(IslamToday ID) – Tiga warga asal Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur berjalan kaki sejauh 901 kilometer ke Jakarta. Ketiganya adalah Supangat (52), Nurkholik (39), dan Masbud (36) yang membawa misi untuk mengadukan aktivitas tambang di wilayahnya yang diduga menjadi penyebab terhambatnya jalur lahar dingin Gunung Semeru.
“Pertambangannya sudah mengkhawatirkan dengan membangun tanggul-tanggul melintang untuk menutup atau menghambat aliran lahar,” kata Nurkholik ditemui di kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (11/7/2022).
Ia menyampaikan perusahaan itu adalah CV Duta Pasir Semeru yang telah beroperasi sejak tahun 2015. Kala itu warga tak pernah resah atas aktivitas tambang yang dilakukan. Namun pada tahun 2019-2020, warga mulai khawatir karena tanggul melintang dibangun di aliran sungai tempat lahar dingin Gunung Semeru melintas.
Keresahan warga, lanjut Nurkholik, terbukti ketika erupsi Semeru terjadi 4 Desember 2021. “Erupsi datang dan itu mengarah ke dusun kami karena terhambat aliran sungainya. Itulah yang terjadi,” ucapnya seperti dikutip dari Kompas.
Nurkholik memaparkan, lahar dingin itu memporak-porandakan 133 rumah di Desa Sumberwuluh dan berdampak pada 113 kepala keluarga. Berbagai upaya pun telah ditempuh oleh Nurkholik dkk. Mulai dari bertemu dengan Bupati Lumajang, hingga membuat laporan ke Polres Lumajang.
Tak hanya itu, aduan juga telah disampaikan melalui surat pada Kementerian Energi Sumber Daya Alam (ESDM). “Namun belum ada tindak lanjut sampai saat ini,” katanya.
Menolak untuk menyerah, Nurkholik lantas menuju Jakarta dengan jalan kaki. Tujuannya, agar protesnya didengar masyarakat Indonesia dan pemerintah pusat. “Harapan kami agar segera melakukan penyelidikan. Bagaimana nanti selanjutnya, kami serahkan ke pemerintah pusat,” imbuhnya.
Diberitakan sebelumnya, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menuturkan akan melakukan pemeriksaan pada berbagai pihak terkait aduan warga Desa Lumajang itu. Beka ingin semua pihak menjamin kelangsungan hak asasi warga Desa Sumberwuluh.
Ia tak mau tragedi Salim Kancil terulang lagi di Lumajang. “Kita juga tidak ingin ada lagi kejadian seperti Salim Kancil di Lumajang. Saya kira kejadian Salim Kancil harus menjadi pelajaran bagi kita semua,” paparnya.
Adapun Salim Kancil dibunuh secara keji 26 September 2015 karena menolak aktivitas tambang pasir di Desa Selo Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang.
Salim memperjuangkan keresahan warga Desa Selo Awar-Awar karena merebaknya tambang pasir di wilayah itu. Aktivitas pertambangan yang masif menyebabkan saluran irigasi rusak, padi tak bisa ditanam akibat air laut menggenangi persawahan karena daerah pesisir terus dieksploitasi. [wip]