(IslamToday.id) — Jejak perbuatan keji para penjajah terhadap pribumi di era kolonial memang tak bisa ditutupi. Sebut saja pembantaian Westerling yang merenggut 40.000 jiwa masyarakat Sulawesi Selatan terjadi pada kurun waktu 1946-1947. Ada pula pembantaian rakyat Gayo Aceh yang menewaskan 2000 orang pada tahun 1904. Namun dari beberapa pembantaian tersebut, pembantaian masyarakat Banda Naira pada tahun 1621 bisa dibilang paling sadis. Diperkirakan lebih dari 13.000 jiwa tewas dibantai oleh tentara VOC dibawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen Gubernur Jenderal VOC ke II. Dengan besarnya jumlah korban, bahkan para ahli sejarah di Maluku menganggap bahwa Suku Asli di Kepulauan Banda sudah sulit ditemukan atau bisa dibilang hampir tidak ada karena mereka yang selamat memilih untuk meninggalkan pulau kemudian menikah dan beranak pinak dengan suku lain di luar wilayah Kepulauan Banda.
Secara georafis, Kepulauan Banda terletak dalam kawasan Maluku yang dekat dengan wilayah Ambon. Mereka terdiri atas 10 pulau vulkanis yang tersebar di Laut Banda dan pulau Run adalah salah satu pulau penghasil komoditas pala terbesar. Sebagian besar penduduk Banda pada abad 17 adalah pemeluk agama Islam. Adapun pemimpin atau pemuka suku mereka disebut dengan istilah “Orang Kaya”. Usman Thalib dalam bukunya Islam di Banda Neira mengungkapkan sesuatu yang menarik tentang masuknya Islam di Maluku khususnya bagaimana penduduk Kepulauan Banda akhirnya secara mayoritas dapat memeluk agama Islam.
Menurutnya, Islam diperkirakan telah masuk Wilayah Maluku pada abad ke-8 Masehi. Hal ini tentu berkaitan dengan pedagang muslim yang telah mengenal dan memasarkan buah atau serbuk pala sejak lama. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan para pedagang dari Arab tersebut datang ke wilayah Banda untuk berdagang sambil menyiarkan Islam sekaligus menikah dengan puteri-puteri lokal untuk membentuk suatu kesatuan masyarakat muslim di tempat-tempat yang dikunjungi terutama di Banda Neira sebagai pusat perdangan pala dan cengkeh.
Islam sebagai agama profetik yang sangat ketat dalam hal keyakinan, namun dalam proses Islamisasi di Kepulauan Banda para mubaligh maupun pedagang muslim terkenal sangat toleran terhadap tradisi masyarakat setempat. Dari keberhasilan dakwah tersebut, terciptalah sebuah keyakinan di masyarakat kala itu, bahwa orang akan menjadi kaya bila ia menjadi Islam dan hanya orang Islam yang bisa berdagang. Di Banda, Islam memberi kekuatan spiritual baru kepada penguasa dalam bentuk memposisikan diri mereka sebagai Raja sekaligus Imam.
Latar belakang pembantaian masyarakat Banda ini tak lain karena VOC menghendaki adanya monopoli dagang komoditas buah pala. Perlu diketahui, buah pala adalah salah satu komuditas utama dalam perdagangan bangsa Eropa. Hal ini dikarenakan, buah pala diyakini dapat mencegah penularan wabah “Black Death” melalui kutu Xenopsyllacheopis yang biasa ada di tikus rumahan dan telah merenggut 60% populasi warga Eropa atau setidaknya 200 juta jiwa. Alhasil harga buah pala setelah dikeringkan atau sudah menjadi bubuk memiliki nilai jual tinggi. Di Jerman, harga 1 pounds bubuk pala sama dengan tujuh ekor sapi premium atau dalam hitungan lain biji pala dijual dengan harga 300 – 6000 kali lipat dari harga beli di daerah produksi.
Bisa kita bayangkan jika dalam 1 pohon Pala dalam setahun bisa menghasilkan hingga 500 pounds biji pala dengan harga 5 Gulden, sedangan di Kepulauan Banda terdapat puluhan ribu pohon pala yang produktif, maka menjadi wajar jika perusahaan-perusahaan dagang Eropa menjadi seperti orang gila demi dapat menguasai wilayah Banda. Tetapi karena orang-orang Banda telah menjalin kerjasama perdagangan dengan Inggris, maka diperlukan usaha yang lebih keras dari VOC untuk mewujudkan keinginan tersebut, tak peduli bagaimanapun caranya. Bahkan konon terjadinya pembantaian rakyat Banda ini terinspirasi ataupun bentuk perintah tidak resmi dari Heeren XVII pada tahun 1615. Ia mengatakan bahwa keberhasilan untuk menjajah Kepulauan Banda dan menguasai rempah di sana adalah dengan menghabiskan atau menghilangkan pimpinan yang dituakan rakyat secara besar-besaran sehingga rakyat yang tertinggal tidak mempunyai pemimpin perlawanan.
