(IslamToday.id) — Pada puncak kejayaan Kesultanan Gowa di pertengahan abad 17 M, sektor maritim telah menjadi denyut kehidupan utama bagi masyarakat. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, mundurnya pelabuhan-pelabuhan utama di Jawa seperti Banten, Tuban dan Gresik menjadikan Makassar tumbuh menjadi pelabuhan transito pilihan pedagang Melayu maupun pedagang multinasional.
Seiring dengan terus berkembangnya transaksi jual beli serta bertumbuhnya volume barang dan transportasi laut yang bersandar di wilayah Kesultanan Gowa maka kebutuhan akan fasilitas infrastruktur pelabuhan menjadi tak terhindarkan. Oleh karena itu, pada kisaran tahun 1600an awal berbagai perbaikan sarana pelabuhan telah dilakukan, juga beberapa galangan kapal berukuran besar mulai didirikan untuk membuat dan memperbaiki kapal yang beraktifitas di wilayah kekuasaan Kesultanan Gowa.
Sebagai salah satu negeri maritim terbesar di Nusantara pada pertengahan abad XVII, banyak sekali kapal-kapal dagang lokal maupun asing yang berlalu-lalang di perairan Makassar. Dari kapal yang berukuran kecil sebagai sekoci untuk mengangkut dagangan kedaerah-daerah sempit hingga kapal-kapal besar untuk ekspedisi jarak jauh telah menjadi pandangan umum.
Dibawah ini beberapa kapal-kapal yang beroperasi diwilayah Kesultanan Makassar dikutip dari Skripsi, Mualim Agung Wibawa dengan judul Peranan Kerajaan Gowa Dalam Perniagaan Abad XVII. 2011. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Biasanya kapal-kapal yang berada di perairan Kesultanan Gowa dibedakan menjadi beberapa jenis sesuai dari fungsi maupun asalnya.
Pertama, kapal-kapal pedagang Melayu dan Jawa. Kelompok pedagang ini menggunakan perahu yang jauh lebih besar dari yang digunakan pedagang lokal. Kapal ini dapat mengangkut macam-macam muatan. Jumlah awak perahu ini 10 sampai 20 orang, bahkan ada yang hanya 5 atau 6 orang, perahu tersebut mempunyai bentuk yang bermacam-macam dengan namanya sendiri antara lain: ”Contingh”, ”tingangh”, ”Gorap”, ”Galjoot”, ”Gallioen”, namun ada pula yang memakai istilah Jung karena mengadopsi kapal-kapal dari pedagang China.
Kedua, adalah kapal dagang China. Pedagang Cina ini mempergunakan Jung untuk berdagang. Jung Cina yang besar sangat menarik perhatian. Tinggi haluan dan buritannya tidak sama, sedangkan bagian tengah sangat rendah. Di atas buritan terdapat sejumlah rumah-rumah kecil dan cukup menyolok pula umbul-umbulnya yang berwarna coreng moreng, sedang ke dua layarnya yang lebar dan tebal dibuat dari sebangsa daun rumput yang dianyam.
Ketiga, pedagang dari kawasan Barat. Arab, Gujarat, Inggris, Prancis, Portugis dan Belanda menggunakan kapal dagang yang lebih besar dari pedagang Nusantara. Hal ini dikarenakan kapal-kapal yang mereka gunakan ditujukan untuk ekspedisi jarak jauh, sehingga selain untuk keperluan pengangkutan barang dagangan, juga harus ada alokasi ruanagan yang cukup untuk menyimpan perbekalan awak kapal maupun persenjataan guna melawan gangguan bajak laut. Secara umum kapal-kapal mereka juga disebut ”Gorap”, ”Galjoot”,atau ”Gallioen” yang membedakan hanya ukuran yang lebih besar dan tingkat keamanan.
Selanjutnya adalah kapal-kapal pelaut lokal. Ada banyak jenis kapal, hal ini didasrkan paa fungsi masing masing seperti untuk mencari ikan dan tentu juga untuk berdagang.
Lepa-lepa, yaitu jenis perahu yang digunakan di daerah-daerah teluk yang tenang, Di mana laut tidak bergelombang, di sekitar pantai atau di air payau, Untuk menyeberangkan penumpang atau menangkap ikan. Di samping itu perahu yang dibuat dari batang kayu pohon yang lurus itu, juga dapat difungsikan sebagai sekoci pada kapal-kapal atau perahu-perahu yang besar. Bentuk perahu tersebut sangat tergantung pada besarnya pohon. Namun umumnya panjang sebuah perahu lepa-lepa itu sekitar 3-4 meter dengan lebar 0,5 meter serta dalamnya sekitar 0,40 meter.
