(IslamToday.id) — Kehadiran agama Islam di tanah Jawa dibawa oleh para pedagang maupun mubaligh muslim melalui kota-kota yang sejak dulu sudah menjadi pelabuhan di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan Hindu Budha. Adapun kota-kota awal itu diantaranya Gresik, Tuban hingga Cirebon menjadi pintu masuk utama bagi dakwah Islam pada generasi awal.
Islamisasi yang terjadi di beberapa kota pesisir utara Jawa dari bagian Timur sampai ke Barat lambat launnya menyebabkan munculnya Kerajaan Islam, berturut-turut dari Demak ke arah barat muncul Cirebon dan Banten, dan dari Demak ke arah pedalaman muncul Kerajaan Pajang dan terutama Mataram. Pengembangan agama Islam ini, dari periode awal hingga berdirinya Kerajaan Demak tidak terlepas dari peran mubaligh-mubaligh handal, yang di kemudian hari lebih dikenal sebagai Wali Sanga (Wali Sembilan). Para wali tidak hanya mengambil peranan penting di bidang keagamaan saja tetapi juga di bidang politik dan pemerintahan.
Sejarah Peradaban Islam menjelaskan, pengembangan agama Islam di Jawa bersamaan dengan melemahnya posisi Raja Majapahit. Hal tersebut memberi peluang kepada penguasa-penguasa Islam di pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan yang independen. Di bawah pimpinan Sunan Ampel Denta ,Wali Sanga bersepakat mengangkat Sultan Fatah menjadi Raja pertama kerajaan Demak.
Mengenai silsilah Sultan Fattah, masih banyak versi yang berkembang di masyarakat umum maupun para sejarawan. Adanya berbagai versi ini, lantaran banyak sumber tertulis yang umumnya berupa babad memberikan banyak uraian yang tidak serupa. Namun dari berbagai sumber itu, bisa diambil benang merah, bahwa Sultan Fattah adalah putra dari Bhre Kertabumi yang bergelar Brawijaya V dan berkuasa pada tahun 1468-1478 M. Bhre Kertabhumi dikisahkan memiliki seorang permaisuri yang berasal dari negeri Campha bernama Ratu Dwarawati yang beragama Islam. Di sisi lain, berkat relasi baiknya dengan negeri-negeri di kawasan Asia yang beragama Islam, Bhre Kertabhumi suatu ketika mendapatkan hadiah seorang puteri cantik dari China bernama Li Ang kemudian dinikahinya atas restu sang permaisuri. Tetapi karena lambat laun Ratu Dwarawati merasa perhatiannya sebagai permaisuri kalah dengan istri baru tersebut, maka disuruhnya sang Raja mengembalikan putri Li Ang ke negeri asalnya.
Dengan berat hati akhirnya Bhre Kertabhumi menceraikan sang putri dari China tersebut. Namun karena diketahui tengah mengandung, maka sang putri tak langsung dipulangkan ke China, tetapi diberikan kepada anaknya Arya Damar di Palembang untuk dijadikan istrinya, dengan syarat tidak boleh dicampuri hingga anak yang dikandung telah lahir. Arya Damar pun mematuhi perintah ayahhandanya, hingga kemudian bayi yang dikandung oleh putri itu lahir dan diberi nama Raden Hasan atau Raden Patah atau juga dalam sumber lain disebut Jimbun yang artinya orang kuat. Raden Hasan dari ibu yang sama namun dari ayah Arya Damar juga diketahui memiliki adik bernama Husein atau Kusen atau Timbal yang kelak diangkat sebagai Adipati Terung.
Setelah memasuki usia senja, Arya Damar yang telah beragama Islam memutuskan untuk turun tahta dan menjadi “beghawan” atau dalam istilah muslim bisa disebut menempuh jalur sufi. Ia mewariskan tahta Palembang kepada anaknya yatu Raden Hasan sebagai Adipati dan Raden Husein sebagai wakilnya. Mendengar hal tersebut, Raden Hasan yang masih muda dan merasa dirinya belum pantas menerima amanat tersebut terpaksa menolak pemberian jabatan tersebut dan pada suatu malam memutuskan untuk pergi meninggalkan kota kerajaan Kadipaten Palembang. Pada awalnya, Raden Hasan tidak tahu hendak menuju kemana, ia hanya mengikuti langkah kakinya hingga berhenti dan beristirahat di sebuah tepi telaga.
Sang adik (Raden Husein) cukup kaget mendengar kakaknya pergi meninggalkan Palembang, tanpa pikir panjang ia memutuskan untuk segera menyusul kakaknya. Garis nasib nampaknya masih menghendaki pertemuan mereka. Raden Husein mampu mengejar Raden Hasan yang ditemuinya sedang beristirahat di tepi sebuah telaga. Setelah lama berbincang justru keduanya memutuskan untuk pergi ke Jawa dan mengabdi kepada Raja Brawijaya di Majapahit. Mereka pun meneruskan perjalanan dan sempat dihadang oleh dua begal bernama Supala dan Supali. Kedua bersaudara ini ternyata tidaklah takut, selama tumbuh di lingkungan Kadipaten Palembang mereka telah dilatih dan menguasai ilmu beladiri tingkat tinggi, alhasil perlawanan rombongan kedua begal tersebut tidak berlangsung lama dan akhirnya dapat dikalahkan dengan mudah.
