(IslamToday.id) — Maluku sebagai kepulauan penghasil rempah-rempah terbaik, namanya telah termahsyur sejak berabad lalu. Nama Maluku sendiri menurut para sejarawan telah banyak ditulis dalam catatan-catatan kerajaan lokal maupun mancanegara. Salah satu kitab tertua yang mencatat nama Maluku adalah Negarakertagama (1365) yang disebut dengan istilah “Maloko”. Penyebutan ini, diduga bahwa penulis Nagarakartagama telah mengadopsi nama itu dari pedagang Arab yang melakukan kegiatan perniagaan di Nusantara. Menurut pendapat yang populer asal-usul kata “Maluku” berasal dari kata Arab “Malik” yang berarti “raja”. Saudagar Arab menamakan pulau-pulau di bagian Maluku dengan sebutan Jazirah al- Mamluk” yang berarti kepulauan raja-raja” yang mana hal itu menunjuk pada empat kerajaan di Maluku zaman dulu yang memiliki pengaruh di Maluku yaitu Jailolo, Ternate, Tidore dan Bacan.
Pada awalnya yang disebut dengan Maluku meliputi Ternate, Tidore, Makian, dan Moti. Secara keseluruhan, keempat wilayah itu disebut dengan “Moloku Kie Raha”, artinya “persatuan empat Kolano (Kerajaan).” Pada abad ke-13 M, di Maluku sudah muncul beberapa kolano (kerajaan) yang memainkan penting dalam bidang perdagangan, yaitu: Ternate, Tidore, Makian dan Moti. Pada perjalanan selanjutnya, sesudah terjadi perjanjian Moti pada abad ke-14 M, Kolano Makian pindah ke Bacan, dan Kolano Moti pindah ke Jailolo. Sejak itulah, empat kolano di Maluku berubah nama menjadi: Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo, dan dari keempat itu, Kolano Ternate dan Tidore- lah yang banyak mendapat perhatian dalam liputan sejarah Islam di Maluku.
Karena Maluku merupakan jazirah kerajaan, tidak mengherankan bila gaya pemerintahannya adalah monarki yang di-elaborasi dengan unsur-unsur adat dan tradisi. Tahta adalah lambang supremasi pemerintahan yang diduduki seorang raja sebagai pengambil keputusan akhir atas semua urusan kerajaan dan pemerintahan adapun gelar yang dipakai oleh seorang raja adalah Kalano. Raja dibantu suatu birokrasi yang disebut Bobato (semacam Menteri), yang dikepalai seorang Jogugu (perdana menteri), yang selalu dijabat tokoh-tokoh kepercayaan raja. Pimpinan militer dipegang seorang Kapita Laut (Panglima Laut) yang selalu dijabat putera mahkota atau salah seorang putera raja lainnya. Wilayah Kerajaan terbagi dalam beberapa Jiko (semacam distrik) yang dipimpin seorang Sangaji (dari bahasa Jawa: Sang Aji) yang disebut Jiko Ma Kolano (Kepala Pemerintahan Wilayah) yang membawahkan sejumlah Soa (komunitas setingkat desa) yang dikepalai seorang Kimalaha.
Di samping seorang Sangaji yang menjalankan tugas pemerintahan, raja juga mengangkat seorang Utusan sebagai wakil pribadi raja untuk mengurus kepentingan kerajaan, seperti mengumpulkan upeti dan tugas-tugas khusus lainnya. Pada daerah-daerah taklukan yang bukan kerajaan, raja mengangkat seorang Salahakan (Gubernur), sementara daerah-daerah taklukan yang sudah ada rajanya maka raja tetap memegang kekuasaan dan daerahnya menjadi vassal.
Dari literatur-literatur hikayat yang disebutkan oleh M. Adnan Amal pada buku Kepulauan Rempah-Rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950 konon diyakini bagi rakyat Maluku Utara bahwa raja pertama dari empat kerajaan itu adalah empat bersaudara, yaitu: Sahajati di kerajaan Tidore, Masyhur Malamo di kerajaan Ternate, Kaicil Buka di kerajaan Bacan, dan Darajati di kerajaan Jailolo. Keempat raja itu merupakan putra dari Ja’far Shadiq, yang ditengarai putra Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Hal inilah yang menjadi awal sejarah kesultanan Islam di Maluku.
Terkhusus bagi Kesultanan Ternate, Masyhur Mulamo diketahui adalah raja Ternate pertama yang memerintah pada tahun 1257-1272 M. Sekalipun diberbagai literatur disebutkan bahwa ia adalah putra Ja’far Shadiq, tidak ada keterangan jelas yang menyebutkan bahwa ia beragama Islam, begitupun dengan beberapa raja-raja penerusnya di antaranya Kaicil Yamin (1272-1284 M), Kaicil Siale (1284-1298 M), Kamalu (1298-1304 M), Kaicil Ngara Lamu (1304-1317 M), Patsyaranya Malamo (1317-1322 M), Sida Arif Malamo (1322-1331 M).
Pasca Sida Arif Molamo, kepemimpinan Ternate dilanjutkan oleh Bayanullah (1350-1375) dan Marhum (1465-1489 M). Secara fakta sejarah, Marhum inlah seorang Kolono Ternate yang diketahui pertama kali masuk Islam, setelah mendapat seruah dakwah dari pedagang asal Minangkabau yang juga murid Sunan Giri, yaitu Datu Maulana Husein yang datang ke Ternate pada tahun 1465 M.
