(IslamToday.id) — Sebanyak 7 kapal tempur, diiringi 13 kapal berisi penuh pasukan serta 10 kapal kargo itu memasuki jantung pelabuhan Malaka. Tanpa basa-basi, kapal-kapal tempur yang yang dipimpin Alfonso d’Albuquerque itu melakukan serangan jarak jauh. Dentuman demi dentuman meriam terdengar. Serangan di pertengahan tahun 1511 memecah kedamaian selat Malaka.
Para pedagang dari berbagai negeri, seperti Gujarat, Cina, dan dari negeri-negeri Melayu kalang kabut. Mereka yang sebelumnya sibuk bertransaksi, berhamburan menyelamatkan diri. Betapa tidak, selama mereka tinggal dan dan berdagang belum pernah mendengar dentuman meriam, alih-alih perang di bandar perdagangan yang ramai itu.
Bagai terinjak-injak martabatnya, melihat serangan membabi buta itu, rakyat Malaka tidak tinggal diam. Dibawah komando Tun Hasan Tumenggung, mereka berjuang mempertahankan negerinya dari kezaliman Portugis. Dengan sigap mereka melakukan serangan balik.
Sebanyak 2000 pasukan Portugis yang melakukan serangan darat dibuat kalang kabut. Mereka tercerai berai hingga akhirnya terpojok dan menderita kekalahan. Banyak tentara portugis yang meregang nyawa, sebagaian dari mereka terluka, ditangkap dan dijebloskan ke penjara.
10 Ribu Pasukan
Kekalahan Pasukan Portugis ini sampai ke telinga Alfonso d’Albuquerque. Hal ini membuatnya marah, dan berencana untuk kembali melakukan serangan terhadap Malaka. Ia lantas menemui Raja Portugis untuk mendapatkan dukungan. Alhasil, raja memberikan dukungan berupa 4 kapal tempur dan lima kapal kargo. Bantuan itu setidaknya memperkuat misi penyerangan kedua terhadap Malaka dengen total kekuatan 15 kapal tempur dengan didukung 10 ribu pasukan.
Awal Juli 1511 Alfonso dan 10 ribu pasukannya berlayar menuju Malaka. Setibanya di pelabuhan Malaka Portugis menerapkan siasat licik. Ia mengirimkan pesan kepada Sultan bahwa ia hanya ingin melakukan hubungan dagang dan menghindari konflik. Gelagat licik ini sudah diketahui Sultan Mahmud, sehingga Ia mengabaikan pesan itu. Lantaran tidak mendapat balasan, Alfonso kembali menyampaikan pesan tersebut, namun sultan menegaskan bahwa Malaka tidak ingin berdamai dengan Portugis.
Mendengar tanggapan itu, Alfonso memerintahkan 10 ribu pasukannya untuk mendarat dan bersiap menyerang. Sebelum itu, ia menuntut semua pasukan Portugis yang ditawanan dibebaskan. Namun, sultan tetap pada sikapnya, mempertahankan memilih martabat negerinya dari pada tunduk pada tuntutan Portugis. Pertempuran kedua pada 15 Juli 1511 tak bisa terelakan. Bahkan kali ini tidak hanya antara Malaka dan Portugis, para pedagang yang terusik oleh ulah Portugis turut membantu mempertahankan martabat negeri Malaka.
“Tahun 1511 merupakan tahun yang bersejarah bagi Asia Tenggara. Saat itu pejuang Malaka dibantu sejumlah kapal Jung Cina dan kapal dagang Gujarat mempertahankan mati-matian Malaka dari gempuran armada laut Portugis jilid II,” ujar Prof Dr. M. Dien Madjid dalam bukunya Catatan Pinggir Sejarah Aceh.
Semangat kegigihan mempertahankan Malaka berduel sengit dengan semangat menaklukan Malaka. Namun sayang, Portugis berhasil memenangkan peperangan yang tidak imbang dari sisi pasukan dan persenjataan itu. Pasalnya, para pejuang Malaka menggunakan senjata tradisional, senjata kecil yang di-impor dari Pegu dan Siam, bola-bola besi meriam yang di impor dari Cina dan meriam yang di-impor dari Calicut. Malaka juga belum memiliki pengalaman perang, sebaliknya Portugis sangat berpengalaman dalam peperangan dengan ditunjang persenjataan yang modern.
Tepat pagi hari 26 Juli 1511, Malaka jatuh ke tangan Portugis. Sejak saat itu Portugis bercokol di Malaka 130 tahun hingga VOC datang dan merebutnya pada 1641 M.
Mengapa Malaka?
Serangan Portugis ke Malaka bukan tanpa alasan. Pelabuhan Malaka memang menggiurkan dan akan sangat bermanfaat jika bisa dikuasai. Kota pelabuhan Malaka yang terletak di jalur dagang antara Tiongkok dan India itu dinilai memberikan banyak keuntungan, yakni menguasai menguasai perniagaan di Asia.
Di Malaka, berbagai komoditas berharga diperdagangkan. Diantaranya, emas, timah, kapur, dan tentu saja rempah-rempah, terutama lada yang sangat laku di pasaran Eropa. Rempah-rempah menjadi sangat penting di Eropa karena berbagai kegunaan yang dimilikinya.
Pada musim dingin, dimana daging segar susah didapatkan karena ketiadaan pakan untuk ternak, solusi terbaik adalah dengan mengawetkan daging dengan menggunakan garam. Untuk menghilangkan rasa asin dan bau tengik dari daging yang mulai membusuk maka digunakanlah rempah-rempah untuk menyamarkannya. Selain berfungsi memberi rasa pada ikan atau daging yang diawetkan rempah dipercaya sebagai obat berbagai penyakit, serta dimanfaatkan sebagai bahan kosmetik.
Perdagangan rempah-rempah menyuguhkan keuntungan yang sangat menggiurkan. Seorang pedagang Arab pernah menyatakan, jika pedagang memuat cengkeh ke empat kapal dan tiga kapal tenggelam, maka dengan keuntungan dari penjualan muatan satu kapal yang tersisa, kerugian yang ditimbulkan oleh kapal lainnya dapat kembali dan sisanya masih cukup besar.
Hal ini juga pernah dirasakan oleh Magelhaens dalam ekspedisinya. Ia berangkat dengan lima kapal, satu kabur dan kembali ke Sevilla, tiga lainnya karam dan rusak. Yang berhasil kembali dengan muatan cengkeh tinggal satu kapal. Keuntungan yang diperoleh dari penjualan muatan satu kapal itu dapat menutup kerugian ketiga kapal yang rusak dan karam dan masih tersisa keuntungan yang cukup bagi raja dan awak kapal yang selamat.
Oleh karena itu, demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar Portugis bertekad mencari sendiri negara yang menjadi produsen komoditas sumber rempah –rempah.
Misi Besar
Dalam misi mencari daerah penghasil rempah rempah itu, Portugis banyak menemui pedagang muslim di setiap daerah yang mereka singgahi. Bahkan negeri-negeri muslim memegang peranan penting sebgai penguasa pada jalur-jalur perdagangan rempah-rempah.
Portugis tidak bisa menerima kondisi tersebut. Terlebih, pasca perang salib mereka juga memiliki misi untuk menghabisi kaum Moor (orang Islam) dimana pun berada. Bahkan hal ini merupakan the Order of Christ yang disahkan oleh Paus Alexander VI dalam Traktat Tordesilas tahun 1494.
Portugis menganggap penguasa lokal non muslim adalah sekutu. Sedangkan, penguasa yang beragama Islam atau negeri muslim adalah musuh yang harus dibantai. Tidak heran sepanjang pelayaran untuk menemukan rempah-rempah itu Portugis banyak menumpahkan darah. Mulai dari Afrika Utara dan Afrika Barat, kemudian Portugis menduduki Asbassyana, Azores dan Modeiras, kemudian Nigeria, Kamerun, Kongo, disusul penguasaan terhadap Convanor, Calicut dan Goa. Dapat dikatakan jalur pelayaran Portugis adalah jalur kezaliman yang penuh genangan darah.
Dibalik kedok membantai umat Islam yang mereka sebut orang Moor sebenarnya adalah hasrat untuk memutus mata rantai jaringan pedagang muslim Arab, Turki, dan Gujarat dari perdagangan dunia. Sebab hingga tahun 1500 para pedagang Arab, Turki, dan Gujarat mendominasi jalur perdagangan di sekitar laut Arab, Afrika Timur hingga Teluk India dan kepulauan Asia Tenggara atau Negeri di Bawah Angin.
Para pedagang muslim memegang peranan kunci dan berpengaruh kuat dalam aktivitas perdagangan dari Gujarat dan Malabar hingga Malaka dan dari Aceh hingga Maluku, Banda dan Ambon. Maka untuk memutus mata rantai perdagangan muslim ini Portugis melakukan serangan membabi buta Portugis ke Malaka dan menjadi malapetaka di Asia Tenggara.
Serangan yang menjatuhkan Malaka inilah yang kemudian membuka pintu masuk penjajahan di negeri kita.
Penulis: Arief Setiyanto
Editor: Tori Nuariza