(IslamToday.id) — Sejak kedatangan bangsa Eropa pertama di Nusantara, misi penyebaran agama Kristen telah menjadi satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Salah satu contoh adalah kedatangan bangsa Portugis pada awal abad XVI dengan membawa semangat ‘reconquista’ atau perebutan kembali daerah yang pernah dimiliki. Semangat tersebut adalah konsekuensi logis dari efek perang salib ataupun keberhasilan mereka menaklukkan kekhalifahan Islam di Andalusia. Adapun para prajuritnya telah dibekali dengan doktrin yang menganggap setiap pemeluk Islam sebagai bangsa Moor yang harus diperangi. Namun demikian, semangat ‘reconquista’ ini pada akhirnya berubah bentuk menjadi kekuatan utama pendorong lahirnya kolonialisme Barat di kawasan Asia. Hal ini karena ternyata kawasan Asia belum pernah dikuasai oleh Portugis maupun Spanyol.
Setelah kepergian Portugis, Belanda menjadi penguasa Nusantara, dengan Jawa sebagai basis. Di samping mengeksploitasi rempah-rempah untuk dijadikan komoditas perdagangan, misi penyebaran Kristen juga menjadi agenda lain walaupun masih dilakukan dengan hati-hati. Makanya, pada zaman VOC penyebaran Kristen bisa dikatakan kurang berhasil. Komunitas Kristen hanya terdapat di beberapa kota besar seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya. Itu pun terbatas dari orang-orang Maluku yang banyak menjadi serdadu dan diperbantukan pada kawasan militer di Pulau Jawa.
Ada beberapa faktor sebetulnya yang menjadi alasan ketidakberhasilan penyebaran Kristen di zaman VOC, khususnya di Jawa, diantaranya adalah VOC menghindari sebisa mungkin benturan dengan orang-orang Islam untuk mengamankan kepentingan dagang mereka. Selain itu adalah luasnya Pulau Jawa, masih kuatnya pengaruh Islam, dan sedikitnya tenaga yang ulet dalam menyebarkan Kristen pada orang-orang pribumi. Di sisi lain, Belanda masih enggan menggelontorkan dana yang cukup untuk kegiatan zending.
Awal kesadaran pentingnya misi pengkristenan oleh Belanda terjadi pasca perang Jawa. Mereka secara langsung telah merasakan dahsyatnya perlawanan bangsa Indonesia yang digerakkan oleh semangat Islam. Alhasil, ketika Belanda hampir mengalami kebangkrutan, Islam dijadian satu-satunya tumpahan kesalahan, dimana bagi para penguasa Kolonial, menekan perkembangan Islam dan mengkonversi keyakinan pribumi ke dalam agama Kristen adalah cara terbaik untuk di tetap berkuasa di Nusantara. Hal ini senada dengan perkataan Sekretaris Jendral Departemen Urusan Penjajahan Keuchenius bahwa agama Kristen adalah dasar perkembangan sejarah negeri Belanda dan agama Kristen adalah dasar pedoman ilmu negara kolonial. Keuchenius ingin memindahkan agama kepada Bumiputra.
Secara lebih rinci usaha konversi keyakinan oleh pemerintah kolonial mulai terlihat nyata pada tahun 1854, dimana secara resmi, Belanda mengeluaran peraturan pemerintah yang menyatakan “Guru-guru Kristen, pendeta dan misionaris harus mempunyai izin khusus yang diberikan oleh atas nama Gubernur Jendral jika akan melakukan kegiatan. Bagi masyarakat muslim hal ini adalah bentuk nyata dari usaha Belanda untuk mendukung dan melindungi misi penginjilan. Seperti diketahui, selama ini kesulitan penginjil dalam menjalankan misi adalah mereka biasa ditolak untuk masuk dan berkegiatan di komunitas masyarakat yang telah beragama Islam. Namun dengan adanya ijin khusus ini, maka siapun tidak bisa menghalangi kegiatan yang dilakukan oleh para misionaris. Apabila ada yang berusaha menghalangi maka tak jarang jerat hukum pemerintah kolonial sudah siap menanti.
Diberlakukannya politik etis di awal abad ke-20 secara tak langsung mengubah kebijakan misi Kristenisasi di Jawa. Kegiatan pengabaran Injil tak lagi dilakukan dengan frontal seperti ajakan langsung, melainkan dibalut lewat pendirian lembaga-lembaga kesehatan seperti rumah sakit, panti yatim piatu, sekolah dan kegiatan-kegiatan sosial.
Kristenisasi yang dilakukan lewat pendidikan misalnya, berhasil mengkonversi sejumlah pribumi muslim. Salah satunya lewat sekolah kader yang didirikan oleh Frans Van Lith di Muntilan, bernama Kolese Xaverius. Anak anak lelaki yang masuk ke sekolah ini pada awalnya semuanya muslim, tetapi lulus telah menjadi Katolik, tak jarang sebagian dari mereka bahkan studi lanjut untuk menjadi imam. Soegijapranata salah satunya, dimana ia pada awalnya masuk Kolase Xaverius hanya berniat menjalani pendidikan untuk menjadi guru dan tak mau masuk agama kristen, namun apalah daya seorang bocah berusia belasan tahun yang setiap harinya berhadapan dengan seorang tokoh besar dan matang secara pemikiran, alhasil Ia pun dengan sadar menerima ajaran Kristen dan di kemudian hari menjadi Uskup Agung pertama dari kalangan pribumi.
Jika dihitung secara angka, melalui adanya lembaga-lembaga yang dibentuk pada masa politki etis telah mampu mengkristenkan sebanyak 300-400 orang dewasa pertahun di Jawa dan pada tahun 1926, tercatat penduduk pribumi Muslim di Jawa dan Sumatra yang telah murtad sebanyak 45.000 orang. Kesuksesan konversi masyaraat tersebut tak lain karena faktor kebijakan politik maupun kebijakan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Sebagai contoh, anggaran yang dikucurkan pemerintah kolonial untuk mensubsidi kegiatan agama Kristen pada tahun 1920 mencapai f 1.010.100 sedangkan untuk agama Islam hanya f5.900. Dari sini bisa kita ambil kesimpulan bahwa keberadaan pemerintah kolonial tak ubahnya semacam ‘induk semang’ atau ‘kapal induk’ bagi kebangkitan agama Kristen di Nusantara, karena tidaklah mungkin bagi penduduk Nusantara yang mayoritas telah beragama Islam dan telah menyatu dalam setiap lini kehidupan dapat diubah dengan mudah hanya dengan menggunakan cara biasa.
Penulis: Muh Sidiq HM
Edtor: Tori Nuariza