(IslamToday.id) — Sebagai seorang ulama besar yang telah dijadikan pahlawan nasional di dua negara, tentu kapasitas dan kedalaman ilmu dari seorang Syekh Yusuf Al Makassari tidak perlu diragukan. Dengan kedalaman ilmu yang dimiliki seolah muncul sebuah kewibawaan besar dan karomah dalam dirinya sehingga beliau mampu mendapatkan jaringan keulamaan yang luas dan mendapatkan loyalitas mutlak dari murid-muridnya. Di dalam dunia keilmuan Islam Syekh Yusuf adalah ulama yang faqih dalam berbagai disiplin ilmu terutama ilmu fiqih dan tasawwuf. Dia pun dikenal sebagai seorang sufi yang mengajarkan Tarekat Khalwatiyah. Oleh karena itu, dia memiliki nama lengkap Syekh Yusuf Abu al-Mahasin Hidayatullah Taj al-Khalwati al- Makassari. Nama kecilnya yang bernama Muhammad Yusuf kemudian berubah sebab ilmu agamanya.
Jika melihat gelar yang tersemat pada nama Syekh Yusuf, maka kita akan dapat melihat kedalaman ilmu agamanya. Pertama, Syekh yang artinya seorang pemimpin, kepala suku, tetua, ataupun ahli agama; Kedua, Abu al-Mahasin artinya bapaknya kebaikan; Ketiga, Hidayatullah yang berarti diberikan petunjuk oleh Allah; Keempat, Taj al-Khalwati yang berarti Mahkota tarekat Khalwati; dan Kelima, al- Makassari adalah identitas atau asal-muasal seorang Muhammad Yusuf. Sedangkan dalam bahasa Makassar Syekh Yusuf sering disebut dengan nama Syekh Yusuf Tuanta Salamaka yang artinya bahwa beliau adalah seorang yang selamat karena keberkahan ilmu agamanya dan selalu mendapatkan keselamatan.
Berkaitan dengan gelar Taj Al-Khalwati yang tersisip diantara nama keulamaannya, maka dari gelar tersebut menarik untuk dikaji lebih jauh tentang perjalanan beliau dalam mencari ilmu agama hingga akhirnya berhasil menjadi seorang imam besar tasawuf dengan aliran Khalwatiyah. melanjutkan pendalaman ilmu agamanya.
Sejak kecil, Muhammad Yusuf yang lahir di lingkungan kesultanan Gowa-Tallo memang sudah terlihat memiliki ketertarikan terhadap keIslaman dibanding teman-teman seusianya. Dalam perjalanan awalnya, beliau dibimbing oleh Daeng ri Tassamang seorang guru agama terkemuka untuk mendalami dasar-dasar ajaran Islam dan mengkhatamkan al-Qur’an.
Setelah proses dasar tersebut di dilalui, kemudian Syekh Yusuf yang masih remaja memulai perjalanannya untuk mencari ilmu ke Cikoang, di daerah Takalar. Disana untuk pertama kalinya Muhammad Yusuf berguru kepada seorang Syekh yang bernama Jalaluddin al-Aidit melalui pengajian yang dilakukan kepada masyarakat sekitar. Rupanya, dia adalah seorang saudagar dan ulama yang telah mengunjungi Malaka, Aceh, dan Kutai, serta mencapai pelabuhan Makassar pada tahun 1640. Muhammad Yusuf berguru bersama Syekh Jalaluddin selama beberapa tahun, terutama di bidang syari’at agama dan ilmu nahwu sharaf. Akan tetapi Yusuf kecil yang haus ilmu tersebut masih merasa kurang, oleh karena itu, Ia memiliki keinginan untuk mempelajari Islam langsung dari asalnya yaitu dengan menempuh pendidikan di Makkah dan Madinah.
Keinginan menuntut ilmu keluar daerah yang dicita-citakan oleh Syekh Yusuf kecil ternyata baru bisa terlaksana saat berumur 18 tahun tepatnya pada tahun 1644. Dengan menumpang di kapal dagang orang-orang Melayu, Muhammad Yusuf pergi tidak langsung menuju jazirah Arab, namun terlebih dahulu menetap di Banten. Alasan Muhammad Yusuf memilih Banten begitu sederhana yakni karena hubungan perdagangan Banten dan Makassar sudah terjalin erat, maka Ia memilih embali menambah perbekalan ilmu dasarnya kepada ulama-ulama Banten. Baru setelah satu tahun Muhammad Yusuf melanjutkan perjalanannya ke Aceh. Perjalanannya ke Aceh pun bukan tanpa alasan, tetapi Yusuf muda tertarik dengan seorang Ulama bernama Nuruddin ar-Raniri seorang ulama ahlusunnah yang menuliskan kitab Tajus-Salatiin (Mahkota Para Sultan).
Di tahun 1641, Muhammad Yusuf berhasil mencapai Aceh pada masa kepemimpinan Sultanah Taj al-Alam. Di Aceh, Ia berhasil bertemu dengan ar- Raniri dan berguru kepadanya mengenai ilmu tasawwuf dan tarikat hingga berhasil mendapatkan ijazah ilmu tarekat Qadariah dari ar-Raniri. Setelah berguru di Aceh bersama Nuruddin ar-Raniri, barulah Muhammad Yusuf melanjutkan perjalanannya ke daerah Timur Tengah, Makkah dan Madinah. Perjalanannya menuju Makkah pada tahun 1649 ditempuh melalui Aceh bersamaan dengan niatnya menunaikan ibadah haji.
Setelah mencapai Timur Tengah, Syekh Yusuf untuk pertama kalinya belajar di Yaman. Di sana dia belajar ilmu tarekat dari seorang Syekh bernama Abu Abdullah Muhammad Abdul Baqi ibn Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani yang kemudian berhasil mendapatkan ijazah dari Tarekat Naqsabandi. Selanjutnya, masih di Yaman, dia berhasil mendapatkan ijazah Tarekat al-Baalawiyah hingga masuk musim haji. Di masa musim haji tiba, Yusuf kemudian melanjutkan perjalanannya ke Mekkah untuk berhaji dan meperdalam ilmu agamanya di Masjid al-Haram bersama para ulama Mekkah. Setelah itu, dia melanjutkan lagi ke Madinah dan berguru kepada seorang Syekh bernama Ibrahim Hasan ibn Syihabuddin al-Kurdi al-Kurani dan berhasil mendapatkan ijazah Tarekat Syattariyah.
Dari Madinah, dia pun melanjutkannya ke daerah Damsyik (Damaskus), Suriah (Syam), dan berguru dengan Syekh Abu al-Barakat Ayyub ibn Ahmad ibn Ayyub al- Khalwati al-Qurasyi. Darinya yusuf kemudian mendapatkan gelar Syekh Taj al-Khalwati Hidayatullah.
Sebelum kembali ke Indonesia Syekh Yusuf kemudian kembali ke Mekkah dan menikah dengan seorang anak Imam besar Masjid al-Haram, Imam Syafi’i, bernama Sitti Hadijah. Di saat Syekh Yusuf kembali ke Indonesia, tepatnya ke Banten, dia kemudian berencana mengajarkan ilmu agama yang telah didapatkannya selama berguru. Akan tetapi, dia mendapati bahwa Banten berada dalam kekacuan, terutama harus melawan Belanda.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza
Disarikan dari makalah Icchank Azis dengan judul: Syekh Yusuf al-Mahasin Hadiyatullah Taj al-Khalwati al-Maqassari (Syekh Yusuf Tuanta Salamaka ri Gowa)