(IslamToday.id) — Peristiwa jatuhnya Malaka ke tangan Portugis merupakan peristiwa besar yang menandai, kiprah bangsa Eropa di Nusantara. Hal ini karena berkaitan dengan sifat kesombongan mereka dan nafsu monopoli perdagangan yang sebelumnya tak pernah ditunjukkan oleh bangsa-bangsa lain. Sedangkan di suatu sisi, sejak pergerakan Portugis yang dilakukan untuk merebut Goa di India, mereka telah menunjukkan bahwa tujuan penguasaan tersebut bukan semata-mata untuk mencari keuntungan ekonomi tetapi lebih besar dari pada itu, kepentingan utama Portugia adalah memerangi umat Islam.
Oleh karena itu, tak hanya Aceh ataupun kesultanan-kesultanan yang berada di Sumatera, tetapi kejatuhan Malaka menjadi perhatian pula bagi Demak selaku kerajaan Islam utama di Tanah Jawa untuk berusaha membebaskan Malaka dari cengkraman Portugis. Dalam menyikapi hal ini Pati Unus selaku panglima besar Kesultanan Demak pernah berkata:
“Apabila Demak ingin tetap hidup, jangan biarkan orang-orang Portugis menguasi daerah-daerah kita. Sekarang Malaka sudah jatuh ke tangannya. Niscayalah mereka esok hari akan menggempur Demak, Aceh dan Palembang. Karena itu kita harus bersatu dan bersama-sama menyerang Portugis di Malaka”
Perlu diketahui, Pati Unus atau Adipati Unus lahir di Jepara pada tahun 1480 dengan nama kecil Raden Surya atau Abdul Qadir Bin Yunus. Setelah Raden Abdul Qadir beranjak dewasa di awal 1500 ia diambil mantu oleh Raden Patah yang telah menjadi Sultan Demak I. Dari Pernikahan dengan putri Raden Patah, Abdul Qadir resmi diangkat menjadi Adipati wilayah Jepara. Karena ayahnya (Raden Yunus) lebih dulu dikenal masyarakat, maka Raden Abdul Qadir lebih lebih sering dipanggil sebagai Adipati bin Yunus (atau putra Yunus). Kemudian hari banyak orang memanggilnya dengan yang lebih mudah Pati Unus.
Pada akhir abad ke-15 dan memasuki awal abad ke 16 intensitas persaingan dakwah dan niaga di Asia Tenggara memang meningkat sangat cepat, pertukaran informasi dari jaringan ulama telah terbentuk sedemikan rupa melalui jalur perdagangan yang telah ada sejak ratusan tahun silam. Dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 maka Demak segera mengambil langkah untuk mempererat hubungan dengan kesultanan Banten-Cirebon untuk memberikan jalur perdagangan alternatif apabila para pedagang muslim enggan melewati jalur Malaka apabila hendak menuju Maluku. Rute alternatif tersebut bisa ditempuh lewat Pasai, kemudian ke arah barat dan menyisir melalui pantai barat Sumatera dan masuk melalui selat sunda yang dikuasai oleh Kesultanan Banten, selanjutnya menyisir laut Jawa dan terus ke arah Gowa hingga ke Maluku.
Dari adanya hubungan kerjasama tiga kesultanan Islam Jawa yang dibina oleh Sunan Gunung Jati selaku pembina uumat Islam, maka ditunjuklah Pati Unus sebagai Panglima Gabungan Armada Islam membawahi armada Banten, Demak dan Cirebon. Dengan diangkatnya Pati Unus sebagai panglima tertinggi, maka ia diberi gelar Senapati Sarjawala dengan tugas utama merebut kembali tanah Malaka yang telah jatuh ke tangan Portugis.
Tahun 1512 giliran Samudra Pasai yang jatuh ke tangan Portugis. Hal ini membuat tugas Pati Unus sebagai Panglima Armada Islam tanah jawa semakin mendesak untuk segera dilaksanakan. Maka tahun 1513 dikirim armada kecil, ekspedisi Jihad I yang mencoba mendesak masuk benteng Portugis di Malaka.
