ISLAMTODAY ID— Pembahasan Rancangan Kitab Hukum Undang-undang Pidana (RKUHP) oleh DPR dan pemerintah kembali menuai polemik. Tertutupnya proses penggodogan RKUHP yang sejak awal bermasalah ini kian ramai.
Draft terbaru dari RKUHP hingga kini belum juga bisa diakses oleh masyarakat. Padahal draft lama RKUHP, edisi 28 Agustus 2019 dinilai banyak pihak, bermasalah.
Berdasarkan draft lama, RKUHP dinilai tidak memberikan kepastian hukum, bahkan cenderung mengkriminalisasi dan berpotensi melanggar HAM. Catatan buruk lainnya, yang harus diwaspadai ialah jangan sampai RKUHP ini mengulang tragedi legislasi sembunyi dan ugal-ugalan sebagaimana UU KPK, UU Cipta Kerja, UU Minerba, UU MK, UU IKN dan yang terbaru Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).
“Selalu kebiasaan buruk parlemen sekarang itu menyembunyikan hal-hal penting yang harusnya diproses secara transparan. Ini yang terkait dengan Rancangan Undang-undang KUHP, harusnya kan publik bisa mengakses, membongkarnya,” kata Ubedillah Badrun Mantan Direktur Pusat Studi Sosial Politik (Puspol) Indonesia dikutip dari kanal Youtube Realita TV pada Rabu, 22 Juni 2022.
Polemik RKUHP
Pada tahun 2019 silam, RKUHP ditolak oleh berbagai elemen mulai dari mahasiswa, akademisi, LSM, buruh hingga wartawan. Mereka menyampaikan keberatannya dengan muatan hukum yang terdapat dalam RKUHP.
Organisasi para jurnalis, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) misalnya turut memberikan kritiknya. Mereka menuntut dihapuskannya 14 pasal bermasalah yang berpotensi menghapus kebebasan pers.
RKUHP menjadi salah satu tuntutan utama dalam aksi yang berujung ricuh pada September 2019 silam. Aksi mahasiswa besar-besaran berlangsung di sejumlah kota, provinsi diantaranya Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang hingga Kendari.
Kini di tengah-tengah wacana pembahasan kembali RKUHP, pemerintah dinilai menutup akses publik. Para mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) memberikan ultimatum kepada pemerintah.
“Apabila Presiden dan DPR RI tidak kunjung membuka draf terbaru RKUHP dan menyatakan akan membahas pasal-pasal bermasalah di luar isu krusial dalam kurun waktu 7 x 24 jam, kami siap bertumpah ruah ke jalan dan menimbulkan gelombang penolakan yang lebih besar dibandingkan tahun 2019,” ujar Koordinator Sosial Politik BEM UI, Melki Sedek Huang dilansir dari kompascom (21/6/2022).
Alasan Penolakan
Ubedilah Badrun yang juga Analis Sosial Politik UNJ, menilai RKUHP mengatakan potensi kriminalisasi dari RKUHP sangat besar. Semua elemen masyarakat harus kembali turun ke jalan untuk menyuarakan hal ini.
“Potensi kriminalisasinya dari RKUHP ini besar, kalau kemudian potensi besar lalu kita tidak lawan, kita tidak tolak, artinya ini bencana buat demokrasi kita,” tutur Ubedilah.
Ia menyebut ada lima alasan mengapa RKUHP layak untuk ditolak. RKHUP dinilai memiliki semangat untuk mengkriminalisasi rakyat yang seharusnya dilindungi oleh negara.
“Saya mencatat ada lima alasan mengapa RKUHP itu kemudian harus ditolak,” ungkap Ubedilah berdasarkan pengalamannya di tahun 2019 silam.
Pertama, ubstansi RKUHUP dinilai bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Produk undang-undang DPR seharusnya sesuai dengan pembukaan UUD 1945, rakyat harus dilindungi.
“Artinya warga negara itu bukan musuh. Warga negara adalah rakyat, yang punya hak dan punya saham yang dilindungi oleh negara,” ujar Ubedilah.
“Itu spirit yang harusnya muncul di dalam undang-undang,” tegasnya.
Kedua, banyak pasal-pasal bermasalah dan multitafsir dalam RKUHP. Ketiga, tidak mencerminkan semangat dekolonisasi, muatan hukumnya warisan era kolonial.
“Karena kolonial itu menganggap inlander adalah ancaman. Ini kan parah, kalau undang-undang diproduksi di abad 21 yang era digital tapi undang-undangnya masih era kolonial,” tutur Ubedilah.
Keempat, RKUHP tidak mencerminkan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Kelima, RKUHP memuat 1.198 peraturan ancaman pidana.
“Artinya kan ini semangatnya, semangat memenjarakan rakyat,” ucap Ubedilah.
Deretan Pasal-Pasal Bermasalah
Ubedilah pun memaparkan sejumlah pasal bermasalah yang menjadi ancaman serius bagi demokrasi di Indonesia. Berikut pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP yang berpotensi merusak demokrasi di Indonesia.
Pasal 273
Pasal 273, pasal yang diberlakukan bagi para pendemonstrasi. Seorang pengunjuk rasa yang meyalurkan aspirasinya tanpa memberi tahu aparat terancam pidana 1 tahun penjara.
“Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II. (Pasal 273 RKUHP)
“Jadi inikan ancaman kebebasan berpendapat, kalau demonstrasi harus memberi tahu itu namanya pemaksaan terhadap ekspresi berpendapat,” ujar Ubedilah.
Pasal 218
Pasal 218 merupakan pasal tentang ancaman bagi penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden. Pasal dengan ancaman pidana 3,5 tahun itu pun dipertanyakan.
“Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp 250juta). (Pasal 218 ayat 1)
“Definisi menghina itu apa? Nah ini disebut dengan pasal karet,” tanya Ubedilah.
Pasal 353
Pasal 353 merupakan pasal yang mengancam para penghina lembaga negara. Dengan definisi penghinaan yang belum jelas, kritik dalam bentuk satire bisa jadi dianggap penghinaan.
Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II. (Pasal 353 ayat 1)
“Misalnya mahasiswa membuat satire gambar (Gedung) DPR, padahal maksudnya satire, satire kritis parlemen hari ini yang nggak punya fungsi lalu dianggap menghina lembaga negara,”
Pasal 241 dan Pasal 354
Penyebarluasan penghinaan melalui sosial media baik pembuat atau penyebar dikenai hukuman penjara.
“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.” (Pasal 241)
“Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.” (Pasal 354)
“Pasal-pasal itu tidak menghadirkan suatu demokrasi yang berkualitas dan itu berbahaya bagi kemerdekaan berserikat dan berkumpul,” pungkas Ubedilah. (Kukuh Subekti)