(IslamToday.id) — Wilayah Aceh dalam percaturan perdagangan internasional telah mempunyai andil besar sejak berdirinya Kesultanan Samudra Pasai pada abad 13 M. Salah satu komponen utama dalam kegiatan tersebut adalah alat tukar berupa uang logam yang berbeda-beda pada setiap wilayah. Khusus di wilayah Aceh, T. Ibrahim AIfian dalam bukunya yang berjudul Mata Uang Kerajaan-Kerajaan Aceh memberi gambaran secara terperinci tentang mata uang emas atau yang sering disebut dengan derham Aceh di wilayah Kesultanan Samudra Pasai hingga Aceh Darussalam.
Derham Aceh yang tertua, diketahui telah dicetak dan dikeluarkan pada masa Kesultanan Samudra Pasai. Kerajaan ini mulai berkembang sebagai pusat perdagangan dan pusat pengembangan agama Islam di Selat Melaka pada akhir abad XIII M dibawah Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297 -1326).
Mata uang emas atau derham Pasai, garis tengahnya kurang lebih 10 mm, kecuali kepunyaan Sultan Zain al-Abidin (1383-1405) dan Sultan Abdullah (1500-1513), sedangkan derham kerajaan Aceh yang ditempa lebih dari dua abad sesudah dikeluarkannya mata uang emas Pasai, berkisar sekitar 12 sampai 14 mm. Derham ini umumnya terbuat dari emas 18 karat. Huruf-huruf yang terdapat pada kedua muka/sisi uang tersebut dicetak timbul dengan aksara Arab yang relatif kasar di dalam lingkaran titik-titik timbul sebagai garis pinggirnya.
Adapun salah satu ciri khas dari derham Aceh adalah pada salah satu sisi uang terdapat tulisan as-sultânal-Adil atau malik al-Adil yang memiliki makna Raja yang adil. Selain digunakan oleh raja-raja Pasai, penulisan as-sultânal-Adil seperti yang terdapat pada bagian belakang derham Pasai ini juga dipakai oleh sultan-sultan kerajaan Aceh Dar as-salam dari mulai Sultan Salah ad-Din (1405-1412) sampai dengan Sultan Ri’ayat Syah (1589-1604 M.), sedangkan sejak Sultan Iskandar Muda (1607 —1637 M.), kata-kata as-sultan al-Adil tidak lagi dipergunakan pada derham Aceh.
Selain mata uang emas, di wilayah Aceh juga banyak beredar mata uang lain dengan dengan berbagai variasinya. Secara detail, beberapa mata uang yang pernah tercatat digunakan dalam transaksi perdagangan diwilayah Aceh dan besaran nilai tukarnya telah diurai oleh Rusdi Sufi dalam sebuah makalah yang disampaian pada seminar tentang Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutra di Cisarua, Bogor tahun 1992.
Menurut Rusdi Sufi, sejak abad 12 dan abad 13 M sudah berlangsung hubungan perdagangan antara Negeri Cina di Timur dan India (Cambay) di Barat dengan Kerajaan Pasai. Pedagang-pedagang Cina yang menggunakan perahu-perahu Jung yang berniaga pada kota-kota pelabuhan dalam wilayah Kerajaan Pasai waktu itu telah mempergunakan mata uang perak yang bernama ketun sebagai alat tukar dalam mendapatkan barang-barang dari penduduk setempat. Uang ketun ini bentuknya panjang, lebar, dan beratnya hampir sama dengan ringgit Spanyol yang kemudian diedarkan oleh orang-orang Portugis di beberapa kerajaan di Aceh. Mata uang ketun ini beredar dan berlaku hingga masa datangnya orang-orang Portugis yang pada tahun 1521 berhasil menduduki Kerajaan Pasai.
Setelah masa kedatangan Portugis, selanjutnya mereka juga mengedarkan mata uang ringgit yang bergambar tiang yang populer dengan sebutan ringgiet Spanyol (ringgit Spanyol), namun orang-orang Aceh lebih banyak menyebutnya ringgiet meriam atau reyal. Dinamakan demikian karena pada mata uang ini terdapat dua buah pilar (tiang) yang menyerupai meriam. Pada masa Kerajaan Aceh riyal ini cukup populer sebagai alat tukar khususnya dalam transaksi lada.
Selain reyal atau ringgit meriam ini orang-orang Portugis mengedarkan pula tiga jenis mata uang tembaga, yaitu: Mata uang tembaga yang ukurannya sebesar ringgit meriam, dengan tulisan Arab di salah satu sisinya yang berbunyi empat kepeng, disebut dengan nama duet (duit). Mata uang tembaga yang agak lebih kecil dengan tulisan Arab yang berbunyi dua kepeng. Mata uang ini tidak mempunyai nama dalam istilah Aceh. Mata uang tembaga berbentuk kecil dengan tulisan Arab berbunyi satu kepeng. Mata uang-mata uang tersebut, kemudian hilang dari peredaran bersamaan dengan diusirnya orang-orang Portugis dari kerajaan-kerajaan di Aceh (Pasai dan Pedir).
Sultan Aceh menetapkan ringgit Spanyol sebagai kesatuan mata uang yang hendak dilaksanakan itu. Nilai 1 ringgit sama dengan 4 deureuham. Selanjutnya, mutu emas yang diperlukan untuk mata uang emas harus pula memenuhi syarat, yaitu kadarnya harus sikureung mutu (sembilan mutu atau 17-18 karat). Dari orang-orang Inggris Sultan membeli mata uang tembaga yang di atasnya dibubuhi gambar seekor ayam betina, yang dinamakan duit manok (mata uang ayam betina). Sultan menetapkan pula bahwa untuk 1000 duit manok ini sama nilainya dengan 1 ringgit Spanyol.
Selain membuat mata uang emas, Kerajaan Aceh pada waktu itu juga membuat mata uang dari timah yang dinamakan keuh. John Davis yang menjadi nakhoda pada kapal Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman yang datang ke Kerajaan Aceh pada masa Sultan Alaudin Riayatsyalal-Mukammil (1568-1604) menyebutkan ada dua jenis mata uang yang utama yang beredar di Kerajaan Aceh pada waktu itu, yaitu mata uang emas yang bentuknya sebesar uang sen di Inggris dan mata uang timah yang disebut cashes (yang dimaksud mungkin yang dinamakan oleh orang Aceh keuh, orang Portugis menyebutnya caxa, dibuat dari timah dan kuningan, Belanda menyebutnya kasja atau kasje).
Selain kedua jenis mata uang utama tersebut, terdapat pual jenis-jenis mata uang lain seperti yang disebut kupang (mata uang dibuat dari perak), pardu (juga dibuat dari perak yang ditempa oleh Portugis di Goa) dan tahil. Adapun nilai dari masing-masing mata uang tersebut adalah nilai 1600 cashes sama dengan 1 kupang; 4 kupang sama dengan 1 derham, 5 derham (uang emas) sama dengan 4 schelling (sic) Inggris, 4 derham sam dengan 1 pardu dan 4 pardu sama dengan 1 tahil. Sistem mata uang tersebut di atas tidak mengalami perubahan hingga pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 Sistem mata uang tersebut di atas tidak mengalami perubahan hingga pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1637).
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza