Oleh: Abu Bakar Bamuzaham*
JAKARTA, (IslamToday.id) — Sejak puncak kemasyhuran Dinasti Abbasiyah hingga memasuki masa-masa keruntuhan Dinasti Abbasiyah akibat serangan bangsa Mongol yang di pimpin oleh Hulaghu Khan pada abad ke 13 M, lembah Sungai Nil menjadi wilayah penting untuk merapatnya kapal-kapal dari India dan Timur Jauh (Asia Tenggara dan China).
Beralihnya kekuasaan dari Daulah Abbasiyyah ke Mesir yang di pegang oleh Daulah Mamluk di Mesir, semakin meramaikan lembah sungai Nil sebagai pusat perdagangan dunia yang menghubungkan antara wilayah Asia Tenggara dengan Laut Merah.
Jalur Maritim yang menghubungkan antara Jazirah arab di semenanjung sungai nil dengan wilayah Asia Tenggara, menyeberangi Samudra Hindia dan melewati wilayah Delhi India yang muaranya berasal dari Kesultanan Islam di Selat Malaka inilah yang kerap disebut sebagai ‘Jalur Rempah’.
Rute perdagangan antara Asia Tenggara dengan Laut Merah yang melintasi lautan Samudra Hindia ini telah berkembang, jauh sebelum Vasco De Gama mengenal seluk beluk “Jalur Rempah” ini.
Sejak abad ke 10 M, perkembangan teknologi Maritim yang di pelopori ilmuwan-ilmuwan Muslim telah berkembang pesat. Terlebih selama berkembangnya Daulah Abassyiah, Khalifah di Baghdad seperti Al Mansur (762 M) dan Al Mamun (813 M) yang menaruh perhatian besar dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan seperti ilmu tentang aritmatika, aljabar dan astronomi.
Hal ini memberi kontribusi besar terhadap pengetahuan ilmu navigasi maritim yang lebih maju. Panduan navigasi yang di tulis oleh Ilmuwan Muslim, mempelopori perkembangan penulisan kitab tentang jalur navigasi maritim melintasi Samudera Hindia.
Dalam hal penulisan navigasi maritim, Ilmuwan Muslim lebih pragmatis daripada para pendahulu mereka, sebab mereka mengandalkan deskripsi laut dan samudera berdasarkan pengamatan dan pengalaman langsung dan terlebih dengan bimbingan Islam, mereka mampu mendeskripsikan Samudra Hindia secara saintifik terlepas dari kisah-kisah mitos dan tahayul dimana sebelum masa Islam, mitos dan takhayul kerap bercampur dalam kisah-kisah pelayaran kuno.
Dari pendekatan Islam yang lebih ilmiah inilah, maka memasuki abad ke 11 lahirlah para ilmuwan Muslim yang kemudian mengembangkan ilmu pengetahuan tentang alam semesta. Misalnya, tentang peta pelayaran, alat untuk menentukan arah kiblat, alat untuk menentukan waktu sholat ketika berada di perjalanan, hingga alat untuk menentukan arah mata angin bahkan ilmu tentang memperkirakan terjadinya badai di tengah samudra luas.
Ilmu pengetahuan ini, yang kemudian bercabang menjadi berbagai disiplin ilmu, dari mulai ilmu meteorologi hingga ilmu tentang navigasi maritim.
Berkat kepiawaian para penulis ilmuwan muslim, memberi kontribusi besar bagi para pelaut dunia tentang jalur navigasi maritim. Misalnya, seperti yang ditulis oleh Al Mukaddasi (985 M), Al Idrisi (1160 M) yang telah membuat peta lengkap dalam bentuk globe dan lain sebagainya, hingga pada abad ke 14 dilanjutkan oleh Ahmed Ibn Majid asal Oman bersama muridnya Sulayman Al Mahri asal Yaman yang merupakan Navigator pertama dunia yang mendeskripsikan secara lengkap tentang jalur navigasi maritim melintasi Samudra Hindia hingga ke Selat Malaka dalam kitabnya yang berjudul: “Al-Fawa’id fi wal al-ilmi al bahri wa’l qawa’id (Buku Informasi tentang Prinsip dan Aturan Navigasi, 1490 M).
Sebagai navigator kapal, mereka menggunakan ilmu navigasinya dengan menuliskan pengetahuannya tentang angin. Dalam pembicaraannya tentang topan misalnya, Al-Mahri mengatakan, sangat perlu navigator untuk tahu lebih banyak tentang angin topan dan tanda-tanda datangnya. Tanda-tanda yang biasanya menyertai datangnya angin topan adalah meningginya suhu udara laut, hujan lebat, dan perubahan angin yang begitu tiba-tiba. Al-Mahri, menyebut ada lima jenis topan di Samudra Hindia yang biasa menerjang kapal yang sedang berlayar.
Salah satu jenis topan yang ada dalam daftar Al-Mahri adalah topan 40. Ini merupakan topan urutan ketiga dalam daftarnya. Menurutnya, topan jenis ini biasanya menghantam Laut Hormuz. Ibn Majid juga berbicara mengenai topan yang menerjang laut dalam beberapa tahun dan hilang pada beberapa tahun lainnya. Topan memiliki tanda-tanda saat datang. Di antaranya adalah meningkatnya debu di daratan dan laut.
Tanda lainnya, petir dan awan menutupi langit. Ini terjadi saat langit tertutup awan yang warnanya seperti warna kulit sapi. Setelah mengetahui hal ihwal angin, navigator menentukan langkah yang harus dipersiapkan sebelum dan saat berlayar.
Dari Ilmu pengetahuan tentang pelayaran dan Maritim inilah yang mendukung dan menghantarkan “ayat-ayat Al Quran” dapat menyebar hingga ke seluruh dunia. Termasuk pula Islam bisa dikenal luas hingga ke wilayah Asia Tenggara memasuki kawasan Selat Malaka.
Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa Islam menyebar ke segenap penjuru dunia beriringan dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan. Ilmu pengetahuan menjadi alat pendukung sarana dakwah. Dengan ditemukannya ilmu-ilmu yang baru dan kemudian di sempurnakan oleh generasi berikutnya, semakin menambah khazanah kemajuan Ilmuwan muslim kala itu.
Di tangan Kaum Muslimin, Ilmu pengetahuan bersatu bersama ayat-ayat Al Qur’an. Bersama alam mereka beribadah kepada Rabb-Nya. Sehingga tidak mengherankan bila keadaan ini mampu melahirkan Peradaban Besar di segenap penjuru dunia yang dihadiri oleh Islam.
Dari sini dapat dipahami pula bahwa cahaya Islam yang sejak abad ke 7 Masehi mulai menyebar dari kawasan tandus Arab telah membawa pengaruh perubahan besar bagi Peradaban manusia di seluruh penjuru dunia, dan tak hanya disebarkan melalui jalur darat bahkan melalui jalur maritim hingga ke kawasan Asia Tenggara.
Hal ini berarti pula bahwa Islam menyebar ke segenap penjuru dunia bukan melalui perdagangan. Tetapi justru perdagangan itu sendiri semakin berkembang pesat setelah hadirnya Islam. Sebab Islam mampu membimbing umatnya agar membuka ilmu baru dalam jalur navigasi maritim yang sejak berabad-abad sebelumnya jalur ini penuh mitos dan legenda yang menyebabkan orang takut berlayar menyeberangi Samudra Hindia.
Perlu waktu sepuluh tahun sebelum Ekspedisi Vasco de Gama, Portugis mengumpulkan informasi tentang rute jalur rempah ke India dari para pedagang, dan misi khusus dikirim untuk tujuan ini ke Timur.
Salah satu misi yang dipimpin oleh Alfonso de Paiva dan Pero de Covilham berlayar dari Portugal ke Mesir, harus menyamar sebagai Moslem, de Covilham naik kapal Arab dari Suez ke Aden, sementara de Paiva tetap di Mesir. Dari Aden, de Covilham mengambil kapal Arab lain ke India di mana ia mengunjungi Calicut dan Goa dan berlayar kembali ke Sofala sebelum kembali ke Mesir.
Tak lama setelah itu, ia berlayar kembali ke India sekali lagi dan kali ini dengan dua orang Portugis lainnya, nama yang satu adalah Abraham de Pia dan yang lainnya Jusef Lamigo. Di Hormuz Teluk Persia, mereka berpencar dan de Covilham kembali ke Portugal melalui Abyssinid dan melalui Sungai Nil. Dikatakan bahwa dia kembali dengan membawa peta Arab tentang navigasi di Samudra Hindia (Kammerer, 1935).
Tetapi ditangan orang-orang Eropa, jalur rempah yang merupakan jalur dakwah Islam ini dimaknai berbeda. Mereka orang-orang Eropa memaknai jalur Rempah ini sebagai jalur bisnis ataupun perdagangan.
Menurut Panikkar (sejarawan India) Alfonso d’Albuquerque pernah berpidato di depan serdadunya di Malaka:
“Dengan mengucilkan orang-orang Moor (Islam, Arab – penulis) dari perdagangan rempah-rempah, orang Portugis berharap menyerap mendobrak “Kekuatan Islam.”
Strategi di pihak Portugis ialah mencari jalan agar barang-barang perdagangan dari Kepulauan Indonesia, India dan Cina dapat langsung diangkut dari negeri itu ke Eropa (ke Portugal).
Selama semua barang itu diangkut dari negeri itu ke Teluk Persia dan Laut Merah dan melalui wilayah Negeri-negeri Islam di sekitar jalur perairan itu, kemudian barulah sampai di Eropa, maka akibatnya kemakmuran yang dicapai oleh negeri Islam itu adalah akibat rute perdagangan ini. Dan kemakmuran inilah, menurut pendapat orang Portugis, yang merupakan sumber kekuatan ekonomi politik negeri Islam yang harus dicegah.
Sekedar contoh, untuk menggambarkan rasa permusuhan orang Portugis terhadap Islam, dalam buku Panikkar (sejarawan asal India) diceritakan peristiwa tindakan Pimpinan Armada Vasco da Gama seperti disitir di ‘Lendas da India’. Armada Portugis menjumpai satu kapal orang Moor yang tidak dipersenjatai yang sedang kembali dari Mekah, Vasco da Gama menahan kapal itu dan dengan kata-kata Lendas:
“… setelah mengosongkan barang-barang kapal itu, melarang Nakhoda kapal untuk mengeluarkan orang Moor (Islam Arab, penulis) dan kemudian Vasco De Gama memerintahkan anak buahnya untuk membakar kapal itu”.(Algadri, 1984)
Dalam usaha untuk menguasai rute perdagangan Asia-Eropa ini, tak segan Armada Portugis beberapa kali harus bertempur dengan Armada Arab. Orang-orang Portugis berusaha keras untuk memotong rute perdagangan ke India Indonesia.
Keadaan ini terus di pertahankan oleh Portugis dengan membuat rute dan pusat-pusat perdagangan baru di sekitar selat Malaka, dan tak segan mereka harus bertempur melawan Kesultanan Islam di seputar Selat Malaka. Dimana disana terdapat Kesultanan Aceh Darussalam.
Secara diam-diam Portugis membantu Kerajaan Zamorin Hindu di India, yang bersahabat dengan Mesir.
Tahun 1507 Sultan Mesir mengirim armadanya dengan 1500 anak buah dan dilengkapi dengan senjata ke Laut Arab di bawah pimpinan laksamana yang berpengalaman, Mir Hussain untuk menghadapi Portugis. Armada Mesir dan Portugis bertemu di dekat Diu di India. Karena pengkhianatan Gubernur Gujarat di Diu, yang diam-diam memihak Portugis, diketahui oleh Mir Hussain.
Muak karena pengkhianatan ini, Mir Hussain dengan armada Mesirnya berlayar kembali ke Mesir tidak lama sesudah pertempuran itu.
Dengan perginya Mir Hussain bersama armada Mesirnya dari Samudra Hindia, maka orang Portugis menguasai sepenuhnya lautan Timur. Kemudian orang Portugis mengkonsolidasikan kekuasaannya di lautan dengan memblokir kota Aden, Sokotra dan Ormu kota dan pulau yang merupakan pintu ke arah dua jalur perdagangan: Teluk Persia dan Laut Merah.
Perlu diketahui bahwa di India pada waktu itu bergolak perjuangan antara Hindu dan Islam. Salah satu sebab utama mengapa orang Portugis dapat bertahan di Goa dengan kekuatan yang tidak besar, adalah hubungan persahabatan antara Kerajaan Hindu Vijayanagar dengan orang Portugis yang bersatu menghadapi musuh bersama, yakni Islam. Atas bantuan seorang kepala Hindu di daerah itu Alfonso d’Albuquerque bisa menjadi Gubernur daerah jajahan Portugis di Goa, sehingga Goa diduduki sepenuhnya oleh Portugis.
Sesudah Goa berhasil di duduki Portugis, kini tiba giliran Malaka. Perdagangan rempah-rempah dari Kepulauan Indonesia yang berlangsung melalui Selat Malaka, sebagian besar diangkut oleh para pedagang Arab ke pelabuhan Laut Merah. Penguasaan Samudra Hindia tak mungkin tanpa mendirikan kekuasaan di Selat Malaka.
Bagaimana eratnya motif dagang Portugis dapat kita lihat dari kata-kata Alfonso d’Albuquerque ketika menyerbu kota Malaka, setelah membakar semua kapal Arab dan kapal Cambay di pelabuhan, tetapi menyelamatkan kapal Cina kapal orang bukan-Islam, berkata Alfonso d’Albuquerque kepada anak buahnya:
“..jasa yang akan kita berikan pada Tuhan kita dengan mengusir orang-orang Moor (Islam-Arab) keluar dari negeri ini, sehingga kita bisa memadamkan api Islam dari Agama Mohamet”. (Al Gadri, 1984)
“Saya yakin mereka (orang-orang Moor) Kairo dan Mekah akan hancur dan Venetia juga musuh Portugal, itu tidak akan pernah menyebar lagi sesudah ini, jika kita rampas perdagangan Malaka ini, maka Eropa tidak akan menerima rempah kecuali mereka membeli rempah-rempah itu dari kita (Portugal)”(Al Gadri, 1984)
Dengan menduduki Malaka, maka dengan mudah kita bisa menggunakan pengaruhnya sebagai pusat kekuasaannya di laut, rute perdagangan ke Laut Merah dan Teluk Persia terpotong dan rute perdaganganpun pindah melalui Afrika Selatan, pantai barat Afrika ke Portugal dan Eropa dan lambat laun akan mengakibatkan kemunduran negara Islam sekitar Teluk Persia dan Laut Merah.
Sikap Portugis yang demikian itu tidak bisa dilepaskan dari sikap kebencian mendalam atas kenyataan kekalahan mereka selama perang salib, dan kenyataan atas ketertinggalan jauh yang telah di alami bangsa Eropa dari Islam selama Islam berkuasa di Spanyol. Terutama orang Arab, bangsa yang dianggapnya sebagai bangsa yang menyebarkan Islam, dan penguasa utama rute perdagangan rempah-rempah dari Kepulauan Indonesia ke Timur Tengah (Al Gadri).[Red: Tori Nuariza]
*Abu Bakar Bamuzaham, penulis merupakan peneliti Sultanate Institute