(IslamToday.id) — Selain pola penguasaan tanah secara konvensional pada masa kerajaan Islam di Jawa, ada pula pola penguasaan tanah yang berlaku secara khusus. Pola penguasaan tanah secara khusus ini seperti yang terjadi pada daerah yang disebut dengan daerah perdikan.
Tanah atau wilayah perdikan merupakan sebuah desa anugerah dari raja yang penduduknya dibebaskan dari pembayaran pajak dan kerja wajib. Daerah ini dianggap sebagai daerah bebas atau merdeka yang dipimpin oleh seorang kepala desa. Kepala desa di wilayah ini berada langsung di bawah daulat raja. Dengan demikian pada masa kerajaan tidak ada sistem apanage, patuh, dan bêkêl di darah perdikan ini. Pada masa tradisional, kepemimpinan desa perdikan diwariskan dari pemimpin-pemimpin terdahulu. Konsep perdikan sebenarnya telah dikenal pula sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha dengan sebutan tanah Sima.
Kartohadikoesoemo menyatakan ada beberapa alasan raja memberikan hak istimewa kepada desa perdikan, yaitu (1) untuk memajukan agama, (2) untuk memelihara makam raja atau orang lain yang dimuliakan dan dianggap keramat, (3) untuk memelihara pertapaan, pesantren, langgar, atau masjid, (4) memberikan ganjaran kepada orang atau desa yang berjasa kepada raja (Wasino, 2005). Dari desa perdikan inilah awal mula kemunculan petani-petani merdeka. Salah satu contoh desa perdikan adalah Desa Seladi kawasan Grobogan. Desa ini merupakan perdikan yang diberikan kepada Ki Ageng Sela pada masa kesultanan Demak. Pada masa kolonial, posisi istimewa desa perdikan tetap dipertahankan. Dalam Staatsblad no 77 tahun 1853 disebutkan bahwa desa perdikan dibebaskan dari segala macam pembayaran pajak dan hak-hak desa perdikan diakui secara sah. Atas dasar inilah, desa perdikan tidak dikenakan sistem tanam paksa.
Selain Desa Sela adapula wilayah Kadilangu yang diberikan Sultan Demak kepada Raden Mas Sahid ataupun Sunan Kalijaga atas jasanya dalam proses pendirian Kesultanan Demak Bintoro. Setelah Sunan Kalijaga wafat kekuasaan Kadilangu beralih kepada anak cucunya turun-temurun menurut garis keturunan lurus kebawah sampai keturunan ketujuh dengan gelar “Panembahan”. Mulai keturunan ke delapan sampai keturunan ke-12 dengan gelar “Pangeran Wijil”. Pangeran Wijil yang terakhir meninggal dunia pada tanggal 11 Oktober 1880. (Surat Residen Semarang No. 11338/1 tanggal. 22 Desember 1880 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda).
Tanah Kadilangu Pada Zaman Kolonial
Menurut Surat Residen Semarang No. 11338/1 tanggal. 22 Desember 1880 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dahulu tanah kadilangu mempunyai luas meliputi 27 desa. Pada tahun 1816 waktu Pemerintahan Inggris 17 desa di Kadilangu diambil alih. Sehingga tanah di Kadilangu tinggal 10 Desa, yaitu: Kauman Kadilangu, Pampang Kadilangu, Pacol, Mandungan, Dakwos, Dukuh, Jraganan, Kahiringan, Krandon, dan Kenep. Dengan bentang luas keseluruhannya 5197/8 bahu. Pada tahun 1843 Pangeran Wijil V mengusulkan untuk menambah Desa Kemloko dalam wilayah Kadilangu. Tetapi Residen Semarang justru mengeluarkan Surat No. 11338/1 tanggal. 22 Desember 1880 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pada intinya Residen Semarang mengusulkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar tanah-tanah di Kadilangu diambil alih saja, dengan alasan ditakutkan pada masa depan akan menjadi sebuah negara kecil di dalam negara.
Pada akhirnya Gubernur Jenderal Hindia Belanda memutuskan hanya Desa Kauman Kadilangu yang diberikan kepada Pangeran Wijil V, (dengan alasan terdapatnya makam Sunan Kalijaga). Selanjutnya, Desa Kauman Kadilangu menjadi milik Pangeran Wijil V yang sah. Dikukuhkan dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 16, tertanggal Buitenzorg 5 Mei 1883, tentang Pengangkatan Raden Ngabei Notobronto menjadi Kepala Kadilangu. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa pada mulai saat itu tanah Kadilangu bukanlah Desa Perdikan. Pada tahun 1912 baru dilakukan pemberian Status Desa Perdikan terhadap tanah-tanah di Kadilangu, dengan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda, GouvernementBesluit Nomor 25, tertanggal 20 Desember 1912, Bijblad Nomor 7848. Baru pada tahun ini, dapat dikatakan secara de facto dengan penguasaan Pemerintahan Hindia Belanda, Kadilangu dinyatakan dan diberi status sebagai Desa Perdikan dengan diberi keistimewaan yaitu dibebaskan dari Pajak Bumi, pajak Penghasilan, dan Pajak Pemotongan ternak bagi penduduk tetap di Kadilangu. Pada tanggal 25 Januari 1915, dengan di dasarkan pada GuovernementsBesluit Nomor 10, Pemerintahan Hindia Belanda melakukan pengambilalihanan 10 (sepuluh) desa dari Kadilangu dengan pemberian ganti kerugian seluruhnya sebesar f.13.105,- setiap tahun. Sehingga Desa Perdikan hanya tersisa Desa Kauman Kadilangu.
Contoh lain dari pemberian status perdikan terhadap daerah yang memiliki jasa besar terhadap raja melalui ketokohan seorang ulama adalah daerah Desa Tegalsari yang diberikan oleh Sunan Pakubuwono II. Dalam Babad Perdikan Tegalsari diceritakan tentang latar belakang Paku Buwono II nyantri di Pondok Tegalsari. Pada suatu hari, tepatnya tanggal 30 Juni 1742, di Kerajaan Kartasura terjadi pemberontakan Cina yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi (Sunan Kuning), seorang Pangeran keturunan Tionghoa. Serbuan yang dilakukan oleh para pemberontak itu terjadi begitu cepat dan hebat sehingga Kartasura tidak siap menghadapinya. Oleh karena itu Paku Buwono II bersama pengikutnya segera pergi dengan diam-diam meninggalkan Keraton menuju ke Timur Gunung Lawu. Dalam pelariannya itu dia sampai di Desa Tegalsari. Di tengah kekhawatiran dan ketakutan dari kejaran pasukan Sunan Kuning itulah kemudian Paku Buwono II berserah diri kepada Kanjeng Kyai Hasan Besari. Penguasa Kartasura ini selanjutnya menjadi santri dari Kyai Wara` itu, dia ditempa dan dibimbing untuk selalu bertafakur dan bermunajat kepada Allah, Penguasa dari segala penguasa di semesta alam.
Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam beribadah dan berdoa serta berkat keikhlasan bimbingan dan doa Kyai Besari, Allah SWT mengabulkan doa Paku Buwono II. Api pemberontakan akhirnya reda. Paku Buwono II kembali menduduki tahtanya. Sebagai balas budi, Sunan Paku Buwono II mengambil Kyai Hasan Besari menjadi menantunya. Sejak itu nama Kyai yang alim ini dikenal dengan sebutan Yang Mulia Kanjeng Kyai Hasan Bashari (Besari). Sejak itu pula desa Tegalsari menjadi desa merdeka atau perdikan, yaitu desa istimewa yang bebas dari segala kewajiban membayar pajak kepada kerajaan.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza