(IslamToday ID) – Pernikahan pasangan beda agama yang permohonannya dikabulkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, dianggap sebagai “terobosan” bagi pernikahan beda agama di Indonesia.
Akan tetapi, MUI menghendaki agar pengadilan membatalkan putusan itu, seraya menegaskan perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
Pada April silam, PN Surabaya mengabulkan permohonan pasangan pria muslim dan perempuan Kristen untuk secara hukum mengakui pernikahan mereka. Keputusan itu diumumkan pada Senin (20/6/2022), setelah pengadilan mengunggah dokumen tersebut di situs mereka.
Pernikahan beda agama bukan hal yang melanggar hukum di Indonesia, namun memperjuangkan pengesahannya melalui putusan pengadilan merupakan hal yang masih jarang diupayakan masyarakat.
Hukum Indonesia tidak secara spesifik melarang pernikahan beda agama, namun UU Perkawinan membuat ketentuan nikah beda agama menjadi multi tafsir dan kental dengan bias ideologi keagamaan.
Adapun saat ini, sidang uji materi pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan yang dianggap multi tafsir sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK). Ini adalah kali kedua pasal itu digugat.
Maret silam, pasangan beda agama RA dan EDS telah melangsungkan pernikahan mereka menurut agama masing-masing di Surabaya, Jawa Timur. Setelah melakukan perkawinan secara Islam (agama yang dianut oleh RA), pasangan itu kemudian melakukan pemberkatan pernikahan secara Kristen (sesuai agama EDS) di hari yang sama.
Sebagai bagian dari administrasi, mereka melakukan pencatatan pernikahan beda agama mereka di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) setempat. Tapi permohonan mereka ditolak.
Keduanya akhirnya mengajukan permohonan ke PN Surabaya dan pada akhir April silam, PN Surabaya mengabulkan permohonan pernikahan beda agama tersebut dan memerintahkan Dinas Dukcapil untuk melakukan pencatatan perkawinan ke dalam register pencatatan perkawinan.
Adapun, dalam konferensi pers pada Rabu (22/6/2022), Kepala Dinas Dukcapil Surabaya, Agus Imam Sonhaji berkata bahwa pihaknya telah mengeluarkan akta pernikahan pada 9 Juni silam.
“Untuk case kemarin, karena sudah mencukupi ketentuan persyaratan yang berlaku diperundang-undangan, maka itu kita proses. Karena di undang-undang disebutkan Dukcapil itu diberikan tugas untuk melaksanakan apa yang menjadi penetapan hakim di pengadilan, sehingga itu kita terbitkan,” ujar Agus seperti dikutip dari BBC, Kamis (23/6/2022).
Ia beralasan, permohonan pencatatan perkawinan bagi pasangan beda agama itu sebelumnya ditolak di Dukcapil sebab memerlukan penetapan pengadilan, merujuk pada UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Kasus ini menjadi perhatian publik dan viral di dunia maya setelah PN Surabaya mengunggah putusan pengadilan itu pada 20 Juni. Pro dan kontra tentang pernikahan beda agama kembali mencuat.
Dalam pertimbangannya, hakim memutuskan untuk mengabulkan permohonan pernikahan pasangan beda agama itu karena dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak mengatur mengenai pernikahan beda agama.
“Karena di Undang-undang Perkawinan tidak ada yang secara limitatif mengatur perkawinan beda agama, makanya kami harus membuat terobosan ini,” kata Humas PN Surabaya Suparno.
Adapun, merujuk pada UU Administrasi Kependudukan, masalah perkawinan beda agama menjadi wewenang pengadilan untuk memeriksa dan memutuskannya.
Hakim juga mempertimbangkan bahwa kedua mempelai mempunyai hak untuk mempertahankan agamanya sesuai dengan Pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan memeluk keyakinan. Putusan hakim juga mempertimbangkan bahwa keinginan pasangan beda agama itu telah mendapat restu dari masing-masing keluarga.
Namun, putusan pengadilan itu ditentang keras oleh MUI yang menyebut pernikahan beda agama sangat bertentangan dengan aturan negara. MUI mendasarkan argumennya pada UU Perkawinan pasal 2 (1) yang menyebut perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
“Terkait dengan masalah perkawinan beda agama adalah menjadi wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutusnya. Artinya ketika memeriksa dan memutuskan sepatutnya pengadilan negeri membatalkan pernikahan tersebut,” kata Sekretaris MUI Pusat Amirsyah Tambunan.
Ia mengatakan pernikahan beda agama di negara Indonesia bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 29 tentang kebebasan dan kemerdekaan memeluk keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam pasal tersebut, katanya, dijelaskan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Selain itu, pernikahan beda agama juga melawan konstitusi yang telah dijelaskan pada UUD 1945 Pasal 28 B. Dalam Pasal 28 B (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (2) Setiap orang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
“Dengan perkawinan beda agama maka terjadi pertentangan logika hukum, karena selain beda agama juga berbeda kepercayaan yang dianut oleh calon pasangan suami istri yang dalam kasus ini harus ditolak atau dibatalkan,” kata Amirsyah.
Sebelumnya, MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah pada 2005 silam.
Ketua Lembaga Dakwah MUI Jawa Timur, Ilhamullah Sumarkhan Faniddin menjelaskan lebih lanjut mengapa perkawinan beda agama diharamkan dalam agama Islam.
“Menikah itu kan untuk dunia akhirat, menikah juga hubungannya dengan anak dan keturunan. Sementara antara ibu dan ayah itu beda agama, nanti anak ikut siapa? Itu kadang-kadang terjadi percekcokan dan pertentangan antara ibu dan ayah,” katanya.
“Berdasar pertimbangan itu, maka intinya dalam Islam diharamkan atau tidak dibolehkan muslim menikah dengan non-muslim,” tambahnya.
Preseden Kasus Serupa?
Ini adalah kali pertama PN Surabaya mengabulkan perkawinan beda agama. Namun sebelumnya, preseden serupa sudah jamak terjadi di wilayah lain di Indonesia.
Aturan mainnya, kata pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, merujuk pada UU Administrasi Pemerintahan, perkawinan beda agama dibolehkan untuk dicatatkan di Dukcapil, tapi pencatatannya harus berdasarkan penetapan pengadilan.
Bivitri berkata aturan main ini sudah lama, walaupun UU Administrasi Pemerintahan baru disahkan beberapa tahun lalu. “Tapi sebenarnya preseden tentang penetapan perkawinan beda agama itu dibolehkan oleh pengadilan itu sudah keluar sejak 1986,” jelas Bivitri.
Penetapan ini, ujarnya, dibutuhkan agar kemudian pasangan beda agama itu bisa mencatatkan perkawinannya secara negara ke catatan sipil.
“Kalau belum ada penetapan pengadilan, biasanya tergantung Dukcapilnya, apakah mereka tangan terbuka (menerima). Tapi banyak sekali yang tidak mau menerima kalau belum ada penetapan pengadilannya,” katanya.
Di sisi lain, Bivitri mengemukakan bahwa seringkali ada bias agama dalam putusan penetapan pengadilan, yang berakar dari UU Perkawinan pasal 2 (1) yang multi tafsir. “Pasalnya multi tafsir karena mereka menggunakan agama, padahal agama itu bisa multi tafsir. Ketika sampai di meja hakim, jadinya tergantung pada pemahaman sang hakim tentang agamanya juga,” ungkapnya.
Artinya, kata Bivitri, ada ketidakpastian hukum bahwa bisa saja di tempat lain hakim tidak mau melihat tafsir lain. “Jadi betul-betul bergantung pada lokasinya, pada hakimnya, pada kasusnya, itu yang namanya ketidakpastian hukum di situ,” tegasnya.
