(IslamToday.id) — Majapahit berangsur-angsur mengalami penurunan, sejak terjadinya polemik suksesi kepemimpinan yang berlangsung panjang, adapun perang Paregreg adalah salah satu yang dianggap paling menjadi penyebabnya. Menurut Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo, sejak pecah Perang Paregreg pada awal abad XV (1401-1405), armada laut yang pernah mengalami masa kejayaan telah lumpuh dan tidak mampu lagi digerakan ke wilayah-wilayah jauh di luar Jawa. Faktor utama dari andegnya eskpedisi jarak jauh tersebut tak lain dikarenakan sumber daya keuangan negara telah jatuh dalam keadaan yang mengkhawatirkan, sedangkan perwira-perwira terbaik terfokus pada perang lokal. Dalam keadaan yang tidak terkontrol, tersebut lama-kelamaan wilayah jauh dari Majapahit berserpihan menjadi kadipaten-kadipaten kecil yang mandiri. Bahkan wilayah Palembang sempat dikuasai bajak laut China, walaupun mampu direbut kembali dibawah kepemimpinan Arya Damar.
Sementara itu, kehidupan sosial-religi di Majapahit pasca kemunduran kerajaan menunjukkan sebuah perubahan yang signifikan. Perubahan tersebut diantaranya seperti yang diungkap dalam catatan seorang muslim China Laksamana Cheng Ho pada tahun 1431-1433 M mengungkapkan bahwa selain penduduk pribumi dan bangsawan keraton waktu itu dalam lingkup wilayah Majapahit sudah banyak muncul komunitas penduduk China dan Muslim dalam jumlah yang besar. Secara rinci Cheng Ho menggambarkan bahwa terdapat penduduk Islam yang bersal dari Barat yang telah menjadi penduduk setempat. Pakaian dan makanan mereka bersih dan pantas. Berikutnya adalah orang-orang China yang lari dari negerinya dan menetap di Jawa. Pakaian mereka baik dan banyak diantara mereka yang masuk Islam dan taat melaksanakan ibadah agamanya. Adapun penduduk asli, Cheng Ho melihat perbedaan, dimana masyaraat Majapahit yang belum beragama Islam terlihat jorok dan hampir tidak berpakaian. Rambut mereka tidak disisir, bertelanjang kaki dan memuja roh nenek moyang.
Dari catatan tersebut, Agus Sunyoto menganalisis, bahwa masyarakat pribumi sampai tahun 1433 M tak banyak berbeda dengan gambar-gambar pada relief candi yang dibangun pada masa itu, penduduk pribumi baik laki-laki maupun perempuan belum mengenal penutup dada dan masih banyak yang belum memeluk agama Islam. Kemudian dalam mengamati kehidupan sosial religi di masa akhir Majapahit, Ia juga mengelompokkan masyarakat menjadi dua yaitu lingkungan keraton dan lingkungan petani. Kedua kelompok masyarakat ini benar-benar memiliki laku sosial yang berbeda, baik secara ekonomi, politik maupun agama.
Dalam praktik keagamaan, sekalipun elit Keraton menganut agama Hindu, tidak demikian dengan penduduk kalangan bawah. Mereka nyaris tidak mengenal laku religi yang dipraktikan oleh kalangan elite Majapahit, namun mereka lebih akrab dengan ajaran Kapitayan dimana mereka memiliki kepercayaan teradap arwah leluhur dan kekuatan benda-benda tertentu. Hal ini tercermin dalam laku kehidupan sehari-hari para petani yang dengan sadar memilih untuk memuja batu, tugu, tunggul, tunda, tungup (punden leluhur) pelindung desanya daripada pemujaan terhadap dewa-dewa dari agama Hindu maupun Buddha.
Keseharian lainnya yaitu, bagi kalangan petani jika berada diluar rumah akan terlihat berjalan kaki, memikul barang, naik pedati dan membawakan payung bagi majikannya. Sedangkan kalangan kraton jarang ditemui berjalan kaki tanpa pengawal. Mereka biasa naik tandu yang dipikul, naik kereta kencana, menunggang kuda dan selalu dipayungi oleh pembantunya. Perbedaan lain juga terlihat dari pola transaksi, kalangan bawah mengunakan sistem barter dalam memenuhi kebutuhan yang beraneka ragam. Kalaupun menggunakan alat tukar, umumnya hanya menggunakan uang kepeng. Sementara itu, kalangan keraton lazimnya menggunakan alat tukar uang yang disebut su (emas) dan ka (perak).