Penyebaran agama Islam di Maluku pada masa-masa awal tidak dapat dipisahkan dari kerja keras seorang pedagang sekaligus muballigh asal Jawa bernama Datu Maulana Hussein. Ia tiba di Ternate pada 1465 M. Hussein adalah seorang muballigh besar pada masanya. Ia memiliki pengetahuan agama Islam yang luas dan dalam, serta pakar tilawah dan kaligrafi Arab. Pada waktu senggang, terutama di malam hari, ia membaca Al-Quran dengan suara yang merdu, serta membuat kaligrafi di atas potongan-potongan papan. Keahliannya ini membuat pribumi Ternate terpesona dan kagum. Itulah sebabnya, setiap kali ia melantunkan ayat- ayat suci Al-Quran, banyak orang berdatangan untuk mendengarkannya
Kian lama, jumlah peminat lantunan ayat Al-Quran tersebut kian bertambah, sampai pada suatu ketika ada di antara pribumi tersebut untuk memberanikan diri meminta Datu Hussein mengajarkan membaca Al-Quran. Namun Datu Hussein tidak langsung serta merta mengabulkannya, beliau menjelaskan bahwa Al-Quran adalah kitab suci agama Islam yang berisi kalam Ilahi. Kitab suci ini hanya boleh diajarkan kepada mereka yang telah menganut agama Islam. Mendengar penjelasan tersebut, orang-orang Ternate tidak keberatan dengan syarat itu, dan mulailah mereka berbondong-bondong memeluk agama Islam.
Dengan semakin banyaknya orang Ternate demikian juga orang Tidore, Bacan dan Jailolo yang masuk Islam, Datu Hussein akhirnya memberanikan diri membuka pengajian untuk mengajarkan Al-Quran dan Islam. Dalam waktu singkat, upayanya bisa dikatakan sukses dan merembet sampai ke lingkungan istana. Suatu hari Datu Hussein diundang oleh Raja Ternate dan diminta membacakan Al-Quran dan menjelaskannya di depan Kolano, para Bobato serta keluarga istana. Nampaknya, dengan mendengar lantunan Al-Quran yang menyentuh, dan masuk akalnya penjelasan makna lantunan ayat yang dibacakan, maka para penguasa di lingkungan kerajaan itu akhirnya dengan sukarela memutuskan untuk membaca dua kalimat syahadat sebagai pertanda masuk Islamnya mereka.
Datu Maula Hussein adalah juga dikenal sebagai guru spiritual Zainal Abidin, mulai dari masa kanak-kanaknya hingga dinobatkan sebagai Sultan Ternate. Seperti terlihat dalam kenyataan sejarah, Islam memperoleh kekuatan politik setelah bertakhtanya Zainal Abidin pada 1486. Zainal Abidin adalah raja pertama Ternate, bahkan Maluku, yang memakai gelar sultan, sebagai pengganti gelar kolano yang disandang para pendahulunya. Setelah raja Ternate barulah disusul, Raja Caliati dari Tidore melakukan langkah serupa atas bimbingan guru spiritualnya Syekh Mansur yang berasal dari Arab. Setelah Zainal Abidin naik tahta, maka kebijakan yang diambil berikutnya adalah menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan dan sejak itu Kolano Ternate menjadi Kesultanan Ternate.
Pada tahun 1494, ditemani oleh Maulana Husein, Sultan Zainal Abidin melakukan perjalanan ke Giri, Jawa Timur, untuk lebih memahami ajaran Islam pada Sunan Giri. Adapun alasan memilih Sunan Giri sebagai tujuan menimba ilmu, lantaran sosok Sunan Giri memang dikenal sebagai guru dari guru tentang ilmu Islam sekaligus ilmu Tata Negara, bahkan anak-anak Raja Majapahit dan Sultan-Sultan di Jawa semua berguru dan mendapat legitimasi dari sang Wali tersebut. Dengan demikian, Zainal Abidin selain sebagai Raja Maluku pertama yang menggunakan gelar Sultan, juga adalah Sultan Maluku pertama yang belajar agama Islam langsung pada Sunan Giri.
Setelah tiga bulan belajar di madrasah Sunan Giri (Giri Kedaton), ia kembali ke Ternate dengan memboyong beberapa ulama Jawa untuk mengajarkan Islam di Ternate. Di antara ulama-ulama asal Jawa itu ada yang diangkatnya sebagai imam atau lebih dikenal dengan sebutan modin/moding.
Salah satu upaya lain yang dilakukan Sultan Zainal Abidin dalam rangka membangun fondasi dasar Ternate sebagai negara Islam, adalah mendirikan sejumlah sekolah dengan guru-guru ulama yang diboyongnya dari Giri. Kemudian dalam struktur pemerintahan, Sultan Zainal Abidin membentuk lembaga jolebe atau Bobato Akhirat. Tugas Jolebe atau Bobato Akhirat adalah membantu sultan dalam masalah keagamaan, lembaga ini terdiri dari seorang kalem (Qadhi), empat orang imam, delapan orang khatib, dan empat belas orang moding, yang membantu sultan menjalankan fungsi-fungsi keagamaan dan syariat Islam. Pakaian dari orang-orang di lembaga ini adalah jubah putih. Selain Bobato Akhirat, juga ada Bobato Dunia yang menggunakan jubah hitam, tugas mereka adalah membantu sultan dalam masalah pemerintahan.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza
Sumber:
M. Adnan Amal, 2007; Kepulauan Rempah-Rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950, Makassar. Pukat
Rusdiyanto, Kesultanan Ternate Dan Tidore. Jurnal Aqlam — Journal of Islam and Plurality — Volume 3, Nomor 1, Juni 2018