harusnya bisa diaudit, apakah mematuhi aturan pemerintah atau tidak.
“Seharusnya dengan semua instrumen yang dimiliki pemerintah, dengan berpijak pada UUD 1945 pasal 33, pemerintah bisa melaksanakan UU No 7 Tahun 2014 (pasal 107), maupun Permendag No 6 Tahun 2022. Sehingga pemerintah bisa menyelidiki dan membuktikan penyelewengan mereka dan memberikan sanksi tegas,” jelas Amin.
Ia melanjutkan, secara kasatmata kita malah dipertontonkan dengan bukti adanya aksi pembangkangan sejumlah pengusaha yang menguasai produksi dan distribusi minyak goreng terhadap aturan yang ditetapkan pemerintah. Begitu pemerintah mengumumkan HET minyak goreng dicabut, dalam hitungan jam pasar-pasar ritel modern dibanjiri minyak goreng kemasan dengan harga mahal, berkisar antara Rp 23.000 hingga Rp 27.000 per liter.
“Orang awam bisa menyimpulkan bahwa barang (minyak goreng) itu sebenarnya ada, tapi sengaja ditahan atau ditimbun, seakan-akan mereka begitu yakin ketentuan HET itu pada akhirnya akan dicabut,” ujar Amin.
Padahal akibat ulah mereka yang menahan stok minyak goreng, rakyat di berbagai daerah harus antre, bahkan sampai menyebabkan korban meninggal akibat kelelahan. Satgas pangan menemukan ada pengusaha yang menimbun jutaan liter minyak goreng di Medan dan Makasar misalnya, namun belum terdengar mereka diberi sanksi.
“Kami berharap jangan sampai nanti terjadi tebang pilih, hanya pelaku penimbunan berukuran kecil yang ditindak, tapi yang besar-besar tidak diproses. Harusnya semua diseret ke ranah hukum tanpa kecuali,” tegas Amin.
Diselundupkan ke Luar Negeri
Amin mengatakan Mendag Muhammad Lutfi saat raker dengan Komisi VI mengakui bahwa ada ribuan ton minyak goreng diselundupkan ke luar negeri. Ia pun mengaku masih menunggu perkembangan kasus itu.
“Apakah para pelaku penyelundupan akan diadili semuanya, atau terjadi tebang pilih karena terkait kekuatan kartel atau mafia. Kami berharap pemerintah tidak pandang bulu menegakkan aturan,” ungkapnya.
Kemudian soal kebijakan pencabutan HET untuk minyak goreng kemasan dan pemberian subsidi untuk minyak goreng curah, Amin menilai hal itu belum menyelesaikan masalah. Adanya disparitas harga yang cukup tinggi antara minyak goreng curah dan kemasan, berpotensi menimbulkan penyelewengan di lapangan.
“Ada tiga kemungkinan penyelewengan. Pertama, minyak curah diekspor secara ilegal atau diselundupkan ke luar negeri. Kedua, minyak goreng curah di repacking menjadi minyak goreng kemasan/premium. Ketiga, minyak goreng curah untuk konsumsi rumah tangga dijual ke industri,” ungkap Amin.
Saat ini harga keekonomian minyak goreng kemasan sekitar Rp 22.000 per liter, yang artinya terjadi disparitas harga sebesar Rp 8.000 per liter. Dan sangat mungkin disparitas akan terus meningkat seiring dengan kenaikan harga CPO di pasar global.
“Karena itu kami meminta pemerintah memberikan jaminan bahwa stok dan harga minyak goreng curah yang disubsidi dengan HET sebesar Rp 14.000 itu tersedia terus dan bisa diakses masyarakat dengan mudah,” harap Amin. [wip]