Untuk menuju ke Majapahit dua bersaudara tadi memutuskan untuk menumpang kapal saudagar yang rutin melewati kawasan Palembang dan menuju ke Jawa. Beberapa versi menyebutkan, bahwa sebelum sampai ke wilayah Majapahit, dua bersaudara tersebut sempat singgah di kawasan Semarang untuk memperbaiki kondisi kapal. Kemudian dari sana barulah melanjutkan perjalanan menuju Majapahit dan turun di wilayah Ampeldenta. Sesampainya di Ampel, keduanya bertemu dengan Sunan Ampel yang sangat kharismatik, banyak muridnya dan luas wawasan keilmuannya. Setelah berunding mereka berdua memutuskan untuk berguru kepada Sunan Ampel.
Setelah lama berguru, Raden Husein pergi ke Majapahit dan mengabdi kepada Raja dan diangkat menjadi Adipati Terung. Tetapi Raden Patah tetap tinggal di Ampel dan dinikahkan dengan putri Sunan Ampel yang bernama Nyai Ageng Maloka. Setelah ilmunya dirasa cukup, maka Sunan Ampel memerintahkan Raden Patah untuk pergi membuka daerah baru untuk berdakwah. Kepada Raden Patah, Sunan Ampel berpesan agar melakukan perjalanan ke arah barat, masuk wilayah hutan luas hingga menemukan padang ilalang yang harum baunya. Masyarakat mengenal daerah tersebut dengan sebutan Glagah Wangi, tetapi orang-orang terpandang menyebutnya dengan kawasan Bintoro. Disitulah Raden Patah harus bertempat tinggal. Tidak lama kemudian, setelah raden Patah berhasil membuka hutan, orang-orang mulai berdatangan ikut bermukim di kawasan itu dan berguru kepada Raden Patah. Setelah orang-orang banyak yang mau memeluk agama Islam maka Raden Patah kemudian mendirikan sebuah masjid kecil sebagai sarana ibadah dan mengajarkan ilmu agama.
Karena kepiawaian Raden Patah dalam mengelola sebuah wilayah, maka daerah tersebut tumbuh pesat menjadi sentra pemukiman yang makmur. Para nelayan mampu memperoleh tangkapan yang baik, para petani juga mampu memproduksi beras dan tanaman pangan dengan sangat melimpah. Hingga suatu ketika, Prabu Brawijaya V mendengar berita bahwa ada seorang yang berasal dari pedukuhan Bintoro terkenal kepiawaian dan kesaktiannya hingga keseluruh negeri. Didorong rasa ingin tahu yang begitu besar, Prabu Brawijaya memanggil para petinggi kerajaan untuk mengkonfirmasi hal itu. Adalah Adipati Terung lantas membenarkan kabar berita tersebut dan sekaligus mengabarkan, bahwa orang tersebut adalah saudara tuanya yang sama-sama berasal dari Palembang.
Setelah itu, Prabu Brawijaya kemudian memerintahkan Adipati Terung untuk membawa orang bernama Raden Patah ke Majapahit. Tidak membutuhkan waktu yang lama, Adipati Terung lalu bergegas menjalankan perintah dari rajanya dan pergi menjemput kakaknya yang berada di wilayah Bintoro untuk segera diajak menemui Raja di Majapahit. Setibanya Raden Patah di istana kerajaan, Sang Raja sangat terkejut, karena wajah raden Patah dinilai sangat mirip dengan Prabu Brawijaya. Setelah menelusuri sedikit silsilahnya, maka Prabu Brawijaya mengakui Raden Patah sebagai putranya, lalu diangkatlah dirinya sebagai Adipati Bintoro. Sang Prabu berpesan, jika kelak daerah tersebut tumbuh menjadi wilayah yang ramai dan mampu berdiri sebagai kerajaan agar nanti kerajaan tersebut diberi nama Demak. Kemudian setelah beberapa hari tinggal di Majapahit, Raden Patah diperbolehkan kembali ke kediamannya dengan diberi bekal 1 laksa abdi dalem, gajah, kapal, tandu dan pedati.
Dari sinilah Raden Patah terus mengembangkan dakwahnya, membangun pesantren hingga santrinya menembus angka 2.000 orang. Pada saat iru usia raden Patah baru menginjak 18 tahun dan pada tahun 1466 Raden Patah juga ikut bersama Prabu Brawijaya merebut kekuasaan Majapahit dari Bhre Pandan Salas. Peristiwa ini diabadikan dalam candra sengkala nogo sorpo wigno tunggal sengkala memet nogo mulat sariro wani yang berarti tahun 1388 SAKA.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza
Sumber
H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud, 2003. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti
Rachmad Abdullah, 2015. Sultan Fattah. Raja Islam Pertama Penakluk Tanah jawa (1482-1518M..Sukoarjo: Al-Wafi