(IslamToday.id) — Wilayah Kesultanan Ternate sejak dahulu telah dikenal sebagai penghasil rempah-rempah terbaik sebagai komoditas dagang internasional di abad pertengahan. Melimpahnya hasil tanaman cengkeh dan pala membuat bangsa-bangsa asing seperti Cina, Arab, Persia dan Eropa berbondong-bondong melakuan perdagangan di kawasan ini.
Berbeda dengan kedatangan bangsa Timur Tengah dan Asia Timur, kedatangan bangsa Eropa ke wilayah Maluku ini tak hanya memiliki motif dagang yang sehat, namun dari gerak gerik mereka sudah sangat terlihat jelas sifat keserakahan dan tujuan lain akibat dendam mereka terhadap peristiwa perang salib dan kekalahan mereka di Andalusia serta Romawi Timur. Sebagai contoh bisa kita lihat bagaimana sepak terjang Portugis di bawah Alfonso d’Albuquerque yang ketika berhasil menaklukkan Malaka pada tahun 1511 M. Dalam pidatonya ia mengatakan:
“Raja Portugal telah sering memerintahkan saya untuk pergi ke Selat ini. Ini adalah tempat terbaik untuk mencegat perdagangan yang dilakukan orang-orang Moor (Islam). Dengan mengambil Malaka ita akan menutup selat ini, sehingga tidak ada lagi orang-orang Moor bisa membawa rempah-rempah merea dengan rute ini. Dengan memencilkan orang-orang Moor dari perdagangan rempah-rempah, maka itu bisa mendobrak kekuatan Islam. Saya yakin bahwa, jika perdagangan di Malaka ini diambil dari tangan mereka, Kairo dan Mekah akan benar-benar Hilang”
Selanjutnya, strategi Portugis untuk mencari jalan atas penguasaan perdagangan komoditas rempah-rempah tersebut dilakukan dengan cara membangun monopoli dagang di negara-negara produsen, serta berusaha mengadudomba penguasa-penguasa Islam di wilayah tersebut atau bahkan memurtadkannya dari agama yang telah mereka yakini.
Francisco Serrao adalah utusan Portugis yang pertama kali sampai di Ternate. Pada waktu itu, wilayah kepulauan Maluku sudah tumbuh dan berkembang kerajaan-kerajaan yang beragama Islam. Kedatangannya, dijemput oleh utusan Sultan Bayanullah di Banda pada tahun 1512. Setelah mendarat di Ternate, Sultan Bayanullah sendiri yang menjemput Francisco Serrao di pelabuhan. Setelah tinggal di Ternate, Francisco Serrao berhasil meyakinkan Sultan Bayanullah tentang “kejujurannya” sebagai pembeli tunggal rempah-rempah dengan harga bersaing dan syarat-syarat yang lunak. Tawaran Francisco Serrao diterima oleh Sultan Bayanullah, bahkan Francisco Serrao dipercaya sebagai penasehat pribadi Sultan Bayanullah. Atas keberhasilan itu, Francisco Serrao segera mengabarkan kepada Raja Muda Portugis di Goa, India. Perjanjian Sultan bayanullah dan Francisco Serrao ini menjadi langkah awal dari politik monopoli yang akan dijalankan Portugis di Ternate.
Keakraban Sultan Bayanullah dengan Francisco Serrao telah menuai masalah bagi diri Sultan Bayanullah. Pada tahun 1522, Sultan Bayanullah wafat karena diracuni oleh rakyatnya sendiri yang tidak senang melihat akrabnya Sultan Bayanullah dengan Francisco Serrao. Sumber lain menyebutkan, bahwa Sultan Bayanullah meninggal karena diracuni oleh para pedagang Islam yang cemburu atas diberikannya hak monopoli perdagangan rempah-rempah kepada Portugis oleh Sultan Bayanullah.
Waktu Sultan Bayanullah meninggal, ia meninggalkan seorang istri, Nyai Cili Nukila dan dua orang putera yang masih kecil, yaitu Deyalo(Hidayat) dan Boheat. Karena putera sulung Sultan Bayanullah masih kecil, maka untuk sementara pemerintahan dijalankan oleh Nyai Cili Nukila sebagai Mangkubumi alias Sultanah Nukila dan Taruwese sebagai raja muda yang berperan menjalankan administrasi pemerintahan. Taruwese adalah adik dari Sultan Bayanullah orang kuat kesultanan yang sangat ambisius dan bekerja sangat erat dengan Gubernur Portugis de Menezes.
