(IslamToday ID) – Direktur Celios Bhima Yudhistira mengingatkan pemerintah untuk mengurungkan niatnya menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Menurutnya, imbas dari kenaikan BBM terutama pertalite akan berdampak signifikan pada kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah.
Menurut Bhima, daya beli masyarakat akan turun serta pos belanja lain akan dikorbankan demi bisa membeli BBM.
“Apa kondisi masyarakat miskin saat ini siap menghadapi kenaikan harga BBM, setelah inflasi bahan pangan (volatile food) hampir sentuh 11 persen secara tahunan per Juli 2022? Masyarakat kelas menengah rentan juga akan terdampak, mungkin sebelumnya mereka kuat beli pertamax, tapi sekarang mereka migrasi ke pertalite dan kalau harga pertalite juga ikut naik, maka kelas menengah akan korbankan belanja lain,” ujar Bhima, Senin (22/8/2022).
Ia menyebutkan, masyarakat yang tadinya bisa belanja baju, mau beli rumah lewat KPR, hingga sisihkan uang untuk memulai usaha baru akhirnya tergerus untuk beli pertalite.
“Imbasnya apa? Permintaan industri manufaktur bisa terpukul, serapan tenaga kerja bisa terganggu. Dan target-target pemulihan ekonomi pemerintah bisa buyar,” ungkap Bhima.
Selain itu, ia mengingatkan jika inflasi menembus angka yang terlalu tinggi dan serapan tenaga kerja terganggu, Indonesia bisa menyusul negara lain yang masuk fase stagflasi (pertumbuhan ekonomi lambat dan tingkat pengangguran tinggi). Imbasnya bisa 3-5 tahun recovery terganggu akibat daya beli turun tajam.
Sepanjang Januari ke Juli 2022, serapan subsidi energi kan baru Rp 88,7 triliun berdasarkan data APBN Kita. Sementara APBN sedang surplus Rp 106,1 triliun atau 0,57 persen dari PDB di periode Juli. Artinya, pemerintah juga menikmati kenaikan harga minyak mentah untuk dorong penerimaan negara.
“Kenapa surplus tadi tidak diprioritaskan untuk tambal subsidi energi? Jangan ada indikasi, pemerintah tidak mau pangkas secara signifikan anggaran yang tidak urgen dan korbankan subsidi energi,” tutur Bhima.
Untuk win-win solutionnya, pemerintah bisa lakukan revisi aturan untuk hentikan kebocoran solar subsidi yang dinikmati oleh industri skala besar, pertambangan, dan perkebunan besar.
“Dengan tutup kebocoran solar, bisa hemat pengeluaran subsidi karena 93 persen konsumsi solar adalah jenis subsidi. Atur dulu kebocoran solar subsidi di truk yang angkut hasil tambang dan sawit, daripada melakukan kenaikan harga dan pembatasan untuk jenis pertalite,” ujar Bhima.
Sementara itu, pengamat ekonomi dan energi UGM Fahmy Radhi juga mengatakan menaikkan harga pertalite juga bukanlah solusi yang tepat, bahkan tidak ada urgensinya sama sekali.
“Saya menghitung misalnya dinaikkan 30 persen atau di angka Rp 10.000, maka akan memberi sumbangan inflasi sekitar 0,93 persen. Padahal inflasi yang sekarang sudah di angka 5,2 persen, kalau pertalit dinaikkan maka inflasi akan menjadi 6,2 persen. Ini cukup tinggi, dengan inflasi 6,2 persen ini akan menurunkan daya beli dan konsumsi dan ujungnya akan mengerus pertumbuhan ekonomi yang sudah dicapai 5,4 persen,” katanya.
Menurutnya, yang paling dikorbankan dari kenaikan inflasi tersebut adalah rakyat miskin, bahkan rakyat miskin yang tidak mendapatkan subsidi BBM karena tidak memiliki sepeda motor. [wip]