(IslamToday.id) — Pola penguasaan tanah pertanian mulai bergeser dan berubah setelah masuknya bangsa Barat ke wilayah Jawa. Dimulai dari bekembangnya VOC, Pemerintahan Thomas Stramford Rafles, sistem tanam paksa, sampai keluarnya Agrarische Wet pada 1870 terjadilah perubahan-perubahan pola penguasaan tanah pertanian. Penguasaan tanah oleh raja mulai begeser menjadi penguasaan tanah atas nama pemerintah kolonial dan penguasaan pribadi.
Masih dalam buku “Tanah, Desa, dan Penguasa: Sejarah Pemilikan dan Penguasaan Tanah di Pedesaan Jawa” karya Wasino serta Apanage dan Bekel tulisan Suhartono, beberapa detail perubahan pola kepemilikan tanah ini dikupas secara lengkap. Bahwa awal mula tejadinya perubahan pola penguasaan tanah adalah ketika VOC mulai bekembang di Jawa. Wilayah Mataram secara perlahan mengalami pengurangan wilayah akibat kontrak-kontrak dengan VOC. Ketika terjadi Perjanjian Giyanti pada 1755, wilayah pesisir sudah menjadi milik VOC. Wilayah Surakarta dan Yogyakarta tinggal Kuthagara, Negara Agung, dan Mancanegara saja. Wilayah Pesisir meliputi Pesisir Barat (Pekalongan, Nrebes, Wiradesa, Bantar, Lebaksiu, Tegal, Pemalang, Batang, Kendal, dan Demak) dan Pesisir Timur (Jepara, Kudus, Cengkal Sewu, Pati, Juana, Pejangkungan, Rembang, Tuban, Sidayu, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Bangil, Besuki, Blambangan, Banyuwangi, dan Madura). Akan tetapi, secara umum tidak ada perubahan pola penguasaan tanah di masyarakat.
Setelah VOC bangkrut, dimulailah fase baru dalam kehidupan politik di Nusantara, yakni dengan berdirinya pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1800. Pada awal abad XIX inilah di dalam daerah kerajaan para penguasa jatuh di bawah penguasaan Belanda. Sikap politik agraria pemerintahan Belanda mulai berubah semenjak Deandels berkuasa. Ia memprakarsai perubahan-perubahan administrasi pertanahan untuk tercapainya kekuasaaan politik yang sistematis. Bahkan, beberapa wilayah di Batavia, Semarang, dan Surabaya dijual kepada swasta untuk memecahkan kesulitan keuangan pemerintah. Kemudian ketika Inggris berkuasa atas Indonesia (1811-1816) di bawah Gubernur Jenderal Raffles, terjadi perubahan dalam sistem agraria. Raffles melakukan reformasi agraria dengan nama ‘Land Rent System’ (Sistem Sewa Tanah). Ide perubahan ini banyak dipengaruhi oleh keberhasilannya dalam penerapan sistem serupa di India. Raffles menentang stelsel hubungan tanah feodal sebagaimana dilakukan oleh pemerintahan tradisional dan VOC.
Sistem sewa tanah yang diterapkan Raffles berpatokan pada tiga azas, yakni (1) segala bentuk dan jenis penyerahan wajib dan kerja rodi dihapuskan, dan petani berhak menentukan jenis tanaman, (2) peran bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan mereka menjadi bagian pemerintahan kolonial, (3) pemerintah kolonial adalah pemilik tanah dan para petani dianggap sebagai penyewa, petani wajib membayar sewa tanah.
Namun demikian, pelaksanaan sistem sewa tanah ini menalami kegagalan karena terbentur pada sistem sosial budaya rakyat Jawa karena mengganggu tradisi, belum adanya kepastian hukum atas tanah, rakyat belum terbiasa menggunakan uang sebagai alat pembayaran pajak, serta pemerintahan Raffles yang singkat.
Pada masa pemerintahan Inggris daerah kekuasaan kerajaan di Jawa mengalami penyempitan kembali. Hal ini seperti yang terjadi di daerah Kedu yang pada tahun 1812 berhasil dikuasai oleh Inggris melalui perjanjian dengan Hamengku Buwono II yang kalah dalam pertempuran. Daerah Kedu berkembang menjadi kawasan eksloitasi kolonial.
Perubahan-perubahan besar dalam bidang penguasaan tanah terjadi setelah perang Diponegoro usai pada tahun 1830. Setelah akhir perang Diponegoro daerah luaran atau mancanegara oleh raja Jawa diserahkan pada Belanda sebagai ganti jerih payah mereka menindas pemberontakan. Hal ini merupakan upaya Hindia Belanda untuk segera mengisi kas yang kosong akibat perang. Untuk itu dilakukanlah kontrak-kontrak antara Hindia Belanda dan Sunan Paku Buwono VII untuk memperkuat landasan hukum penguasaan tanah atas daerah mancanegara
Kawasan mancanegara terbagi atas dua wilayah, yakni mancanegara Barat dan mancanegara Timur. Pringgodigdo seperti dikutip Wasino (2005) menyatakan Mancanegara Barat meliputi Banyumas, Banjar, Pasir, Ayah, Kalibeber, Roma, Jabarangkah, Pamerden, Wora-wari, Tersono, Kerincing, Bobotsari, Kartanegara, Daya Luhur, Brebes, Lebaksiu, Balapulang Bentar, Banjarnegara, Purbalingga, serta daerah Jepara, Salatiga, dan Blora. Sementara itu, daerah mancanegara Timur meliputi Panaraga, Kediri, Madiun, Pacitan, Keduwang, Magetan, Caruban, Pace, Kertosono, Srenget, Blora, Rawa, Kalangbret, japan/Lamongan, Wirasaba, Brebeg, Jagaraga.
Pada tahun 1830 mulai diterapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) oleh pemerintah Hindia Belanda pada daerah-daerah yang telah berhasil dikuasainya. Sistem ini bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya tanah, tenaga kerja, dan kedudukan hukum dari keduanya. Pada masa ini negara mendominasi dua faktor produksi, yakni tanah dan tenaga kerja. Kuntowijoyo menyatakan bahwa ekspoitasi negara atas tanah dan tenaga kerja itu disahkan berdasarkan anggapan bahwa tanah adalan milik Negara.
Dalam pelaksanaan tanam paksa ada beberapa hal yang menarik, yakni pemulihan kembali peran-peran Bupati, Wedana dan Bêkêl tetapi di bawah kendali pemerintah kolonial. Selain itu semua penduduk memperoleh tanah garapan, tak terkecuali para numpang dan bujang. Tanah garapan mereka adalah tanah yang dapat pula diwariskan penggarapannya. Tanah tersebut semula berasal dari tanah para sikêp yang diambil alih oleh pemerintah desa dan dibagikan kepada para numpang atau bujang atau mewajibkan penduduk bujang dan numpang membuka areal baru di desa setempat. Karena semua penduduk telah mempunyai tanah, maka mereka mempunyai kewajiban membayar pajak dan kerja bhakti (Nurdin, 2007).
Pengaruh tanam paksa memberikan perubahan dalam pola penguasaan tanah. Bedasarkan survei yang dilakukan pada tahun 1868-1869 yang dibukukan dalam Eindresumé (resume akhir) yang disunting oleh W.B. Bergsma, ada beberapa pola penguasaan tanah pertanian di kalangan masyarakat, yakni milik perorangan turun-temurun (erfelijk individueel bezit), milik komunal (gemeen bezit), dan tanah bengkok untuk pamong desa (ambtsvelden).
Sistem tanam mulai dihentikan pada tahun 1870. Setelah tahun ini sistem liberal mulai berkembang di Hindia Belanda. Dalam bidang agraria, liberalisme ini nampak dengan dilkeluarkannya Agrarische Wet atau Undang-Undang Agraria pada tahun 1870. Undang-undang inilah yang menjadi dasar kebijakan agraria pemerintah Hindia Belanda pada masa-masa berikutnya. Undang-undang ini memberi kesempatan kepada penyewaan jangka panjang tanah-tanah untuk perkebunan. Di sini dimungkinkan untuk memiliki mutlak (hak eigendom) termasuk hak untuk menyewakannya ke pihak lain. Akan tetapi kepemilikan mutlak oleh petani sulit tercapai karena penguasa lebih tergiur untuk memberikan konsesi kepada para penguasa swasta asing.
Setelah dikeluarkannya Agrarische Wet, Belanda mengeluarkan berbagai peraturan tentang penguasaan tanah di Jawa. Pada tahun 1885 dikeluarkan Staatsblad (Lembaran Negara) No. 102 tentang berakhirnya secara resmi tanam paksa. Sistem penguasaan tanah yang tadinya milik bersama desa, dikembalikan kepada individu-individu. Konversi tanah bersama menjadi tanah individu hanya jika ¾ warga desa menyetujuinya.
Kemudian pada 19 Januari 1909 Gubernur Jenderal van Heutz segera memerintahkan agar segera dilaksanakan reorganisasi. Reorganisasi ini mulai berjalan dengan beberapa tahap yakni penghapusan sistem apanage pada kurun 1912-1917, kemudian antara tahun 1917-1926 digunakan untuk mengkonversi tanah-tanah perkebunan. Dengan demikian, di daerah Surakarta penguasaan tanah oleh patuh dengan hak anggunduh (pinjam sementara) telah dihapuskan dan hak tanah itu diberikan kepada petani dengan hak andarbe (milik) secara individual. Akan tetapi, pada kenyataannya tanah-tanah tersebut jatuh ke tangan para elite desa dan perusahaan perkebunan melalui persewaan tanah tradisional maupun kontrak-kontrak modern.
Pada tahun 1930, dikeluarkan Regeringsomlagvel No. 30318 tanggal 17 Oktober 1930. Dalam ketentuan ini, pemerintah mengakui hak-hak pribumi sesuai dengan hukum adat setempat. Penduduk diakui untuk hak kepemilikan dengan syarat tertentu, misalnya memperoleh hasil hutan dengan izin kepala desa dan Asisten Residen. Pada masa ini ribuan konflik pertanahan terjadi tiap tahun atas pemanfaatan hasil hutan, antara masyarakat yang merasa berhak dengan pemerintah yang menganggap sebagai hutan negara.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza