(IslamToday ID) – Dalam rangka peringatan 24 tahun Tragedi Trisakti, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kembali mendesak Presiden Jokowi untuk segera menunaikan janji mengusut sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
“KontraS mendesak Presiden Jokowi memenuhi janji dan melaksanakan tanggung jawab untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat di Indonesia sesuai ketentuan hukum yang berlaku di level nasional dan internasional,” kata Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar, Kamis (12/5/2022).
Aksi penembakan pada 12 Mei 1998 silam menewaskan 4 mahasiswa Universitas Trisakti, yakni Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Saat kejadian keempatnya berada di dalam lingkungan kampus setelah mengikuti aksi unjuk rasa akibat dampak krisis ekonomi 1997.
Keempatnya saat ini dijuluki sebagai Pahlawan Reformasi. Sebuah monumen dibangun di lingkungan kampus Trisakti sebagai bentuk penghormatan kepada mereka.
Rivanlee mengatakan, penuntasan pelanggaran HAM berat secara berkeadilan dan bermartabat adalah utang janji yang belum ditepati oleh pemerintahan Presiden Jokowi yang berkuasa sejak 2014.
“Negara masih berutang dan berkewajiban untuk mengungkapkan kebenaran, menggelar pengadilan untuk menegakkan keadilan dan juga menghukum pelaku, memulihkan kondisi korban-korban pelanggaran HAM, hingga menjamin ketidakberulangan pelanggaran HAM berat yang juga menjadi hak seluruh warga negara,” ujar Rivanlee.
Sampai saat ini, katanya, masyarakat masih menanti tindak lanjut laporan penyelidikan oleh Komnas HAM serta penggunaan wewenang presiden untuk menyelenggarakan Pengadilan HAM Tragedi Trisakti dan pelanggaran HAM berat lainnya di Indonesia.
Rivanlee juga menyinggung persoalan kondisi sosial ekonomi sebagai salah satu sisi yang terdampak dari adanya pelanggaran HAM berat dan memang wajib menjadi tanggung jawab negara.
Menurutnya, pemulihan aspek sosial ekonomi bersamaan dengan aspek medis dan psikologi sudah diatur secara jelas dalam UU No 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang saling terkait dengan penyelenggaraan Pengadilan HAM sesuai UU No 26 Tahun 2000.
Jika negara, kata Rivanlee, memilah secara serampangan kebijakan dan sasaran penuntasan pelanggaran HAM berat hanya akan menghadirkan diskriminasi dan mengkerdilkan peraturan yang telah mengatur tentang pemenuhan hak korban.
“Sebagai konsekuensi, cara tersebut tidak menyelesaikan inti permasalahan karena hanya melanggengkan impunitas,” pungkasnya. [wip]