(IslamToday ID) – Pengamat ekonomi Anthony Budiawan menilai sistem negara Indonesia sudah masuk kategori tirani karena memusatkan kekuasaan pada kelompok tertentu saja. Kemudian hukum pun dibuat demi untuk kepentingan kelompoknya sendiri.
“Jadi contohnya adalah beberapa undang-undang yang dibuat untuk kepentingan kelompoknya sendiri, jadi tidak untuk kepentingan rakyat banyak. Dan dampaknya ini sudah sangat luar biasa dari sudut pandang ekonomi,” kata Anthony dalam diskusi bertema ‘Selamatkah Indonesia dengan Sistem Bernegara Hari Ini?’ di kantor Sekretariat KAMI, Jalan Kusumaatmadja No 76, Menteng, Jakarta Pusat, dikutip dari YouTube FNN, Sabtu (20/8/2022).
Ia kemudian membandingkan pemerintahan hari ini dengan rezim Orde Baru Soeharto. Meski sama-sama tirani, namun era Orde Baru masih memikirkan rakyat yakni hasil dari penguasaan sumber daya alam masih disetorkan ke APBN. Semua hasil dari kenaikan harga komoditas, seperti harga minyak, harga karet, dan sebagainya itu dikembalikan kepada APBN sehingga APBN meningkat tajam.
“Tetapi sekarang sejak reformasi, kita lihat perluasan lahan untuk komoditas khususnya batubara itu dikuasai oleh sekelompok pengusaha saja. Ekspor batubara dari 2004 sampai 2019 itu mencapai 245 miliar dolar AS atau sekitar Rp 3.750 triliun. Harusnya paling sedikit setengahnya atau 100 miliar dolar AS itu adalah profit,” ungkap Anthony.
Ia menyebut ekonomi dari 2004 hingga 2015 semakin brutal. Penguasaan terhadap sumber daya alam oleh penguasaha makin terang-terangan. Kebijakan ekonomi fiskal makin tidak berpihak pada rakyat.
Anthony mencontohkan kebijakan pemerintah yang akan menaikkan harga BBM dengan dalih karena subsidi sudah membangkak. Harusnya yang jadi pertimbangan adalah bukan besarnya subsidi yang harus dikeluarkan, tapi bagaimana dengan daya beli masyarakat.
“Jadi bukan masalah subsidi sudah Rp 500 triliuan, yang jadi permasalahan adalah apakah rakyat mampu apa tidak? Kalau rakyat tidak mampu itu harusnya masih disubsidi,” ujar Anthony.
Sehingga, jika alasan menaikkan BBM karena APBN tidak mampu mengeluarkan subsidi lebih besar, maka seharusnya pengeluaran yang dipangkas.
“Nah, karena DPR sudah tidak memberikan kontrol, maka tidak terjadi kebijakan ekonomi politik untuk rakyat. DPR tidak memainkan fungsinya. Dan inilah yang dinamakan ekonomi politik kita sangat tidak pro rakyat,” ujarnya. [wip]