Sementara di bidang keagamaan, pada masa akhir Majapahit, terjadi pola kemerosotan kehidupan religius. Falsafah lingga-yoni sebagai hasil sinkretisasi Syiwa-Buddha yang terpengaruh ajaran Yoga-Tantra dari sekte Sakhta dan Bhairawa-Tantra yang sudah merosot berkembang luas di kawasan pedalaman maupun pesisir. Salah satu upacara aliran tersebut adalah upacara Pancamakara atau Ma-lima atau lima M. Mamsha (daging), Matsya (ikan), Madya (minuman keras), Maithuna (bersetubuh) dan Mudra (semedi). Mereka yang melakukan ritual tersebut, biasanya akan membentuk lingkaran yang terdiri atas lelaki dan perempuan dalam keadaan telanjang. Di tengah lingkaran tersedia makanan dan berbagai minuman keras, setelah makan dan minum sampai mabuk mereka kemudian melakukan persetubuhan dengan bebas secara beramai-ramai dan ritual diakhiri dengan melakukan semedi.
Menurut J.L Moens dalam Het Buddiisme op Java en Sumatra in Zijn Laatste Boei Periode, para penganutajaran Ma-lima itu yakin, bahwa selama upacara tersebut dilakukan, lingkaran yang dibaktikan itu merupakan tanah suci, karena dewa Indra dan semua “Yang Langgeng” akan hadir ditempat itu. Lingkaran-lingkaran untuk upacara itu ada yang disebut ksetra yakni tempat upacara dengan korban manusia, yang di kalangan masyaraat Jawa dikenal sebagai upacara mistis meminta wadal (tumbal).
Di tengah kemerosotan sosial dan religi masyarakat Majapahit, Islam hadir dengan dakwah yang lebih menyentuh dalam realitas kehidupan masyarakat. Beberapa ulama dan da’i utusan negara Islam telah melakukan tugas dakwahnya dengan keahlian masing-masing. Keahlian-keahlian tersebut tak hanya dalam ilmu agama tetapi juga pada bidang-bidang umum seperti pertanian, kesehatan hingga administrasi negara. Oleh karena itu, diakhir masa Kerajaan Majapahit Islam semakin mendapatkan tempat tak hanya di kalangan rakyat kalangan bawah tetapi telah masuk pula dalam elit kekuasaan. Salah satu contohnya adalah Brawijaya V yang memiliki dua istri beragama Islam dan melahirkan keturunan yang kelak tumbuh menjadi penguasa-penguasa daerah Islam di Jawa.
Proses, tumbuh dan berkembangnya Islam secara pesat di Majapahit tak hanya karena kehebatan dan kemuliaan tokoh-tokoh pendakwahnya, namun secara konsepsi Islam memang berbeda dengan agama-agama terdahulu. Sartono Kartodirdjo dalam bukunya Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium menyatakan, bahwa agama Islam yang tidak mengenal perbedaan asal keturunan, bangsa, dan kedudukan soaial memberikan legitimasi lebih pada para penduduk Majapahit yang selama ini tersisihkan dari pola sistem kasta yang berlaku. Sistem pemerintahan dengan model otonomi tiap daerah di Majapahit juga mendorong para penguasa daerah lokal di luar ibukota, terutama pesisir yang mayoritas bergerak dalam bidang perdagangan untuk lebih memilih Islam. Bagi penguasa lokal, agama Islam merupakan lambang kekuatan kontra dalam menghadapi kekuasaan pusat yang berideologi Hindu. Selain itu konversi ke dalam Islam akan mempermudah hubungan perdagangan dengan dunia perdagangan internasional yang waktu itu mayoritas dimainkan oleh Islam seperti Arab, Parsi, Gujarat, Bengala, Malaka dan Sumatra. Oleh karena itu, diakhir abad 15 dan awal abad 16 M wilayah Jawa mulai bermunculan daerah-daerah independen yang beragama Islam seperti, Demak, Tuban, Lumajang, Cirebon dan lain-lain. Daerah-daerah tersebut tumbuh dengan kondisi ekonomi, religi dan militer yang kuat.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza