(IslamToday.id) — Gambaran awal tentang perdagangan rempah-rempah sebelum kedatangan bangsa Eropa, sebagaimana dicatat oleh Tome Pires menyebutkan bahwa hingga abad ke-15 perdagangan rempah-rempah didominasi oleh para pedagang muslim. Rute perdagangan yang terbentuk, yaitu pedagang Melayu mengambil rempah-rempah dari Maluku yang kemudian dibawa ke Malaka sebagai salah satu pusat perdagangan terbesar Asia. Selanjutnya, komoditi tersebut dikirim ke Gujarat, Ormus, dan seterusnya ke Istanbul melalui Laut Merah, dan dari sinilah kemudian dilanjutkan pedagang Venesia ke Eropa.
Memasuki abad ke -16 barulah bangsa Eropa terlihat bergeliat untuk ikut ambil bagian dalam penjelajahan samudra guna mencari kepulauan rempah-rempah. Seperti telah diketahui bahwa kepentingan utama bangsa Kolonial datang ke wilayah ini diawali oleh kepentingan ekonomi. Di dataran Eropa pada saat itu perdagangan rempah-rempah sangat ramai dan banyak diminati oleh orang-orang Eropa yang digunakan sebagai bahan untuk menambah rasa masakan dan sebagai bahan untuk membuat wewangian. Keuntungan yang diperoleh melalui perdagangan rempah-rempah sangatlah besar karena setiap berpindah tangan keuntungan yang diperoleh mencapai 100% sehingga setibanya di Eropa dapat mencapai 1000 hingga 32000%. Salah satu bangsa Eropa yang tercatat paling lama berpengaruh dalam sistem perdagangan hingga pemerintahan adalah Belanda yang mampu berkuasa hingga ratusan tahun lamanya.
Dalam berbagai literasi yang ada, untuk pertama kalinya Belanda berhasil menginjakkan kaki di Wilayah Maluku adalah pada tahun 1588. Waktu itu Laksamana Jacob Corneliszoon van Neck tiba di Ternate dengan kapal Amsterdam dan Utrecht. Kedua kapal ini berada di Ternate dari akhir Mei hingga awal Juni 1588. Sepuluh tahun kemudian pada tahun 1598 Cornelis de Houtman memimpin ekspedisi dengan 22 kapal Belanda yang lego jangkar di Ternate. Armada ini berlayar dari Banten dan merupakan ekspedisi ke-2 Houtman, menyusul keberhasilan ekspedisi pertamanya pada tahun 1595. Karena ekspedisi pertama dinilai berhasil dan pebisnis Belanda melihat potensi keuntungan rempah-rempah sangat menggiurkan, maka mereka pun membiayai ekspedisi ke-2 de Houtman.
Ekspedisi para pedagang Belanda selanjutnya kemudian berhasil tiba di Kepulauan Maluku Selatan pada tahun 1599. Ekspedisi ini juga dipimpin oleh Jacob van Neck yang kemudian berhasil menjalin hubungan perdagangan dengan Hitu. Selain itu, ekspedisi ini juga mengunjungi Kepulauan Banda dan berhasil pula menjalin hubungan perdagangan di sana. Di Hitu, Belanda tertarik untuk memperoleh cengkih sedangkan di Banda, Belanda menyasar komoditas buah Pala. Dari rangkaian perjalanan inilah Belanda tercatat berhasil membawa sejumlah rempah-rempah dengan keuntungan yang berlipat ganda. Oleh karena itu, sejak periode awal kedatangan ekspedisi Belanda yang berhasil membawa keuntungan besar, maka empat belas buah ekspedisi yang berbeda diberangkatkan dari Belanda ke wilayah Nusantara pada tahun 1601.
Khusus di wilayah Maluku Selatan, pada kunjungan Belanda pada tahun 1600, mereka berhasil meyakinkan pihak Hitu untuk melakukan kerjasama perdagangan serta sepakat memerangi Portugis yang saat itu menjadikan wilayah Leitimor (jazirah selatan Pulau Ambon) sebagai pusat kekuasaan. Pihak Hitu kemudian memberi izin pembangunan sebuah benteng di tempat berbatu karang yang bernama “Hatunuku” untuk Belanda. Benteng ini diberi nama “Kasteel van Verre” atau “Kota Warwijk”, yang juga merupakan benteng Belanda pertama di Asia. Dalam perjanjian yang disepakati antara pihak Hitu dan Belanda disebutkan pula, bahwa pihak Hitu harus menjual seluruh hasil panen cengkih kepada Belanda dengan harga yang telah disepakati. Peristiwa inilah yang menjadi tonggak awal Belanda dalam melakukan kontrak dagang tentang monopoli cengkih di Maluku. Dengan adanya kontrak yang telah disepakati dengan pihak-pihak penguasa rempah, maka sejak itu Belanda mulai muncul sebagai bangsa yang berhasil menjalankan bisnis rempah dan mampu memperoleh keuntungan yang begitu fantastis. Keuntungan yang diperoleh itu, tentu membawa optimisme baru bagi kalangan pejabat-pejabat perwakilan Belanda untuk bermimpi menjadi pemain utama dalam pasar perdagangan dunia. Berdasar optimisme itu pula kemudian Belanda mulai berani melangah lebih jauh dengan mendirikan badan usaha yang disebut Vereenigde Oost- indische Compagnie atau VOC pada tanggal 20 Maret 1602.
