(IslamToday ID) – KontraS meragukan proses hukum kasus pelanggaran HAM berat Paniai bakal terang benderang. Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar meyakini tersangka lain dari peristiwa pelanggaran HAM berat itu tidak akan terungkap di persidangan.
Salah satu alasannya karena investigasi yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung) tanpa melibatkan penyidik adhoc dari masyarakat sipil, sehingga dinilai tidak transparan.
“Kalau sedari awal menggunakan asas transparansi, kami rasa pengungkapan tersangka lebih dari satu (tersangka) itu akan terjadi. Tapi dengan kenyataan yang sebaliknya, kami rasa tidak,” kata Rivanlee seperti dikutip dari Suara, Kamis (26/5/2022).
Meski pesimistis, KontraS tetap berhadap pada persidangan nanti peristiwa pelanggaran HAM berat Paniai menjadi terang benderang. “Kami tetap berharap bahwa ada pengungkapan kasus yang seutuhnya di persidangan nanti,” kata Rivanlee.
Sebelumnya, KontraS bersama YLBHI dan Amnesty Internasional Indonesia menyebut pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat Paniai oleh Kejagung tidak melibatkan penyidik adhoc dari unsur masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (3) UU Pengadilan HAM.
“Tentunya masyarakat sipil yang dilibatkan ialah yang memang telah terbukti memiliki rekam jejak bekerja untuk HAM dan memiliki kepedulian terhadap korban. Langkah ini penting untuk membuat penyidikan partisipatif dan independen guna bisa mendapatkan dan menggunakan bukti sebaik-baiknya dalam proses peradilan yang tengah berlangsung,” kata mereka pada 28 Maret 2022 lalu.
Pensiunan TNI Jadi Tersangka
Sebagaimana diketahui, penyidik Direktorat Pelanggaran HAM Berat pada Jampidsus Kejagung telah menetapkan satu orang tersangka dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai yang terjadi di tahun 2014. Tersangka merupakan purnawirawan TNI berinisial IS.
Jampidsus Kejagung Febrie Adriansyah menyebut IS ketika itu merupakan perwira penghubung di Kodim Paniai. “(IS) Purnawirawan TNI. Dia perwira penghubung di Kodim di Paniai,” kata Febrie, Sabtu (2/4/2022).
Penetapan tersangka ini merujuk Surat Perintah Jaksa Agung Republik Indonesia No: Print-79/A/JA/12/2021 tanggal 3 Desember 2021 dan No: Print-19/A/Fh.1/02/2022 tanggal 04 Februari 2022 yang ditetapkan oleh Jaksa Agung RI selaku penyidik.
Tersangka IS dijerat dengan pasal berlapis yakni Pasal 42 ayat (1) Juncto Pasal 9 huruf a Juncto Pasal 7 huruf b UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kemudian, Pasal 40 Juncto Pasal 9 huruf h Juncto Pasal 7 huruf b UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
4 Warga Sipil Tewas
Penetapan peristiwa Paniai sebagai pelanggaran HAM berat dilakukan usai Sidang Paripurna Khusus Komnas HAM pada 3 Februari 2020 lalu.
Peristiwa kekerasan Paniai terjadi pada 7-8 Desember 2014. Dilaporkan sebanyak 4 orang warga sipil meninggal dunia akibat luka tembak dan tusukan. Sedangkan 21 orang menjadi korban penganiayaan.
Dari laporan Komnas HAM, peristiwa kekerasan itu terjadi tidak lepas dari status Paniai sebagai daerah rawan dan adanya kebijakan atas penanganan daerah rawan tersebut.
Choirul Anam, Ketua Tim adhoc penyelidikan pelanggaran berat HAM peristiwa Paniai, menyebut kekerasan yang terjadi memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan.
“Peristiwa Paniai tanggal 7-8 Desember 2014 memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan, dengan elemen of crimes adanya tindakan pembunuhan dan tindakan penganiayaan. Sistematis atau meluas dan ditujukan pada penduduk sipil dalam kerangka kejahatan kemanusiaan sebagai prasyarat utama terpenuhi,” kata Anam pada 14 Februari 2020 lalu.
Kata Anam, timnya telah melakukan kerja penyelidikan dengan melakukan pemeriksaan para saksi sebanyak 26 orang, meninjau dan memeriksa TKP di Enarotali, Kabupaten Paniai, pemeriksaan berbagai dokumen, diskusi ahli dan berbagai informasi yang menunjang pengungkapan peristiwa pada tanggal 7-8 Desember 2014 tersebut.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut disimpulkan bahwa anggota TNI yang bertugas pada medio peristiwa tersebut, baik dalam struktur komando Kodam XVII/ Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai diduga sebagai pelaku yang bertanggung jawab.
Tim penyelidik juga menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kepolisian, namun bukan dalam kerangka pelanggaran HAM berat. Oleh karenanya, direkomendasikan untuk menindaklanjuti pelanggaran tersebut dan memperbaiki kepatuhan terhadap hukum yang berlaku, khususnya terkait perbantuan TNI-Polri. [wip]