Selain mempersiapkan pasukan dan peralatan perang, sebelum penyerangan di Malaka Pati Unus juga berusaha mengetahui kekuatan orang-orang Portugis di Malaka. Untuk itu beliau memanfaatkan para pedagang-pedagang Jawa yang tinggal di Malaka memata-matai pergerakan Portugis. Dari adanya mata-mata ini Pati Unus dapat mengetahui bahwa di benteng A-Farmosa yang menjadi benteng pertahanan orang Portugis di Malaka posisinya berada di puncak bukit telah dipesiapkan meriam-meriam. Sehingga Pati Unus menilai perlu dilakukan beberapa modifikasi kapal-kapal perangnya dengan penyesuaian posisi meriam.
Setelah dirasa persiapan sudah cukup, Sultan Fattah memerintahkan Pati Unus untuk memerangi Portugis pada tahun 1512 M, dengan jumlah pasukan sekitar 100 kapal dan 5.000 pasukan diberangkatkan dari pelabuhan Jepara. Dari Jepara kemudian berlayar kearah barat, menuju kepulau Sumatera tepatnya kearah Palembang. Dari Palembang perjalanan diteruskan menuju Malaka, namun dalam perjalanannya Pati Unus dan pasukannya singgah sementara waktu di daerah yang terdapat sungai Kampar, daerah di sekitar Indragiri Sumatera. 139 Dari Kampar perjalanan terus dilakukan menuju arah Barat Laut, sudah dekat dengan Malaka yang letaknya berada di seberang Utara.
Pada Januari 1513 M Pati Unus mencoba memberikan kejutan berupa serangan dadakan kepada orang-orang Portugis di perairan kerajaan Islam Malaka. Pati Unus membawa 5.000 pasukan kemudian ditambah pasukan bantuan dari Palembang hingga jumlahnya menjadi kurang lebih 12.000 pasukan.
Begitu mendengar pasukan Demak hendak mengepung Malaka, Portugis selain menyiapkan pasukan di benteng mereka juga mengerahkan pasukan maritimnya sebanyak 350 orang Eropa serta orang Pribumi dengan jumlah 17 kapal. Tujuannya untuk menghadang Pasukan Islam yang dipimpin oleh Pati Unus keluar dari Malaka, kemudian menggiring mereka supaya masuk sungai Muar, di sungai inilah kemudian pasukan Portugis menenggelamkan dan membakar banyak sekali kapal Demak.
Dengan persenjataan meriam-meriam Portugis yang lebih canggih dibandingkan dengan meriam dari pasukan Pati Unus, sehingga bisa dengan mudah melakukan serangan ke arah kapal-kapal Pati Unus dengan tembakan- tembakan dari jarak yang jauh. Dengan tembakan meriam-meriam Portugis ini dapat menghancurkan dan menenggelamkan kapal-kapal pasukan Pati Unus. Melihat hal ini, maka Pati Unus kemudian memutuskan utuk menarik pasukan dan kembali ke Jawa. Dari isah perlawanan yang dilakukannya, masyarakat Jawa selanjutnya memberikan julukan kepada Pati unus dengan Pangeran Sabarang Lor yang artinya Pangeran yang menyeberang ke utara (Malaka)
Walaupun, misi pembebasan Malaka yang pertama belum berhasil menggoyahan Portugis, namun semangat Kesultanan-Kesultanan Islam di Jawa belumlah sepenuhnya luntur. Hal ini dikarenakan kondisi kesultanan-kesultanan di sekitar Malaka yang masih disibukkan dengan pertentangan dan suksesi kepemimpinan, maka Demak merasa wajib untuk mengemban misi pembebasan Malaka, terlebih lagi di pihak Portugis dengan sangat jelas dan gamblang bahwa mereka melakukan semua itu dengan semangat perlawanan terhadap umat Islam.
Dari hal ini maka segeralah pihak Demak menyusun rencana untuk penyerangan ke dua. Namun hal itu ternyata tidak berjalan lancar begitu saja. Mengetahui kekalahan Demak melawan Portugis, pihak Islam sempat diganggu keberadaan Prabu Udhara selaku penguasa Kediri atau sisa Majapahit lama yang menjalin kerjasama dengan Portugis dan meminta bantuan tentara dan peralatan perang untuk digunakan malawan Demak. Hal ini tentu membuat Sultan Fattah marah, sehingga pada tahun 1517, diperintahkanlah Pati Unus untuk segera memadamkan perlawanan penguasa Kediri tersebut agar jangan sampai berhubungan lagi dengan Portugis.