Secara historis, pendirian badan usaha ini sebenarnya telah diusulkan sejak tahun 1598 oleh Parlemen Belanda karena meningkatnya persaingan diantara perseroan-perseroan yang telah membiayai ekspedisi-ekspedisi pelayaran khususnya ke wilayah sumber rempah-rempah. Usulan ini kemudian diterima oleh keempat wakil dagang Belanda pada tahun 1602. Selain keuntungan besar yang diperoleh pada ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan, usulan untuk mendirikan suatu badan usaha juga dimaksudkan untuk menghadapi persaingan diantara badan usaha lain yang juga didirikan oleh pedagang-pedagang Eropa lainnya.
Situasi politik antara Hitu dengan Portugis yang memanas sejak peristiwa terbunuhnya Sultan Khairun di Kesultanan Ternate menjadi keuntungan tersendiri bagi VOC yang baru terbentuk. Bantuan VOC terhadap Hitu dalam perang melawan Portugis menjadi dalih bagi mereka untuk memperoleh keuntungan secara politis. Sejak terbunuhnya Sultan Khairun pada tahun 1570, Portugis memindahkan pusat kekuasaannya dari Ternate ke Pulau Ambon. Hal ini sekaligus menyebabkan konflik antara Hitu dan Portugis semakin sering terjadi. Serangan terhadap kedudukan Portugis di Pulau Ambon terjadi pada tahun 1600, dimana pihak Hitu mendapat bantuan dari Jepara. Kedudukan Portugis di Ambon kemudian jatuh pada tahun 1605 dalam sebuah serangan yang dipimpin oleh pihak VOC dan merebut kekuasaan dari Portugis.
Keberhasilan yang diperoleh VOC atas Portugis secara otomatis memberikan dampak ekonomi yang sangat besar, selain itu keberhasilan ini juga sekaligus berdampak pada situasi politik kewilayahan di Pulau Ambon. VOC menempatkan pusat pemerintahannya di wilayah Leitimor yang berkedudukan di wilayah bekas Portugis dan hanya menempatkan perwakilan pos perdagangan di Hila sebagai pusat administrasi perdagangan untuk wilayah pesisir utara Pulau Ambon.
Selanjutnya dengan memanfaatkan berbagai kontrak dagang serta kekuatan militer dan basis jaringan perdagangan, maka VOC semakin lama semakin banyak mencampuri urusan hingga kepada politik kekuasaan raja-raja di Maluku Selatan. Hal ini bisa dilihat dari sistem pemerintahan yang berlaku sejak kedatangan Belanda (VOC), sekitar abad-ke-17 adalah sistem pemerintahan desa yang dikenal dengan negeri. Dalam sistem pemerintahan tersebut, raja memiliki kedudukan tertinggi. Sistem pemerintahan ini merupakan bagian dari campur tangan Belanda, sehingga kedudukan raja sering kali adalah orang-orang yang berpihak kepada kepentingan Belanda. Hal ini dibuktikan dengan adanya semacam penghargaan berupa Kepala Tongkat berwarna emas yang merupakan simbol kekuasaan dalam sistem pemerintahan negeri. Selain Kepala Tongkat tersebut, bentuk penghargaan lain berupa Surat Penghargaan yang berisi tentang pujian terhadap seorang raja yang memiliki prestasi dalam produksi cengkeh. Dari adanya sistem pemerintahan yang sangat membatasi kedaulatan seorang pemimpin lokal tersebut, maka di waktu-waktu berikutnya secara leluasa VOC bisa memonopoli keadaan di Maluku hingga berani mengatur dan menetapkan wilayah-wilayah yang diperbolehkan menanam komoditas rempah-rempah.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza
Sumber:
M.C. Ricklefs. 2010. Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008.. Jakarta: Serambi
M. Adnan Amal, 2007; Kepulauan Rempah-Rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950, Makassar. Pukat
Syahruddin Mansyur. Benteng Amsterdam Di Pesisir Utara Pulau Ambon:Tinjauan Atas Aspek Kronologi dan Fungsi. Kapata Arkeologi Volume 11 Nomor 1, Juli 2015