(IslamToday ID) – Ketua Yayasan Peduli Sahabat Agung Sugiarto atau yang akrab disapa Kak Sinyo menyatakan orientasi dan tindakan seksual seseorang yang menyimpang bisa berubah kembali ke fitrahnya. Hal itu menanggapi maraknya isu lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT+) yang kembali ramai akhir-akhir ini.
“Secara teori, orientasi seks memang fluid (cair) jadi memang bisa (berubah), apalagi tindakan seks dengan situasi dan kondisi tertentu. Tetapi bagaimana caranya masih menjadi perdebatan bagi dunia ilmu pengetahuan. Di luar Peduli Sahabat banyak bukti bahwa orientasi dan tindakan seks seksual bisa berubah, begitu juga klien di yayasan kami,” ungkap Kak Sinyo belum lama ini.
Ia memberi contoh, di Peduli Sahabat mempunyai empat narasumber yang berhasil berubah orientasi dan tindakan seksualnya. Satu orang yang awalnya berorientasi heteroseksual menjadi homoseksual karena kebiasaan seks sesama jenis, namun kemudian berbalik lagi menjadi heteroseksual selama kurang lebih 7 tahun.
Kemudian ada tiga orang laki-laki yang lain adalah orang dengan orientasi homoseksual, kemudian mengalami pergeseran menjadi berorientasi biseksual setelah menikah dengan lawan jenis. Keempat narasumber itulah yang kemudian dijadikan model dalam metode pendampingan bagi mereka yang ingin tetap memilih beridentitas heteroseksual (lawan dari identitas LGBT+), baik secara mandiri atau lewat pendampingan di Peduli Sahabat.
“Jadi jika ada yang bertanya apakah bisa berubah orientasi dan tindakan seks seseorang, maka jawabnya adalah bisa. Tetapi tergantung situasi dan kondisi masing-masing orang,” ujar Kak Sinyo.
Terkait lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mereka yang ingin berubah orientasi dan tindakan seksualnya, ia mengatakan tidak ada ukuran atau patokan yang pasti.
“Tidak ada ukuran waktu berapa lama orientasi dan tindakan seks seseorang bisa berubah. Bisa tahunan, puluhan tahun, hingga mungkin seumur hidup seseorang tidak berubah. Karena secara ilmu pengetahuan masih belum bisa dirumuskan secara pasti,” ujarnya.
Kak Sinyo juga menyatakan bahwa perubahan orientasi dan tindakan seks itu juga tidak menetap dan terjamin 24 jam. Menurutnya, tergantung dari orangnya serta situasi dan kondisi (sikon) yang mendukung, sebab ini masalah psikologis yang tidak bisa disamaratakan. “Tentu saja karena orientasi dan tindakan seksual bersifat cair, bisa saja suatu saat berubah lagi tergantung sikonnya,” ungkapnya.
Di Peduli Sahabat, homoseksual tidak disebutnya sebagai sebuah “penyakit”, tapi disebut “tidak sesuai dengan fitrahnya” sebagai laki-laki atau perempuan. “Sesuai pengalaman kami, hal ini memberi dampak yang positif walau mungkin maksudnya sama. Klien kami merasa lebih diterima sebagai orang yang ingin berubah, bukan sebagai pesakitan,” ungkap Kak Sinyo.
Ia juga menyanggah bahwa orientasi homoseksual merupakan bawaan gen atau keturunan. Sebab sampai saat ini belum ada bukti ilmiah tentang hal itu yang bisa dijadikan patokan, masih menjadi perdebatan para ilmuwan. Menurutnya, orang-orang yang beropini bahwa homoseksual adalah keturunan enggan untuk membuktikan diri di rumah sakit atau penelitian karena takut jika terbukti sebaliknya, gen mereka ternyata heteroseksual.
“Ya sampai saat ini hanya dugaan tanpa mau membuktikan langsung, padahal zaman sudah sedemikian maju. Kalau memang benar gay adalah gen, seharusnya sekarang sudah ada alat yang bisa mendeteksi orientasi seksual setiap bayi yang lahir di muka bumi dan nyatanya tidak pernah ada,” jelas Kak Sinyo.
Lantas apa penyebab orientasi homoseksual yang paling kuat atau mendasar? Data Peduli Sahabat menunjukkan ada tiga kategori utama pemicu seorang anak balita (pada laki-laki, di perempuan terjadi pembiasan menurut penelitian ilmuwan) berbelok arah menjadi homoseksual.
Pertama, pemaksaan dalam mengambill role model (contoh model). Misalnya, seorang anak laki-laki mengambil peran dari ibunya (gender non-conformity). Pemaksaan ini disebabkan oleh beberapa hal seperti broken home, ketidakharmonisan keluarga, dominasi ibu, dominasi ayah, kekerasan rumah tangga, dan lain-lain. “Sekitar 60 persen klien kami mengalami ini,” ujar Kak Sinyo.
Kedua, over protective atau pembunuhan karakter (terlalu dimanja/dilindungi). Biasanya terjadi pada anak bungsu, tunggal, satu-satunya jenis kelamin dalam keluarga, atau anak istimewa, misalnya paling ganteng atau paling cerdas. “Sekitar 30 persen klien kami mengalami ini,” katanya.
Ketiga, salah mengambil role model secara sukarela. Berbeda dengan nomor satu, sikon si anak diberi kebebasan memilih model sendiri. Biasanya kedua orang tua sibuk kerja dengan materi berlimpah atau menjadi anak yatim piatu.
“Jadi secara hubungan keluarga harmonis, tapi anak-anak dibiarkan memilih model tanpa diberi contoh atau pemberitahuan. Sekitar 10 persen klien kami mengalami ini,” pungkas Kak Sinyo. [wip]