Selain adanya semangat penguasaan komoditas dagang bagi kepentingan VOC, bagi Jan Pieterszoon Coen, Banda adalah sesuatu yang berbeda. Ia secara pribadi memiliki dendam dimasa lalu. Coen yang kala itu masih berpangkat menengah menjadi saksi kemalangan pasukan kecil Belanda dalam proses negosiasi perdagangan pala. Sebanyak 27 orang perwakilan Belanda dibawah kepemimpinan Verhoeven dijebak dan dibunuh dalam hutan oleh penduduk Banda. Pihak Belanda merasa dikhianati, Coen yang saat itu bisa lolos dari maut di kemudian hari kembali dan secara keji melakuan pembantaian hampir seluruh penduduk Banda Naira tanpa sisa.
Singkat cerita, karir militer Coen semain menanjak sehingga Ia berhasil menjadi Gubernur Jenderal, lalu sebagai salah satu tujuan besarnya, Jan Pieterszoon Coen kembali ke Banda untuk menguasai perdagangan Pala. Ia tiba dari Batavia pada tanggal 27 Februari 1621 dengan membawa pasukan besar. Mereka terdiri atas tentara aktif VOC, vrijburger (tentara VOC yang telah habis masa kontrak), mardijkers (orang-orang Portugis di Batavia yang dibebaskan setelah mereka menganut Kristen Protestan), dan musketiers (para relawan). Selain tentara Eropa, Ia juga membawa orang-orang hukuman dari Pulau Jawa untuk bekerja sebagai pendayung perahu dan tentara bayaran Jepang yang disebut Ronin (samurai yang tidak mempunyai pimpinan lagi).
Operasi penaklukan Banda dimulai 3 Maret 1621. JP Coen dan pasukannya mulai menyerang Banda Besar di pagi hari tanggal 11 Maret 1621. Hanya dalam sehari semalam mereka berhasil menguasai seluruh pulau itu. Desa Selamon – tempat awal Islam masuk ke Banda – dijadikan markas besar mereka di sana. Selain menguasai desa, mereka juga menyita bangunan-bangunan strategis untuk digunakan sebagai kantor Gubernur Banda yang baru yaitu Kapten Martin ‘t Sionck. Adapun penghinaan terhadap simbol Islam juga dilakukan dimana Masjid di sebelah Balai Desa juga ikut disita dan digunakan untuk penginapan pasukan. Salah satu Orang Kaya dari Selamon menolak Masjid digunakan untuk para pasukan Belanda. Namun Sionck tidak peduli dengan tanggapan Orang Kaya tersebut. Bahkan selama masa penaklukan, Sionck juga tidak mengizinkan para Orang Kaya dan penduduk desa menggunakan Masjid untuk ibadah.
Puncak kerusuhan terjadi pada malam tanggal 21 April 1621, entah apa yang menjadi pemicu tiba-tiba malam itu masyarakat telah jatuh dalam kekacauan. JP Coen menangkap para Orang Kaya Banda. Mereka dipenjara dalam satu kurungan bambu berbentuk bulat dibangun di luar Benteng Nassau dalam waktu tiga pekan. Delapan Orang Kaya paling berpengaruh dituduh bersekongkol untuk membunuh Gubernur Jenderal JP Coen. Enam orang algojo Jepang kemudian diperintahkan masuk ke dalam kurungan. Dengan pedangnya yang tajam mereka memotong kedelapan Orang Kaya ini menjadi empat bagian. Berikutnya ke-36 Orang Kaya lainnya dipenggal kepala, lalu dipotong-potong badannya. Pembantaian 44 Orang Kaya Banda ini terjadi pada tanggal 8 Mei 1621.
Nama-nama Orang Kaya yang dibantai atas perintah JP Coen itu ditulis dalam dokumen sejarah atas laporan JP Coen dalam buku ‘Coen Op Banda’ (Coen di Banda). Selain itu tercatat pula 6.000 orang Banda dibunuh, 789 orang Banda diasingkan secara paksa ke Batavia, 1.700 orang Banda melarikan diri ke Banda Eli, Banda Elat Kepulauan Kei, Seram dan tempat-tempat lain, dan 5 Orang Kaya lolos bersama 300 orang lainnya bertolak dari Pantai Dender dijemput 20 kora-kora dari Seram Timur. Dari 14.000 orang rakyat Banda, setelah peristiwa pembantaian di tahun 1621 ini jumlah penduduk asli kepulauan Banda tinggal 480 orang.
Penulis : Muh Sidiq HM
Editor : Tori Nuariza