(IslamToday ID) – Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia menanggapi wacana sistem proporsional tertutup atau coblos partai untuk Pemilu 2024 yang dimunculkan oleh Ketua KPU RI Hasyim Asyari. Ia menilai Hasyim telah menabrak kapasitasnya sebagai penyelenggara pemilu.
“Itu saudara Hasyim dalam kapasitas apa mengeluarkan pernyataan seperti itu? KPU adalah institusi pelaksana undang-undang (UU), sementara bila ada perubahan sistem pemilu artinya ada perubahan undang-undang,” kata Doli, Jumat (30/12/2022).
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini mengurai, perubahan UU hanya terjadi jika ada revisi dan terbitnya Perppu melibatkan DPR dan pemerintah maupun berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Doli, hanya institusi tersebut yang bisa mengubah UU, bukan KPU.
“Memang saya mendapatkan informasi bahwa ada pihak yang sedang mengajukan judicial review (JR) soal sistem pemilu itu. Di dalam Pasal 168 ayat (2) disebutkan bahwa pelaksanaan pemilu legislatif menggunakan sistem proporsional daftar terbuka,” kata Doli dikutip dari RMOL.
Namun demikian, ia menyesalkan wacana tersebut justru keluar dari KPU. Ia lantas curiga bahwa Ketua KPU RI termasuk di dalam pihak yang mengajukan JR. Lebih jauh daripada itu, Hasyim seolah selangkah lebih maju dengan mempertimbangkan sistem proporsional tertutup sebelum MK mengeluarkan putusan resminya.
“Saya juga berharap MK dapat mengambil posisi yang netral, objektif, dan memahami posisi UU Pemilu yang sangat kompleks dan pada pembahasannya dilakukan kajian mendalam dan membutuhkan waktu yang cukup panjang,” tegas Doli.
Ketua DPP Partai Nasdem, Willy Aditya menilai wacana proporsional tertutup yang dilontarkan ketua KPU terkesan sebagai ekspresi kemalasan berpikir untuk membangun kemajuan dan kehidupan berpolitik.
“Demokratisasi sepatutnya bukan memundurkan yang telah maju, tetapi memperbaiki dan menata ulang hal yang kurang. Jika benar kembali ke sistem proporsional tertutup, maka terjadi kemunduran luar biasa,” tegas Willy.
Menurutnya, wacana proporsional tertutup yang dilontarkan KPU justru menutup peluang rakyat untuk mengenal para Caleg yang akan dipilihnya sebagai perwakilan di parlemen. “Rakyat juga dipaksa memilih kucing dalam karung,” kritik Willy.
Ia menjelaskan bahwa sistem proporsional terbuka adalah antitesis dari sistem sebelumnya. Pasalnya, sistem proporsional terbuka dahulu dipilih untuk menjawab persoalan kesenjangan representasi. Ada kelemahan pengenalan dan saluran aspiratif rakyat dengan wakil rakyatnya. “Dengan kembali ke proporsional tertutup, artinya demokrasi kita mengalami kemunduran,” tegasnya.
Tak hanya itu, sistem proporsional tertutup juga akan merepresentasikan peran oligarki dalam pesta demokrasi rakyat. Sistem proporsional tertutup membuka “perlombaan” mendapatkan nomor urut kecil menjadi pertarungan tersendiri di dalam partai. Selain itu, asal dekat dengan penguasa partai, maka soal kinerja yang buruk tidak akan pernah menjadi soal bagi bakal Caleg.
“Sedangkan proporsional terbuka memungkinkan beragam latar belakang sosial seseorang untuk bisa terlibat dalam politik elektoral. Dengan sistem semacam ini pula, warga bisa turut mewarnai proses politik dalam tubuh partai,” pungkasnya. [wip]