Pada tahun 1528, putera sulung Sultan Bayanullah, Deyalo dilantik menjadi Sultan Ternate. Pada waktu itu, Deyalo berusia 20 tahun. Deyalo hanya mampu berkuasa selama satu tahun. Pada tahun 1529, Deyalo disingkirkan oleh Taruwese yang bekerjasama dengan Portugis. Diketahui pula akhirnya Sultan Deyalo atau Sultan Hidayat juga meninggal akibat perebutan kekuasaan itu, dari berbagai sumber diketahui bahwa Sultan Hidayat meninggal akibat ditembak serdadu Portugis.
Namun usaha Taruwase merebut kekuassan dari kemenakannya tersebut tidak berjalan lama. Taruwese pun tewas karena dibunuh oleh rakyat Ternate yang marah atas penyingkiran Deyalo sebagai Sultan Ternate. Dalam kekosongan kekuasaan tersebut, akhirnya Pangeran Abu Hayat (Boheyat) dilantik menjadi Raja baru dengan sebutan Sultan Abu Hayat II. Beliau adalah putra kedua Sultan Bayanullah dan Ratu Nuila atau adik dari Sultan Hidayat (Deyalo). Tidak sesuai dengan perkiraan Portugis, Sultan Abu Hayat II ini ternyata sangat berbeda sikap politik dengan Portugis. Berbagai sikap dan kebijakannya sangat jelas menyelisihi dan merugikan pihak Portugis, hingga pada tahun 1531 Sultan Abu Hayat II dilengserkan dari jabatannya. Ia dituduh sebagai dalang atas pembunuhan salah satu pejabat teras Portugis di Ternate, sehingga Sultan Boheyat ditangkap dan diasingkan ke wilayah Malaka hingga wafat disana.
Dengan dilengserkannya Sultan Boheyat, kemudian tahta kesultanan Ternate diisi oleh Tabariji. Ia adalah putra Ratu Nukila dari perkawinannya yang kedua dengan pria bernama Pati Sarangi. Tetapi pemerintahan yang dijalankan Tabariji juga hanya berjalan seumur jagung, ia dituduh terlibat permufakatan jahat terhadap kekuasaan Portugis di Ternate, sehingga bersama Ibunya Ratu Nukila ia ditangkap dan dibawa ke wilayah Goa, India untuk diberi pengadilan. Selama di Goa, Sultan Tabariji berhasil dibujuk oleh Portugis untuk menjadi seorang penganut Khatolik dan berganti nama dengan Don Manuel. Sedangkan, ibunya juga menempuh jalan yang sama, Sang mantan sultanah ini menjadi pemeluk Katolik dengan nama baptis, Donna Isabella. Begitupula dengan putri tiri Nukila atau anak dari suami keduanya, Pati Sarangi, yang juga ikut berpindah keyakinan, dibaptis dengan nama, Donna Catarina
Dengan konversi keyakinan yang dilakukan, maka Raja Muda Portugis membebaskan Tabariji dari segala tuduhan dan haknya atas tahta Ternate dipulihkan. Tabariji akan segera dikembalikan ke Ternate, bahkan Tabariji tidak segan-segan memproklamirkan bahwa Ternate adalah bagian Kerajaan Kristen Katolik Portugis. Selain itu, Tabariji juga menyerahkan Pulau Ambon dan pulau-pulau sekitarnya antara Pulau Buru dan Pulau Seram kepada Portugis.
Rakyat Ternate ternyata menolak berita kedatangan Tabariji, hal ini dikarenakan ia tidak lagi seorang muslim. Bagi rakyat Ternate yang mayoritas beragama Islam, syarat ini mutlak dan tidak bisa ditawar lagi. Di samping itu, jabatan Tabariji sudah digantikan oleh Sultan Khairun. Namun rencana Portugis yang ingin menjadikan Ternate sebagai bagian dari Kerajaan Kristen Portugal melalui Tabariji ternyata gagal. Masalahnya, dalam perjalanan pulang dari Goa ke Ternate, tepatnya pada tanggal 30 Juni 1545, Tabariji mengalami sakit keras dan akhirnya tewas di Malaka.
Konflik politik antara Ternate dan Portugis ternyata tidak juga berhenti, didorong keinginannya untuk menguasai daerah itu, intrik-intrik dan drama politik berlanjut terus hingga mengalami titik puncaknya ketika Sultan Khairun dibunuh secara keji oleh Portugis di Ternate. Dari sinilah nantinya babak baru dibuka dan akan muncul sosok besar bernama Sultan Baabullah yang mampu mengusir Portugis dari tanah Ternate.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza
Sumber:
Disarikan dari Jurnal Ilmiah : Darmawijaya dengan judul Tafsir Islami atas Perjuangan Sultan Khairun dalam Melawan Portugis di Kawasan Maluku Utara. (Sebuah Analisis Berdasarkan Teori Islam dan Teori Politik Kolonial Niccolo Machiavelli)
Infografis islamtoday.id dengan judul Selat Malaka Di Mata Portugis