Kapal lainnya adalah Soppe. Perahu ini merupakan jenis perahu nelayan yang berukuran kecil. Bentuk dan ukurannya bervariasi, seperti panjangnya antara 5-7 meter, lebarnya 0,80-1,5 meter dan dalamnya 0,70-0,90 meter. Perahu ini dijalankan dengan dayung oleh dua orang nelayan yang dilengkapi jala atau pun pancing bila akan pergi menangkap ikan. Sejenis dengan Soppe adapula Biseang pajala. Ini merupakan salah satu jenis perahu nelayan, yang digunakan untuk mencari ikan di perairan lepas pantai. Perahu tersebut terbuat dari papan jenis kayu bitti-bitti atau jati, yang disusun rapi. Perahu pajala ini, sedikit lebih besar dari perahu lepa-lepa maupun perahu soppe dan daya angkut bisa sampai 100 ton. Perahu tersebut menggunakan sebuah layar yang disebut sombala. Di atas geladaknya terdapat bangunan rumah-rumah yang sekaligus digunakan sebagai dapur.
Untuk kapal angkut perdagangan, dikenal dengan nama Lete. Jenis perahu ini digunakan sebagai perahu angkutan niaga jarak jauh antar pulau, bahkan antar benua. Panjang perahu berukuran antara 10-15 meter, lebar dan dalamnya masing-masing 5 meter dan 1,5 – 2 meter. Bentuk balok tiangnya besar dan tebal serta menonjol pada haluan dan buritannya. Adapun yang lebih besar adalah Lambo. Perahu jenis ini juga dipergunakan sebagai alat angkutan, perahu niaga jarak jauh. Perahu ini memiliki ukuran panjang antara 15-20 meter, lebar 3,50 – 4 meter dan tinggi 1,5 – 2 meter. Disamping itu perahu tersebut juga memiliki tenaga (awak perahu) sebanyak 7-12 orang, dan diperlengkapi dengan 2 buah kemudi yang letaknya di bagian buritan.
Selain kapal untuk keperluan perdagangan maupun menangkap ikan, sebagai negara maritim yang besar, Kesultanan Gowa juga memiliki kapal perang sebagai penunjang utama armada laut mereka. Kapal-kapal perang ini disebut dengan Galle’. Menurut sejarawan La Side’ Daeng Tapala, dari Lontara Bilang (catatan harian raja-raja Gowa-Tallo) menguraikan secara rinci ukuran armada laut Makassar tersebut. Yaitu, rata-rata ukuran Kapal perang Kesultanan Gowa memiliki panjang 17,5 m dengan lebar lambung kapal 3-5 m. Beberapa diantaranya yang digunakan Laksamana lebih besar dengan panjang 35m dan bersusun 3-4 tingkat dengan jumlah pendayung antara 200-300 orang. Selanjutnya pada Lontara’ Bilang juga disebutkan, I Manuntungi Daeng Mattola Sultan Malikussaid Somba Gowa ke-XV (1639-1653) dalam rangka persiapan menyerbu Kerajaan Buton (Sulawesi Tenggara) dan Timor pada tahun 1640, telah memerintahkan membuat Galle sebanyak 9 buah yang diberinya nama: I GallE Dondona RallE Campaga, ukuran panjang 20 depa (35 m), I GallE I Nyannyi’ Sangguk, ukuran panjang 15 depa (27 m), I GallE Mangkin Naiya, ukuran panjang 15 depa (27 m), I GallEParE’ Makkuling, ukuran panjang 13 depa (23 m), I GallE I Kalabiu, ukuran panjang 13 depa (23 m), I GallE GalE l Engan, ukuran panjang 13 depa (23 m), I GallE Barang MamasE, ukuran panjang 13 depa (23 m),I GallE Siga, ukuran panjang 13 depa (23 m),I GallE Uwangang, ukuran panjang 13 depa (23 m).
Kebesaran nama kapal perang Kesultanan Gowa ini selalu tercatat dalam setiap pertempuran laut melawan VOC dan sekutunya. Sebagai contoh sebanyak 250 Galle pernah diterjunkan untuk melawan VOC di perairan Banda. Pernah pula pada tahun 1666 sebanyak ±600 kapal perang melawan 450 kapal VOC di peraira Pulau Butung.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza