(IslamToday ID) – Ketua Dewan Pengurus Institut Harkat Negeri (IHN) Sudirman Said mengingatkan kembali agenda reformasi 1998 yang kini sudah berusia 24 tahun. Ia menilai reformasi adalah cara untuk mengoreksi gerak langkah negara yang dinilai sudah tidak sesuai dengan maksud keberadaannya.
Sudirman kemudian menyinggung tujuan bernegara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
“Ini berarti apabila kinerja pembanguann tidak lagi mencerminkan apa yang harus dilakukannya, maka suatu koreksi alamiah pasti akan berlangsung. Dan reformasi adalah jawaban dari koreksi alamiah itu,” ungkap Sudirman di acara Peringatan dan Refleksi 24 Tahun Reformasi dengan tema ‘Reformasi dan Jalan Keluar Dari Krisis’ seperti dikutip dari Bravos Radio, Rabu (25/5/2022).
Ia kemudian mempertanyakan hak dasar bangsa untuk melakukan koreksi dan kerangka hukumnya sudah terpenuhi. Sehingga koreksi dapat berjalan sesuai dengan ruang yang tersedia. “Atau sebaliknya yaitu suatu keadaan dimana ruang kesempatan untuk koreksi tidak lagi tersedia? Atau menjadi beku sehingga yang berlangsung adalah bangsa ini menempuh jalur yang di luar kerangka konstitusi atau hukum,” ungkap Sudirman.
Ia mengatakan, reformasi 1998 dalam batas tertentu bisa dikatakan sebagai suatu terobosan sejarah, dimana bangsa melakukan koreksi manakala institusi demokrasi tidak lagi berfungsi sebagaimana garis konstitusi. Hal itu bisa terjadi karena kala itu semua elemen masih berfungsi dengan baik, media berfungsi dengan baik, mahasiswa berfungsi dengan baik, dan masyarakat sipil sangat kuat.
“Kini setelah 24 tahun berjalan kita terpanggil untuk merefleksi kembali, apakah seluruh agenda reformasi yang dulu kita ingat misalnya mengadili Presiden Soeharto dan kroni-kroninya, melaksanakan amandemen UUD 1945, menghapus Dwi Fungsi ABRI, melaksanakan otonomi seluas-luasnya, menegakkan supremasi hukum dan menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN sudah dijalankan dengan konsisten atau malah sebaliknya?” ungkap Sudirman.
Kemudian, apakah koreksi yang dikembangkan oleh bangsa tersebut mendorong terjadinya transformasi institusional, dimana negara melakukan perbaikan mendasar sehingga ruang warga negara untuk melakukan koreksi bisa lebih luas, bebas, dan terlindungi.
“Satu pemeriksaan sejarah harus dilakukan dengan jujur karena bangsa ini memang ingin tumbuh terus sebagaimana amanat dari para pendiri bangsa. Ini bukan perkara mudah, karena itu sebabnya pemeriksaan kinerja demokrasi dan pembangunan kerapkali menggunakan standar-standar yang bersifat global. Cara ini baik untuk memenuhi kebutuhan independensi, tapi sebetulnya ini adalah refleksi di antara kita bahwa sebenarnya kita sedang kehilangan rasa saling percaya, sehingga diperlukan sesuatu ukuran-ukuran yang sifatnya global,” jelas Sudirman.
Terakhir, menurutnya, ada hubungan antara kredibilitas pemimpin, reformasi, dan krisis. Semakin kredibel pemimpin maka krisis bisa dihindarkan, tapi juga semakin kredibel pemimpin maka reformasi bisa diteruskan dengan jalan damai. “Tapi apabila kehilangan kredibitas maka kita khawatir terjadi ledakan, bukan sekadar letupan,” pungkasnya. [wip]