(IslamToday ID) – Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengingatkan negara Indonesia jangan sampai seperti Sri Lanka hari ini yang mengalami krisis luar biasa dan nyaris bangkrut. Menurutnya, sejumlah variabel yang menyebabkan Sri Lanka mengalami krisis parah sudah ada di Indonesia.
“Sri Lanka merupakan pembelajaran yang luar biasa bagi Indonesia. Sri Lanka memang bukan Indonesia, tapi variabel-variabel yang membangkrutkan mereka, variabel yang membuat mereka krisis dan bangkrut ada semua di sini,” kata Wijayanto dalam sebuah diskusi yang disiarkan di Bravos Radio, Jumat (10/6/2022).
Ia menerangkan, sebelum Sri Lanka mengalami kebangkrutan, pertama terjadi keterbelahan politik, yang ini sama dengan yang terjadi di Indonesia. Mereka berusaha keras untuk menyatukan namun gagal. “Di Indonesia keterbelahan politik itu seperti ada yang menciptakan, ada istilah kadrun, cebong, Islamofobia. Ini yang harus kita antisipasi,” jelas Wijayanto.
Kemudian yang kedua anti demokrasi. Di Sri Lanka itu muncul aktivis anti demokrasi yang luar biasa. Tahun 2019 mereka melakukan amandemen UUD, di mana presiden mempunyai kekuatan penuh dengan menurunkan fungsi kontrol pada legislatif.
“Bukankah ini juga suatu pembelajaran yang luar biasa pada kita, pada saat yang bersamaan ada sekelompok dari kita ingin mengamandemen UUD 1945. Kasus Sri Lanka itu sepertinya pesan dari Allah, kalau kamu lakukan maka akan ke sana (seperti Sri Lanka),” ujar Wijayanto.
Selanjutnya, yang ketiga adalah politik dinasti. Menurutnya, di Sri Lanka ada empat bersaudara kandung berada di kabinet, yakni presiden, perdana menteri, dan dua menteri. Kemudian masih ditambah satu anak kandung presiden juga berada di kabinet. “Apakah di Indonesia itu terjadi? Belum, tapi tren ke sana ada, sehingga harus diantisipasi,” kata Wijayanto.
Yang keempat adalah kebijakan populis sang presiden. Namun kebijakan itu justru berdampak buruk pada keuangan negara. “Apa yang dilakukan oleh presiden Sri Lanka setelah terpilih, yaitu menurunkan pajak. Begitu diturunkan dampaknya fiskal berat, rating drop, dan surat utang tidak laku di luar negeri. Ini juga sudah dilakukan di Indoensia, yakni menurunkan corporate tax untuk menarik investasi, padahal investor itu nggak mau masuk ke Indonesia karena faktor kepastian hukum dan banyak yang lain,” jelasnya.
Kebijakan populis tapi aneh juga dilakukan di Sri Lanka, yakni menghentikan impor pupuk urea dengan alasan go organic, namun dampaknya produksi beras turun 50 persen dan petani jatuh miskin.
“Kebijakan populis yang tidak direncanakan dengan baik rasanya familier di tengah kita, seperti proyek IKN, bandara, kereta cepat yang selesainya lambat, dan proyek-proyek lain yang sama seperti di Sri Lanka,” lanjut Wijayanto.
Proyek dengan China
Sri Lanka juga terlibat proyek Belt Road Initiative (BRI) bikinan China yang akhirnya membuat mereka terlilit utang yang luar biasa. “Utang yang melejit sesuatu yang sering kita dengar di Indonesia, utang pemerintah dari Rp 2.900 triliun tahun 2014 menjadi Rp 7.100 triliun pada saat ini,” kata Wijayanto.
“Belum lagi kalau kita masukkan utang BUMN. Karena memindahkan tanggung jawab pemerintah ke BUMN itu merupakan cara yang paling mudah, sehingga buku pemerintah kelihatan bagus. Begitu banyak tugas pemerintah bisa dengan mudah dipindah ke BUMN, sehingga rasio-rasio utang, rasio-rasio fiskal yang selama ini kita cermati di pemerintah itu kelihatan bagus,” tambahnya.
Kemudian di Sri Lanka juga diperburuk dengan krisis pandemi Covid-19, sehingga pendapatan dari turis asing turun drastis. Ini ditambah dengan transfer pendapatan dari pekerja migran yang juga turun drastis karena Covid-19 juga melanda di seluruh dunia.
“Betul Indonesia bukan Sri Lanka, kalau kita tidak mengantisipasi secara dini saya khawatir pada tahun depan Indonesia akan mengalami masalah yang luar biasa,” pungkasnya. [wip]