Adapun, pencatatan perkawinan untuk warga muslim, warga agama lain dan pasangan beda agama memang berbeda. Untuk perkawinan sesama muslim, pencatatan dan pengesahan dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA).
Bagi agama selain Islam, pencatataan perkawinan di Dinas Dukcapil. Sementara untuk pasangan beda agama, harus melalui penetapan pengadilan, sebelum dicatatkan di Dinas Dukcapil.
Implikasinya pada Uji Materii UU Perkawinan
Adapun saat ini, sidang uji materi pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan sedang berlangsung di MK. Ini adalah kali kedua pasal itu digugat.
Dalam gugatan uji materiil terbaru, Ramos Petege, warga Dogiyai, Papua menggugat pasal itu karena membuatnya yang seorang Katolik tidak bisa menikahi kekasihnya yang muslim.
Secara lengkap, pasal itu berbunyi: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Sejak disahkan pada 1974, pasal itu mewajibkan pernikahan sah di mata hukum jika sudah sah di mata agama. Namun pasal ini problematis bagi mereka yang menikah beda agama.
Dalam gugatannya, Ramos menjelaskan bahwa ketidakpastian hukum itu telah membuat ia dan kekasihnya yang sudah tiga tahun menjalani hubungan, batal menikah.
“Ketidakpastian tersebut secara aktual telah melanggar hak-hak konstitusional yang dimiliki pemohon, sehingga tidak dapat melangsungkan perkawinannya karena adanya intervensi oleh golongan yang diakomodir negara.”
Ramos mengajukan agar pasal direvisi sehingga isinya membolehkan pernikahan beda agama.
Putusan PN Surabaya dikhawatirkan oleh pengamat tata negara Bivitri Susanti, akan membuat MK mengatakan bahwa perkawinan beda agama tetap bisa dilakukan asal lewat penetapan pengadilan.
“Dengan adanya putusan ini mencuat lagi, walaupun dari tahun 1986 sudah ada, bisa saja menjadi argumentasi MK bahwa ini memang tidak ada hak asasi yang dihalangi, hanya secara teknis lebih sulit,” ujarnya.
Kendati begitu, Bivitri merekomendasikan agar pasal multi tafsir itu dinyatakan inkonstitusional, karena seharusnya negara mengadministrasi hak asasi manusia.
SE Mahkamah Agung
Tanggapan berbeda dikemukakan Kepala KUA Kecamatan Gubeng Kota Surabaya Abdul Wahid Boedin. Ia menegaskan pernikahan beda agama di Indonesia tidak dianggap sah oleh hukum, kecuali salah satu pihak mengikuti agama pihak lainnya.
Aturan tersebut berdasarkan Surat Edaran (SE) dari Mahkamah Agung tanggal 30 Januari 2019 No.231/PAN/HK.05/1/2019 poin 2 yang menjelaskan tentang pencatatan perkawinan beda agama.
Akan tetapi, lanjutnya, jika perkawinan tersebut dilaksanakan berdasarkan agama salah satu pasangan dan pasangan yang lain menundukkan diri kepada agama pasangannya, maka perkawinan tersebut dapat dicatatkan.
Wahid mencontohkan jika pernikahan dilaksanakan berdasarkan agama Kristen maka bisa dicatatkan di Kantor Dinas Dukcapil Surabaya. Begitu pula, jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Islam. “Maka perkawinan pasangan tersebut dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Jadi, baru boleh ke KUA bila salah satu pihak sudah mualaf (masuk Islam),” tegasnya.
Ia menjelaskan pernikahan yang dicatat di KUA hanya sebagai pernikahan yang disetujui oleh agama Islam saja. KUA tidak menerima pernikahan beda agama. “Jadi, bukan nikah di KUA dahulu, baru di tempat ibadah lain. Bukan kayak di TV-TV begitu ya. Namun, juga jangan mualaf dahulu terus balik lagi ke agama asal,” pungkasnya. [wip]