(IslamToday ID) – Ekonom senior Didik J Rachbini menilai perlunya menciptakan arsitektur aturan main bersama untuk meminimalisasi keberadaan buzzer di media sosial agar pemilu 2024 bisa berlangsung lebih sehat dan demokratis.
Didik mengatakan, media sosial merupakan ruang publik yang perlu dikelola agar tidak dimonopoli dan dieksploitasi penggunaannya oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu. Menurutnya, berkaca dari pengalaman pemilu 2019, buzzer telah menjejali ruang publik dengan muatan informasi dan propaganda yang tidak bertanggung jawab.
Ulah buzzer itu telah merusak wacana tentang pemilu yang sehat yang semestinya diperoleh oleh publik. “Barang publik yang tidak terkelola pada dunia yang terbatas ketersediaan sumber dayanya namun tak terbatas hasrat orang-orang yang hendak menguasainya, maka hanya akan berujung pada kekacauan. Ini yang disebut tragedi sumber daya publik atau the tragedy of the commons,” kata Didik mengutip salah satu teori ekonomi politik.
Demikian dikatakan Didik saat menyampaikan keynote speech dalam acara Paramadina Graduate School of Communication (PGSC) General Lecture Series bertajuk “Tren Transformasi Media dan Implikasinya pada Kampanye Pemilu 2024” yang diselenggarakan secara daring pada 11 Juni 2022.
Senada, praktisi media Prabu Revolusi juga menggarisbawahi perlunya peran negara untuk menjaga kedaulatan digital di era transformasi media saat ini. Terutama hal ini untuk mengantisipasi peluang maupun ancaman yang dibawa media baru, khususnya media sosial atas lingkungan informasi politik yang diterima khalayak.
Menurut Prabu, media sosial membawa sejumlah peluang terhadap iklim komunikasi politik yang lebih baik, sebagai konsekuensi dari fitur user generated content dan artificial intelligence. Yaitu pertama, media sosial membuka ruang partisipasi publik yang lebih luas untuk berkontribusi memberi informasi maupun untuk terlibat dalam diskusi.
Kedua, media sosial juga membuka peluang untuk meningkatkan minat publik dalam mengakses informasi karena sistem algoritma media sosial yang menyesuaikan preferensi khalayak.
Namun di sisi lain, media sosial juga membawa ancaman serius bagi publik. Pertama, media sosial memfasilitasi penyebaran hoaks atau fake news. Kedua, media sosial juga memfasilitasi terbentuknya echo chamber dimana khalayak hanya akan mengkonsumsi informasi yang sesuai dengan keyakinannya, sehingga dapat memperdalam polarisasi politik yang terjadi.
Sementara itu, pakar pendidikan dari Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Abdul Malik Gismar mengungkapkan fenomena global distrust yaitu runtuhnya kepercayaan publik secara umum di dunia terhadap berbagai hal, seperti terhadap pemimpin pemerintahan, korporasi, dan bahkan jurnalis. Setidaknya itu yang diperoleh dari riset Edelman Trust Barometer tahun 2022 yang melibatkan 36.000 lebih responden di 28 negara. Bahkan riset tersebut juga mengungkap sejumlah masing-masing 67 persen dan 66 persen responden merasa mereka telah dibohongi oleh media dan pemimpin pemerintahan di negara mereka masing-masing.
“Kita hidup di masa kebenaran yang serba relatif (uncertain truth) dan senantiasa hadirnya informasi alternatif (alternative facts). Pada masa ini tidak ada common ground yang disepakati bersama. Sehingga, emosi default dari khalayak adalah distrust,” ungkap Malik.
Fenomena distrust ini pada gilirannya mengantarkan pada merebaknya penggunaan “politics of fear” yang mengeksploitasi kecemasan khalayak. Politics of fear ini dimanifestasikan dalam retorika-retorika yang mengedepankan konstruksi in-group “kita” (seperti misalnya narasi kepentingan penduduk asli) versus out-group “mereka” (seperti misalnya ancaman dari kaum pendatang) yang menumbuhsuburkan polarisasi politik. Sebagaimana hal ini terjadi pada pemilu presiden di Amerika Serikat (AS) di tahun 2016. [wip]