(IslamToday.id) — Kepulauan Maluku, sangat menarik bagi orang asing sejak zaman Romawi. Mereka datang untuk mencari cengkeh, pala, gaharu, cendana dan rempah-rempah lainnya. Dari semua itu, dua komuditas yang paling istimewa adalah cengkeh dan pala. Pada saat puncak masa Emporium, harga komuditas ini bisa dibilang melebihi harga emas. Dalam catatannya Tome Pires menyebutkan bahwa, ketika ia bertemu dengan pedagang-pedagang Melayu, Mereka menyatakan, “Tuhan telah menciptakan Timor untuk cendana, Maluku untuk cengkeh dan Banda untuk Pala. Barang dagangan ini tidak ada di tempat lain di dunia selain tempat-tempat itu; dan telah saya tanyakan dan selidiki dengan teliti apakah barang ini terdapat di tempat lain, dan semua orang mengatakan tidak”.
Lalu, sebenarnya apa yang membuat komoditas ini begitu digandrungi dan bernilai tinggi? Jawaban dari pertanyaan tersebut, bisa kita lihat dari perjalanan eksistensi rempah-rempah sendiri dalam keterlibatannya dalam dinamika kebudayaan seluruh dunia. Catatan yang tertua, mengataan bahwa eksistensi rempah-rempah sendiri diketahui telah digunakan sejak ribuan tahun sebelum masehi. Bukti penggalian arkeologi yang dilakukan di reruntuhan bekas Imperium Babylonia, telah ditemukan artefak cengkeh Maluku pada era Mesopotamia lama. Ini membuktikan bahwa cengkeh telah sampai di kawasan tersebut pada tahun 3000 SM, namun demikian belum bisa diketahui secara pasti, bagaimana cengkeh-cengkeh tersebut bisa sampai di wilayah itu.
Pada sumber informasi tentang persebaran rempah-rempah yang lebih muda, diketahui bahwa cengkeh telah diperdagangkan oleh bangsa Arab, India di Pantai Malabar hingga Romawi dan Yunani kuno. Kota Tyre di Yunani adalah pusat perdagangan Barat dan Timur hingga ditaklukan oleh Alexander The Great pada tahun 322 SM. Pada tahun yang sama Alexander The Great menemukan pelabuhan Alexandria, Mesir dan mengubahnya menjadi pusat perdagangn rempah-rempah Timur dan kawasan Mediterania.
Dari keterangan para sejarawan, diketahui masyarakat Mesopotamia dan Babylonia menggunakan rempah-rempah khususnya cengkeh dan pala untuk mengawetkan jasad raja-raja Mesir yang biasa dijadikan mumi setelah mati. Pendepat ini tentu dapat dibuktikan dengan adanya penelitian yang menemukan adanya unsur kedua rempah tersebut dalam mumi Firaun (Ramses II) sebagai raja Mesir yang hidup lebih dari 1000 tahun sebelum masehi.
Eksistensi rempah-rempah Maluku berikutnya adalah persinggungannya dengan bangsa Cina. Banyak pendapat yang mengatakan, bahwa kata cengkeh sendiri berasal dari bahasa Mandarin: xi’jia, artinya tumbuhan pau, sedangan dalam bahasa lokal disebut bualawa (belawa). Disebut clove dalam bahasa inggris, clou dalam bahasa Perancis dan nagel di Belanda.
Secara geografis, Maluku Utara adalah sebuah kawasan titik temu dan perkenalan Asia Tenggara dengan dunia luar. Perdagangan rempah-rempah bagi Imperium Cina telah tercatat sejak abad ke-7 M pada periode kekuasan Dinasti Tang. Dalam sejarah perkembangan dinasti-dinasti politik Cina, periode Dinasti Tang adalah periode dimana Kekaisaran Cina mulai membuka diri untuk melakukan perdagangan global.
Pada masa awal, rempah-rempah Maluku yang dibawa oleh pelaut Cina diperdagangkan melalui laut dan darat dengan menelusuri Gurun Gobi, Lembah Khayber Pass, Nepal hingga memasuki daratan Eropa (Venesia) dan Mesir (Alexandria). Venice adalah pusat perdagangan rempah-rempah di Mediterania selama berlangsungnya Perang Salib (1096-1291). Jalur ini sering dinamakan dengan the silk road (jalur sutera), sebuah istilah yang muncul dari komunitas bangsawan Jerman, Baron Ferdinand von Ritchthoven. Silk Road sendiri secara bahasa merupakan makna metafora untuk menggambarkan jalinan persahabatan bangsa-bangsa yang terjalin dengan “halus” sejak berabad lamanya. Tetapi selain istilah Silk Road ada pula yang menyebut jalur ini dengan istilah caravan road, karena perdagangan jalur darat tempo dulu biasa dengan menggunakan unta sebagai kendaraan.
Bagi bangsa Cina dan Arab, rempah-rempah seperti cengkeh dan pala biasa digunakan selain untuk bumbu masakan, juga digunakan sebagai bahan baku obat-obatan (farmasi), kosmetik dan parfum. Namun bagi orang Cina, cengkeh secara khusus digunakan sebagai pengharum mulut sebelum seseorang menghadap sang kaisar. Hal ini dikarenakan jika seorang hendak menemui Kaisar, namun bau mulutnya tak terjaga bisa membuat orang itu mendapatkan hukum pancung karena dianggap menghina Kaisar.
Setelah kedatangan bangsa Cina dan Arab, maka berikutnya orang Jawa serta Melayu yang tadinya hanya menjadi masyarakat pengelola bandar perdagangan mulai ikut ambil bagian berburu rempah-rempah secara langsung ke wilayah perairan Maluku. Beberapa sejarawan mencatat, bahwa pemukiman bangsa Cina, Arab, Jawa dan Melayu telah ada di wilayah Ternate sejak abad ke-13 M. Dari adanya interasi tersebut, kemudian Maluku mulai berkembang menjadi kawasan kosmopolian abad pertengahan.
Persinggungan rempah-rempah dengan bangsa Eropa, baru benar-benar diketahui setelah hubungannya dengan orang Islam menjadi lebih intensif saat berlangsungnya perang salib. Mereka banyak terkesima dengan megahnya bangunan-bangunan istana orang Islam dan tertarik pula untuk mengetahui bagaimana bahan-bahan yang membuat ruangan-ruangan dalam istana tersebut bisa beraroma begitu sedap dan dalam keadaan yang tidak lembab. Bagi orang Eropa,rempah-rempah sangat berharga karena asal-usulnya yang kabur. Orang Eropa mengenal rempah-rempah dari orang arab yang sebagai broker berusaha menjaga sumber rempah-rempahnya supaya tidak diketahui asal muasalnya. Orang Eropa mengasosiasikan rempah-rempah dengan negara antah berantah yang berhubungan dengan surga. Tidak ada penulis abad pertengahan yang mengasosiasikan surga tanpa bau atau rasa rempah-rempah. Taman bagi para santo maupun kekasih digambarkan berbau kayumanis, pala, jahe dan cengkeh
Di sisi lain, bagi bangsa Eropa, rempah-rempah menjadi simbol status yang untuk menikmatinya harus dipamerkan daripada dikonsumsi sendiri. Rempah-rempah akan diedarkan kepada para tamu dengan baki perak dan emas untuk dibawa pulang. Rempah-rempah disimpan sebagaimana permata berharga. Merica seringkali digunakan untuk pembayaran karena harganya sama dengan emas. Rempah-rempah juga diasosiasikan dengan pengobatan dan kesehatan. Cengkeh dikunyah untuk menghilangkan bau mulut dan mengobati sakit gigi. Adapun buah pala diyakini dapat mencegah penularan wabah “Black Death” melalui kutu Xenopsyllacheopis yang biasa ada di tikus rumahan dan telah merenggut 60% populasi warga Eropa atau setidaknya 200 juta jiwa. Alhasil, harga buah pala setelah dikeringkan atau sudah menjadi bubuk memiliki nilai jual tinggi.
Karena begitu tingginya nilai ekonomis dari hasil penjualan rempa-rempah, maka pada abad pertengahan ketika hanya bangsa Cina dan Arab yang mengetahui posisi Maluku sebagai pulau penghasil rempah, mereka begitu merahasiakan letak Maluku. Sedangkan orang Eropa tercatat baru bisa menemukan lokasi Kepulauan maluku pada abad 16 M.
Sebagai gambaran nilai keuntungan yang bisa dihasilkan dari penjualan cengkeh pada masa itu, seorang pedagang Arab pernah menuturkan: “Bila anda memuat cengkeh ke dalam empat kapal dan tiga kapal tenggelam, maka dengan keuntungan dari penjualan muatan satu kapal yang tersisa, kergian yang ditimbulkan oleh kapal yang lainnya dapat kembali dan sisanya masih cukup besar bagi Anda”.
Sementara di Eropa, gambaran keuntungannya adalah sebagai berikut: Harga satu bahar (456 lb, atau setara 309 kg) di maluku bisa didapat hanya dengan nilai dua ducat (5,25 gulden). Sementara setelah sampai di Malaka harganya telah naik hingga mencapai 100 ducat (525 gulden). Di pasar lainnya yang berada di posisi lebih barat lagi dari jalur pelayaran harganya lebih mahal, bisa mencapai 500-600 fanom ( 1 fanom = 1 real), sedangkan cengkeh kepunyaan Raja bisa lebih mahal lagi biasanya hingga 700 fanom. Pada tahun 1600 M, harga satu pon (0,5 kg) cengkeh di Maluku harganya hanya setengah penny (mata uang Inggris, 100 penny = 1 poundsterling), dan setelah tiba di pasar Eropa nilainya bisa mencapai 16 poundsterling atau kenaikannya mencapai 32.000 %.
Hal inilah yang membuat bangsa-bangsa pemburu rempah seperti halnya orang mabuk yang tidak mempedulikan hal lain kecuali untuk bisa memperoleh cengkeh dan pala dari kawasan kepulauan Maluku. Berbagai cara dilakukan, dari mempertaruhkan nyawa dalam pelayaran yang jaraknya ribuan kilometer, membuat kontrak perdagangan, tawar menawar politik dengan penguasa lokal hingga melakukan ekaspansi militer demi mempertahankan penguasaan mereka atas komunitas dagang terbaik itu.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza
Sumber :
K. Subroto, Pengepungan Benteng Portugis, Kekalahan Super Power Portugis Oleh Jihad Baabullah Di Ternate. Syamina Edisi 10 Juli 2016
M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-Rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950