Dalam perencanaan serangan kedua ke Malaka, ternyata takdir menghendaki jalan lain. Pada tahun 1518, Sultan Fattah mangkat. Namun sebelum itu beliau telah berwasiat agar kepemimpinannya diteruskan oleh Pati Unus. Oleh karena itu, sejak 1518 Pati Unus adalah juga sebagai Sultan Demak II.
Dengan mangkatnya Sultan Fattah, tidak berarti menyurutkan niat Demak dibawah kepemimpinan Pati Unus untuk segera menyerang Malaka. Terlebih lagi imperialisme kaum Katolik Spanyol yang berlayar ke arah Barat telah sampai di Filipina, yakni di Kesultanan Sulu pada tahun 1521 M. Keadaan inilah yang menjadikan Pati Unus ingin segera menyerang Portugis di Malaka, sebelum Portugis berupaya menyerang orang Islam di Jawa.
Persiapan pun segera dilakukan, baik logistik, pasukan perang, hingga armada kapal berjumlah 375 yang dibuat oleh galangan kapal Gowa telah siap diberangatkan. Tepat pada taun 1521, setelah melakukan perjalanan dengan kapal perang melalui siang dan malam selama beberapa bulan, akhirnya Pati Unus dan pasukannnya sampai diperairan Malaka. mulailah tampak benteng A-Farmosa yang menjadi basis pertahanan Orang Portugis di Malaka, di benteng ini pasukan Portugis juga telah siap perang melawan Pati Unus dan pasukannya.
Setelah kedua pasukan berdekatan pecahlah perang yang amat dahsyat. Perang yang mengunakan senjata meriam-meriam yang canggih dan memiliki ukuran-ukuran yang cukup besar. Peluru-peluru berbentuk bola berapi melesat sedemikian jauh hingga mengenai lawan. Kapal-kapal berjalan maju secara beriringan, serta kesulitan menghindar dari serangan peluru-peluru meriam. Perang yang berkecamuk sangat dahsyat tersebut berlangsung hampir tiga hari taiga malam tanpa jeda. Dalam pertempuran tersebut pihak Demak dan Portugis saling berganti posisi antara bertahan dan menyerang. Namun ternyata nasib kembali tidak memihak Demak. Kapal jung yang digunakan Pati Unus terkena tembakan yang cukup fatal, adapun Sultan Demak tersebut juga ikut gugur bersamaan tenggelamnya kapal yang ia naiki.
Dengan gugurnya Pati Unus sebagai pemimpin utama pasukan gabungan tanah Jawa, kemudian komando diambil alih oleh Fadhlulah Khan (Tubagus Pasai) dan ia memerintahkan untuk menarik mundur pasukan ke arah pantai Sumatera. Setelah memperhitungkan jumlah korban dan kerugian yang diderita masing-masing pihak, akhirnya pasukan gabungan dibawah kepemimpinan Demak ini kembali ke pulau Jawa. Pada babak-babak selanjutnya masih banyak pertempuran yang dilakukan antara Kesultanan Islam Jawa melawan Portugis, terutama yang paling besar adalah pertempuran di Sunda Kelapa. Fadhlullah Khan alias Falathehan alias Fatahillah alias Tubagus Pasai-lah yang kemudian diangkat Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati sebagai Panglima Armada Gabungan yang baru menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka.
Demikian kisah heroik yang ditunjukkan oleh Pati Unus sebagai salah satu pahlawan Indonesia yang secara resmi diakui perjuangannya oleh pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semangat melawan penindasan dan hegemoni imperialisme yang dibawa bangsa Eropa patut dicontohan untuk genarasi penerus bangsa. Sedangkan dari sisi agama Islam, Pati Unus telah syahid sebagai seorang pemimpin besar yang tidak lari dari segala ancaman. Beliau memilih menempuh jalur Jihad Fisabilillah dari pada harus tunduk pada kekuatan yang terus berusaha menghapus tegaknya kalimat tauhid di bumi Nusantara.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza
Sumber:
Rachmad Abdullah, Kerajaan Islam Demak: Api Revolusi di Tanah Jawa 1518-1549 M, .2014. Jakarta. Al-Wafi
Kutujo, Sutrisno. Pejuang Bangsa. 1982.Jakarta:Penerbit Miswar