Oleh: Ahda Abid al-Ghiffari
(IslamToday.id) — Peter Carey, penulis biografi Pangeran Diponegoro, mengakui bahwa sepanjang sejarah modern Jawa, Perang Jawa merupakan peristiwa perlawanan pertama yang terjadi di Jawa Tengah, yang pecah dengan akar persoalan yang terletak pada penderitaan sosial dan ekonomi, dan bukan pada ambisi dinasti elite istana. Sudah barang tentu, tokoh yang melatarbelakangi perlawanan ini merupakan Pangeran Diponegoro (Peter Carey, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, JIlid 1, Jakarta: KPG dan KITLV Jakarta, 2016, hlm. xxxix).
Meskipun tumbuh sebagai seorang pangeran yang berasal dari garwa ampeyan (istri selir), Diponegoro mendapatkan keistimewaan-keistimewan seperti seorang bangsawan keraton pada umumnya. Sagimun MD berhasil merekam salah satu fragmen keistimewaan itu. Dalam sebuah karya klasiknya, Pangeran Dipanegara Berdjuang, ia menceritakan Sultan Hamengkubuwono III menawarkan gelar putera mahkota yang kelak akan menggantikan ayahnya itu.
Tawaran ayahnya itu ditolak Diponegoro dengan halus. Karena ingin mewujudkan keinginannya, ayahnya pun menawarkan keistimewaan lain, yakni tanah-tanah terbaik yang dipilih sesuka hati oleh Sang Pangeran. Tawaran itu juga ditolaknya. Dijawab Diponegoro: “Apakah jang sesungguhnya diperlukan manusia dalam hidupnja didunia ini untuk keperluanja sehari-hari ? Banyak atau sedikit semuanja tjukup asalkan sadja ia merasa puas dan selalu bersjukur terhadap apa jang dikaruniakan oleh Tuhan Jang Maha Kuasa kepadanja, baik didunia maupun diachirat.” [sic!] (Sagimun MD, Pahlawan Dipanegara Berdjuang: Bara Api nan Tak Kundjung Padam, Yogyakarta: Djawatan Kebudajaan Kementrian PP dan K, 1957, hlm. 62)
Gambaran budi luhur tersebut tentu banyak ditemukan dalam berbagai penulisan biografi Pangeran Diponegoro. Sebagai seorang bangsawan Jawa, Diponegoro tak bisa dilepaskan dari dua dunia yang melingkari kehidupannya. Yang pertama adalah perpolitikan keraton, dan kedua adalah nilai Islam yang termaktub dalam laku moral yang dijalankannya dalam membangun jaringan sosial dengan ulama dan rakyatnya.
Sosok paling berpengaruh dalam kehidupan dunia Diponegoro ini adalah nenek buyutnya sendiri, Ratu Ageng. Kerabat perempuan Diponegoro memang memainkan peran penting dalam pembentukkan watak Diponegoro. Bagi Pangeran, ibu, nenek, dan nenek buyutnya adalah tempat pendidikan utama Diponegoro dalam mempelajari kehidupan. Di tangan Ratu Ageng, Diponegoro hampir mempelajari semua subjek pelajaran, dari mulai agama, keuangan, kehidupan sosial-kemasyarakatan, militer, dan tentu saja politik.
Pengasuhan nenek buyutnya inilah yang akan membuat Diponegoro berbeda dengan bangsawan lain. Ahli hukum dan penasehat pemerintah kolonial, Willem van Hogendorp memberikan kesaksian terhadap keunikan Diponegoro sebagai seorang bangsawan yang berbeda dri bangsawan pada umumnya: “Sifat khas Diponegoro di mata orang Jawa, yang selalu menjunjung tinggi dan berjarak dalam urusan atasan dan bawahan, adalah bahwa ia mudah bergaul baik dengan orang biasa maupun dengan orang besar. Oleh karena itu ia banyak disenangi di mana-mana” (Peter Carey, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), Jakarta: Kompas, 2014, hlm. 11).
Nenek buyut Diponegoro dikenal karena kesalehan Islamnya. Ia menikmati mempelajari bacaan-bacaan kitab-kitab agama Islam, sekaligus menjunjung tinggi adat Jawa di lingkungan kraton. Diponegoro belajar banyak dari kegemaran neneknya ini. Sejak diasuh nenek buyutnya di Tegalrejo, Diponegoro telah menikmati suasana egaliter sekaligus lingkungan yang sarat dengan diskusi agama. Sejak kecil Diponegoro sudah diperkenalkan dengan komunitas santri yang jaringannya terdapat di Jawa Tengah bagian selatan.
Di Tegalrejo, Diponegoro hidup dalam suasana keislaman yang kuat. Neneknya mendorong para tokoh agama mengunjungi bahkan bertempat tinggal di Tegalrejo. Banyak di antara mereka merupakan komandan perang Diponegoro ketika Perang Jawa. Di antara mereka juga mengambil bagian penting dalam perpolitikan keraton. Meskipun Kesultanan Yogyakarta telah semakin lemah setelah masa pemerintahan Sultan Mangkubumi, akan tetapi Islam menjadi bagian penting dan menanamkan nilainya dalam tradisi istana.
Hubungan Diponegoro dengan kaum santri sebenarnya mengafirmasi jaringan sosial kemasyarakatan yang membentuk kekuatan bagi sikap politiknya. Selain membentuk jaringan sosial dengan komunitas santri dan ulama di Yogyakarta. Jaringan Surakarta adalah salah satu faktor penting bagi Diponegoro ketika menghadapi tekanan politik Belanda sepeninggal Inggris sejak tahun 1816. Di Surakarta, Diponegoro menemukan kekerabatan kesantriannya dengan sosok seperti Kiai Mojo, seorang alim yang kelak menjadi penasehat keagamaan ketika Perang Jawa. Sebagaimana kesaksian yang disampaikan oleh beberapa pejabat Belanda seperti Smissaert, Surakarta bahkan lebih dikenal “fanatik” melaksanakan kewajiban-kewajiban agama mereka (Peter Carey, Takdir …, hlm. 8-14 dan 20).
Pangeran Diponegoro dan Pengukuhan Spiritual
Menjelang masa peralihan masa kedewasaannya, Diponegoro melaksanakan sebuah rites de passage yang sering disebut sebagai lelono dalam tradisi bangsawan Jawa. Lelono segera menandai sebuah konsolidasi gagasan, sosial kemasyarakatan, dan keagamaan Jawa dan dalam diri Pangeran sendiri. Lelono merupakan upacara simbolis yang dilakukan secara personal yang bertujuan untuk mendapatkan kebijaksanaan. Bagi elite politik Islam dalam tradisi Jawa, lelono menandai sebuah kebangkitan personal sebagai individu yang memiliki tanggung jawab besar sebagai pemimpin rakyat. Tradisi lelono akan segera kita ketahui bercorak Islam. Dalam upacara ini, terlihat betul integrasi dijalankannya tradisi Islam dan tidak bisa dipisahkannya kefahaman dan pengalaman seorang pangeran dalam menjumpai kenyataan sosial-ekonomi masyarakatnya (Peter Carey, Takdir …, hlm. 55).
Usia Diponegoro sekitar 20-an ketika melaksanakan tradisi ini. Dalam fase pertama, akan terlihat bagaimana pengaruh Islam mewarnai tradisi ini. Sebelum semakin jauh melakukan lelono (pengembaraan), Diponegoro terlebih dahulu mengunjungi masjid-masjid dan pesantren di daerah selatan Yogyakarta. Kebijaksanaan yang dimaksud di atas tergambar di sini, tatkala Sang Pangeran secara simbolis ‘berguru’ dan belajar hidup, makan, dan tidur bersama para santri. Tentulah Diponegoro tidak jauh dari laku hidup ini. Neneknya telah jauh memperkenalkan pelajaran hidup sejak masa mudanya di Tegalrejo.
Dalam lelono, Pangeran mengganti namanya menjadi Syekh Ngabdurrahim. Selama melaksanakan tradisi tahap pertama itu, Pangeran juga mengganti pakaiannya dengan “… kain sarung kasar yang dipadu dengan baju putih tanpa kancing dan tak berkerah (kabaya), dan sorban hijau dan putih sebagai penutup kepala.” Pakaian ini dikenal dengan pakaian santri. Meski bercorak Arab, tetapi dalam lelono, pakaian ini telah menyimbolkan suatu sintesis antara Islam, Jawa, dan Arab. Putera tertua Pangeran Diponegoro kelak meniru apa yang dilakukan ayahnya ini. Selain mengunjungi masjid dan pesantren, ia juga berkeliling pelosok pedesaan dengan menggunakan pakaian petani biasa untuk menegaskan kedekatannya dengan rakyat: suatu hal yang segera dicurigai Belanda sebagai tanda-tanda “Ratu Adil” (Peter Carey, Takdir …, hlm. 56-57).
