ISLAMTODAY — Wakil direktur Departemen Nonproliferasi dan Kontrol Senjata Kementerian Luar Negeri Rusia, Igor Vishnevetsky menegaskan bahwa Perang hibrida yang diluncurkan melawan Rusia dapat berkembang menjadi konflik antara negara berkekuatan nuklir.
“Sebuah kampanye militer hibrida telah diluncurkan terhadap Rusia, yang dipaksa untuk mempertahankan haknya yang sah untuk memastikan kepentingan keamanan fundamentalnya, yang penuh dengan tergelincir ke dalam konflik langsung antara kekuatan nuklir,” jela Igor Vishnevetsky pada konferensi Nuklir NPT (Non Proliferation Treaty) di New York, pada hari Selasa (2/8/2022).
Menurutnya, Rusia meyakini bahwa tidak akan ada pemenang dalam perang nuklir dan konfrontasi antar negara berkekuatan nuklir semacam itu tidak boleh terjadi.
“Kami percaya bahwa perang nuklir tidak dapat dimenangkan, dan itu tidak boleh terjadi. Dan kami mendukung keamanan yang setara dan tak terpisahkan untuk semua anggota komunitas global,” jelas Diplomat senior Rusia itu.
Ia pun menekankan bahwa situasi dalam hal stabilitas strategis memburuk dengan cepat, dan aktivitas ekspansi NATO telah menyebabkan krisis di Eropa Tengah, kata Vishnevetsky dalam pidatonya.
“Pelanggaran berat terhadap prinsip keamanan yang setara dan tak terpisahkan sebagai akibat dari ekspansi berbahaya blok militer negara-negara yang mengklaim dominasi strategis militer dan geopolitik yang tak terbagi memicu krisis akut di tengah Eropa,” ujarnya.
Untuk diketahui, Hybrid Warfare atau Perang Hibrida merupakan strategi militer yang memadukan antara perang konvensional, perang yang tidak teratur (irregular warfare), dan ancaman cyber warfare, baik berupa senjata kimia dan biologi, radiologi, serangan nuklir, dan alat peledak improvisasi (CBRNE) serta perang informasi hingga perang media, teknologi siber, dan perang psikologis.
Perang Hibrida merupakan bentuk model gaya perang baru, di mana saat kondisi kuat, maka perang konvensional dilakukan untuk mengalahkan lawan. Akan tetapi, saat situasi kurang menguntungkan, maka taktik akan dilakukan untuk melemahkan pihak musuh.
Adapun taktik-taktik yang dimaksud ini bisa juga berupa penyebaran informasi atau propaganda tertentu demi menjatuhkan citra musuh, melakukan black campaign, atau penyusupan ke dalam pihak lawan, yang kesemuanya bertujuan untuk menghancurkan kekuatan lawan.
Istilah atau konsep perang hibrida pertama kali diusulkan oleh Frank Hoffman, seorang anggota Dewan Penasihat di Institut Penelitian Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat.