(IslamToday.id) — Makmur, kaya, dan indah, begitulah kesan Ibnu Batutah pengembara muslim asal Maroko saat singgah di Samudera Pasai pada awal abad 14 silam. Bahkan, ia mengagumi Samudera Pasai sebagai sebuah negeri yang telah memiliki peradaban baik.
Ibnu Batutah dalam Rihlah Ibnu Battuta bersaksi, “Aku mendapati bahwa kerajaan Samudera Pasai adalah kerajaan Islam pertama berdiri di tanah Melayu. Ternyata, kerajaan Samudera Pasai telah mempunyai tamaddun (peradaban) dan hubungan luar negeri yang baik. Di sana aku tinggal15 hari, kemudian melanjutkan perjalanan ke Cina.”
Eloknya, peradaban Samudera Pasai tidak lepas dari keluhuran akhlaq dan kecakapan pemimpin negeri tersebut. Tentu hal ini tidak lepas dari perjuangan Sultan Malik Ash Saleh, sosok yang mula mula menjadi tonggak Kerajaan Samudera Pasai.
Dari Hikayat Raja-Raja Pasai, disebutkan bahwa sebelum menjadi raja Kesultanan Samudera Pasai, Malikul Saleh ialah seorang Meurah, dengen gelar lengkap Meurah Silu. Meurah adalah pemimpin suatu teritorial sebelum munculnya wilayah kerajaan. Seorang Meurah menguasai beberapa gampong.
Prof. A. Hasmy dalam sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia menuturkan, gelar Sultan Al Malik Ash Saleh merupakan pemberian Syeh Ismail Al Zarfi. Ia merupakan utusan Syarif yang memerintah kota Mekah. Gelar itu diberikan sebab kemampuan Meurah Silu dalam memimpin dan membangun negeri muslim menjadi negeri yang makmur, teratur dan memiliki angkatan militer yang kuat. Gelar ini juga sejatinya merupakan gelar yang pada masa itu dipakai oleh Raja Mesir, Sultan Al Malik Al Saleh Najmuddin Al Ayyubi. Ia adalah Sultan yang saat itu sedang berjihad menghadapi perang Salib yang dipimpin Raja Perancis, Louis IX.
Samudera Pasai terus berkembang menjadi negeri yang kuat dan meluaskan pengaruhnya hingga ke Semenanjung Malaka. Selain pembebasan negeri, misi penyebaran Islam pun dilakukan dengan mengutus para pendakwah. Hal ini pula yang kemudian memberi pengaruh terhadap budaya masyarakat.
Masyarakat pesisir pantai, khususnya mereka yang tinggal di sekitar bandar dan pelabuhan-pelabuhan menjadi orang pertama yang mengalami proses akulturasi religius.
Hubungan dengan dunia luar menyebabkan orang orang pesisir lebih terbuka, pandai bergaul. Mereka menjadi orang pertama yang memeluk agama Islam. Hal ini tentu tidak lepas dari komunikasi diantara mereka. Bahasa menjadi kunci penting dalam merekatkan hubungan.
Kerajaan Melayu Malaka dan Kerajaan Melayu Pasai menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa pengantar mereka. Bahasa Melayu juga digunakan sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Digunakannya bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar ilmu pengetahuan sudah digunakan sejak jaman Kerajaan Melayu Peureulak, kemudian berkembang ke kerajaan Samudera Pasai. Maka apabila masyarakat di sekitar Malaka memeluk agama slam sudah barang tentu bahasa Melayu dipergunakan sebagai bahasa dalam mengembangkan dakwah Islam.
Bahasa Melayu dipilih para mubaligh Islam dibandingkan bahasa Jawa. Sebab bahasa jawa penuh dengan konsep metafisika Hindu. Para mubaligh Islam menambahkan lima huruf selain dari abjad yang tersedia dalam bahasa Arab, yakni fa, ga, ca, nya san nga.
Penggunaan bahasa Melayu yang semula diperkenalkan di Kerajaan Islam Peureulak dan Samudera Pasai kemudian terus berkembang dan disempurnakan oleh Kerajaan Aceh Darussalam. Pada era Kerajaan Aceh Darussalam bahasa Melayu digunakan diberbagai bidang. Antara lain, digunakan sebagai bahasa istana, bahasa Sarakata, bahasa ilmu pengetahuan, bahasa pengantar di sekolah-sekolah, bahasa ungkapan perasaan, media dakwah, surat menyurat, diplomasi, dan hubungan antar wilayah kerajaan.
Selain itu, bidang kesusastraan juga tidak lepas dari pengaruh Islam. Jika Samudera Pasai lebih dahulu memeluk Islam sebelum Malaka, maka kisah-kisah Nabi, sahabat dan pejuang-pejuang Islam tentu masyhur lebih dahulu di Samudera Pasai ketimbang di wilayah lain di Nusantara. Pengaruh Islam itu misalnya tentang kisah seorang raja bernama megat Iskandar/Sekandar. Nama ini tentu diambil dari nama raja terkenal Iskandar Zulkarnain. Kisah ini kemudian tersebar ke seluruh Nusantara.
Penulis: Arief Setiyanto
Editor: Tori Nuariza