Lelono memiliki arti penting secara politis. Sebab, dalam pengakuan-pengakuan Diponegoro dalam babad-nya (autobiografi Diponegoro), Sang Pangeran mendapatkan gambaran, semacam proyeksi, mengenai keruntuhan Tanah Jawa karena kemerosotan moral dan campur tangan dari bangsa asing. Oleh karenanya, arti politis lelono membentuk suatu kepribadian bagi Diponegoro untuk menyiapkan tanggung jawabnya menjumpai tantangan politik, sosial-ekonomi, dan budaya. Jaringan keulamaan, konsolidasi sosial-ekonomi dengan rakyat, dan integrasi spiritual keislaman merupakan modal berharga Diponegoro dalam menyiapkan dan menghadapi tekanan penjajahan yang telah hadir di lingkungannya.
Memperjuangkan Kedaulatan: Pengakuan Islam dan Perjuangan Rakyat
Tiga tahun paska pelaksanaan Lolono, Jawa memang betul-betul mengalami perubahan hubungan dengan Belanda yang semakin menekan kedaulatan politik Keraton. Tokoh utama dari perubahan ini tentu saja adalah Herman Willem Daendels, seorang Belanda yang loyal terhadap proyek invasi Napoleon ke seluruh Eropa. Daendels telah mengubah peta kultural dalam keraton Jawa, sebagaimana halnya ia memang seorang anti feodal yang tidak lagi mengakui hubungan antar Yogyakarta dan Belanda sebagai dua negara yang sama-sama berdaulat. Sebagai gantinya, ia menemukan suatu rumusan bahwa pejabat Belanda di keraton merupakan perpanjangan tangan dari Kerajaan Belanda, bukan semacam duta besar atau pejabat rendahan yang tunduk dalam tradisi kraton.
Empat tahun (1808-1811) masa tugasnya di Jawa, Daendels telah banyak menimbulkan ancaman dan pemberontakan; seperti pemberontakan Raden Ronggo yang bercorak “Ratu Adil” versi kejawen. Kedaulatan politik keraton yang terancam menjadikan masa ini sebagai titik balik dalam sejarah kraton, di mana status quo kini berpindah di tangan penjajah asing. Pengganti Daendels, Janssens, tidak banyak mengubah apa yang ditinggalkan Daendels. Justru pada masa inilah Jawa berhasil direbut Inggris (Peter Carey, Takdir …, hlm. 129).
Raja-raja Jawa mengira Inggris merupakan harapan. Dan meski Raffles sendiri menulis “the English came to Java as friend” dalam The History of Java-nya (Thomas Stamford Raffles, The History of Java, Yogyakarta: Narasi, 2008, hlm. xiv dan xvi), sejatinya Inggris merupakan sebenar-benarnya ancaman dan bencana. Di masa interegnum Inggris, keraton Yogyakarta mengalami penaklukkan militer. Keraton Yogyakarta dibombardir, kekayaan keraton dirampas, perpustakaannya dijarah, dihapuskannya surambi (lembaga peradilan Islam di Jawa), dan yang paling berdampak serius adalah berubahnya hubungan sosial antara Jawa, Cina, dan Belanda di kemudian hari ketika Inggris mewariskan penaklukkannya kembali kepada Belanda (MC Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c.1200, London: Palgrave, hlm. 149; Peter Carey, Takdir …, hlm. 180-181 dan 195.)
Setelah Inggris mengembalikan pemerintahan kepada Belanda, warisan-warisan Inggris itulah yang semakin terlihat. Belanda menularkan telah menularkan. Pengaruh ini sayangnya kita lihat dalam gaya hidup Barat yang negatif bagi nilai-nilai dan tradisi Jawa; seperti minum-minuman keras dan perilaku seks yang menyimpang. Autobiografi Pangeran Diponegoro menggambarkan pejabat-pejabat Belanda Nahuys van Burgst telah menyebabkan banyak kaum muda kerabat Sultan tidak lagi mengundahkan larang Islam karena menyontoh pejabat-pejabat Belanda ini yang suka bermain judi dan minum-minuman keras.
Perilaku yang merusak tatanan nilai moral dalam politik dan sosial Jawa itu dilengkapi dengan penyimpangan lain seperti penghinaan terhadap martabat wanita pribumi yang sering digoda dan diambil secara paksa dari suami-suami ningratnya. Ulama dan kyai juga tak ketinggalan mengalami bencana kolonial ini. Di desa-desa pradikan (desa bebas pajak) Mojo, Belanda melakukan penculikan terhadap Kyai Murmo, kyai yang sangat dihormati Pangeran. Menurut Diponegoro, Kyai Murmo yang kaya, ditangkap Belanda hanya agar Belanda dapat menguasai harta kekayaannya dan menjarah desanya.
Selain penyimpangan itu, sewa tanah dan pajak-pajak yang dibebankan kepada rakyat semakin mengacaukan tatanan sosial-ekonomi. Gerbang cukai yang dijalankan Belanda di perbatasan-perbatasan kota juga menimbulkan masalah tersendiri. Gerbang-gerbang itu dijalankan oleh orang Cina. Pada prakteknya ketika hendak memasuki kota untuk menjual hasil bumi, para petani diperiksa dan dimintai pajak. Yang terjadi, pajak yang dikeluarkan lebih mirip seperti pemerasan kepada para petani. Praktek penyimpangan itu membawa dampak buruk; seperti antrian panjang di gerbang-gerbang yang menyebabkan tumbuh suburnya praktek ronggeng (prostitusi) dan rumah-rumah candu di pinggir jalan. Kemarahan orang Jawa terhadap penyimpangan itu juga mengakibatkan kebencian kepada orang-orang Cina.
Semua perubahan yang semakin memburuk itu belum lagi ditambah dengan bencana alam seperti gagal panen, wabah penyakit, kelaparan, dan peristiwa gunung meletus. Kemelaratan yang secara struktural dimulai oleh orang-orang Belanda ini telah menyebabkan terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang mengatas-namakan “Ratu Adil”; menjadi semacam prelude yang mempersiapkan jalan bagi perlawanan Pangeran Diponegoro (Peter Carey, Takdir …, hlm. 217-224, 234-249).
Bersama ulama dan rakyat, Diponegoro tidak tampil sebagai seorang pemimpin yang semata-mata bertujuan merebut kekuasaan. Tapi memang salah satunya sebagaimana dikatakan Taufik Abdullah, bahwa arti penting perjuangan Pangeran Diponegoro terletak pada bagaimana ia ingin mengembalikan tatanan Jawa dan memantapkan kembali kosmos yang telah ternodai oleh intervensi asing. Rasa keadilan yang terhina dan kewajaran kultural yang ternoda inilah yang dalam catatan sejarah dapat ditafsirkan dalam semangat membela tatanan sosial Jawa berkeadilan dan kedaulatan politik istana serta kemerdekaan ekonomi rakyat dari beban-beban penjajahan yang telah “menodai” itu semua (Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1987, hlm. 7-9).
Dimulai sebagai seorang bangsawan putera sultan, pangeran, dan akhirnya mengangkat dirinya sebagai “Sultan Sayyidin Panatagama”, Diponegoro bukan saja membela kepentingannya sebagai bangsawan, dan, lebih jauh, sekedar keyakinan Islamnya. Tetapi dalam dunia Diponegoro, tradisi, jaringan sosial-ekonomi kemasyarakatan, dan tatanan agama telah menjadi satu dan harus diperjuangkan untuk kembali pada hakikat semestinya. Perjuangan dalam tata nilai inilah yang kita harapkan kembali ada pada pemimpin-pemimpin kita hari ini, bukan sekedar gimmick “sosok yang dipuja secara fanatis” oleh kaum paham agama dan mileneal. Wallahu a’lam.
*Ahda Abid al-Ghiffari, Penulis merupakan guru sejarah di Pondok Pesantren at-Taqwa, Cilodong, Depok; pernah belajar dan menempuh studi singkat di Ma’had ‘Aly Imam al-Ghazaly (MAIG), Karanganyar, Surakarta.
Editor: Tori Nuariza