(IslamToday.id) — Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Sebelumnya kerajaan Demak merupakan keadipatian atau wilayah vassal dari kerajaan Majapahit. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1482 M. Raden Patah sendiri adalah bangsawan kerajaan Majapahit yang telah mendapatkan pengukuhan dari Prabu Brawijaya yang secara resmi menetap di Glagah Wangi dan mengganti nama daerah tersebut dengan sebutan Demak Bintara. Raden Patah menjabat sebagai Adipati Kadipaten Bintara, Demak. Atas bantuan dan dukungan daerah-daerah lain yang sudah lebih dahulu menganut Islam seperti Jepara, Tuban dan Gresik, ia mendirikan Kerajaan Islam dengan Demak sebagai pusatnya. Sebab utama Raden Patah sebagai adipati Islam di Demak memutuskan ikatan dengan Majapahit saat itu, tak lain karena kondisi Kerajaan Majapahit yang memang sudah jatuh dalam kondisi lemah. Bisa dikatakan munculnya Kerajaan Demak merupakan suatu proses Islamisasi hingga mencapai bentuk kekuasaan politik. Apalagi munculnya Kerajaan Demak juga dipercepat dengan melemahnya pusat Kerajaan Majapahit sendiri, akibat pemberontakan serta perang perebutan kekuasaan di kalangan keluarga raja-raja.
Dalam bukunya Sultan Fattah, Raja Islam Pertama Penakluk Tanah Jawa, Rachmad Abdullah merinci dari awal bagaimana kronologis berdirinya Kesultanan Demak sebagai sebuah pemerintahan yang berdaulat. Bermula dari keberhasilannya mengembangkan sebuah kawasan yang bernama Glagah Wangi atau Bintoro, Raden Patah begitu disenangi oleh Brawijaya V dan diangkat sebagai Adipati Anom Natapraja Bintoro pada tahun 1477 M. Pengangkatan tersebut diikuti dengan pemberian tanah perdikan di seluruh kawasan Bintoro ditambah Ampeldenta, Madura, Gresik dan Tuban.
Sedikit menengok kebelakang, kebaikan hati Brawijaya V kepada Raden Patah tak hanya semata-mata karena Raden Patah merupaan anak kandungnya, namun lebih daripada itu, Raden Patah juga tercatat pernah menjadi salah satu elemen penting dalam usaha Brawijaya V merebut kembali Kekuasaan Majapahit yang sempat direbut oleh Prabu Pandan Salas hingga dirinya tersudut ke wilayah Daha (Kediri).
Rupanya ambisi Daha untuk merebut kekuasaan Majapahit tidak pernah surut, setelah Pandan Salas meninggal, kepemimpinan diambil alih oleh anaknya yang bernama Prabu Bethara Girindra Wardhana Dyah Rana Wijaya. Seperti ayahnya, Girindra Wardhana juga berambisi untuk kembali menyerang Trowulan dan merebut Majapahit dari Bhre Kertabhumi (Brawijaya V). Tepat pada tahun 1478 M, penyerangan besar-besaran dilakukan oleh pasukan Kediri ke jantung pemerintahan Majapahit. Serangan tersebut ternyata memberikan efek kejut pada pertahanan Majapahit dibawah kepemimpinan Brawijaya V. Ketidaksiapan pasukan inti yang berada di Trowulan mengakibatkan, ibukota praja Majapahit dengan singkat bisa diambilalih pasukan Girindra Wardhana. Prabu Brawijaya V pun menyingkir dari ibu kota, namun tidak banyak orang yang tahu kemana dirinya menyembunyikan diri.
Setelah berhasil menguasai Majapahit, Girindra Wardhana kemudian mengangkat dirinya sebagai Raja dengan Gelar Brawijaya VI. Pengambilan gelar ini, bertujuan agar rakyat dan keluarga keturunan Brawijaya IV mau melegitimasi kepemimpinan barunya atas kerajaan Majapahit. Selain itu, penggunaan gelar Brawijaya juga dimaksudkan agar daerah-daerah yang berada di pesisir seperti Tuban, Rembang, Jepara, Gresik dan lain-lain bisa kembali dan mau menjadi bagian kekuasaan Majapahit yang kala itu hanya menyisakan wilayah Jenggala, Daha dan Kediri.
Rencana dan harapan Girindra Wardhana nampaknya tidak berjalan mulus. Hal ini dikarenakan masih banyak adipati yang faktanya tidak mau tunduk kepada Majapahit dibawah kepemimpinannya. Keengganan ini didasari fakta logis dimana Girindra Wardhana dianggap tidak layak memimpin Majapahit karena bukan merupakan keturunan Raden Wijaya sebagai pendiri Kerajaan, namun dirinya berasal dari keturunan Jayakatwang, Raja terakhir Singasari.
Mendengar kekalahan yang dialami oleh Brawijaya V serta ditambah keberadaanya yang masih menjadi misteri, maka Raden Patah segera mengambil tindakan. Dirinya mempersiapkan pasukan yang cukup besar untuk melakukan ekspedisi ke wilayah Majapahit yang dikuasai Girindra Wardhana. Pasukan besar itu dipimpin langsung oleh Raden Patah sebagai Senopati Manggoloyudha. Ikut bersama Raden Patah para wali yang senantiasa menjadi pembimbing spiritual sekaligus sebagai pimpinan satuan prajurit yang gagah perkasa. Setelah menempuh rute jalur darat, masih pada tahun yang sama yaitu tahun 1478 M, pasukan Demak sampai di wilayah perbatasan Majapahit. Tak butuh waktu lama pecahlah perang dahsyat. Pasukan Girindra Wardhana mulai terdesak mundur jauh ke wilayah Majapahit. Melihat situasi yang terjepit, Girindra Wardhana tak hilang akal. Dia memanfaatkan kesetiaan Adipati Terung untuk membantu mengatasi serangan Demak. Seperti diketahui, Adipati Terung adalah adik seibu dari Raden Patah yang bernama Raden Husein. Dengan adanya bantuan dari Terung, maka pasukan Majapahit mendapatkan tenaga baru yang lebih segar, sementara Demak tidak mampu mengatasi hal ini. Dengan berbagai pertimbangan, maka akhirnya Demak menarik pasukan untuk mundur.
Setelah menarik mundur pasukan, banyak versi yang menceritakan keberadaan Prabu Brawijaya V. Namun secara umum, lebih banyak sejarawan memilih untuk mengambil versi yang mengatakan, bahwa setelah Demak menarik mundur pasukan dari wilayah Majapahit, Raden Patah mendapatkan kabar tentang keberadaan Prabu Brawijaya V dari Empu Supa. Ia menyampaikan kabar bahwa Prabu Brawijaya masih hidup dan sementara ini mengasingkan diri di lereng Gunung lawu sebalah Barat. Empu Supa juga menyampaikan bahwa Prabu Brawijaya segera ingin bertemu dengan Raden Patah dan mau memeluk Islam.
Dengan didampingi Sunan Giri, Sunan Kaliaga dan Empu Supa, Raden Patah menemui Prabu Brawijaya V di Gunung Lawu. Setelah Prabu Brawijaya telah menyerahkan pusaka disertai pesan berharga, beliau menghendaki masuk Islam dan memohon kepada Sunan Kalijaga untuk menuntun persaksiannya masuk Islam. Setelah masuk Islam, Prabu Brawijaya selanjutnya diberi nama baru Darmo Kusumo.
Tak lama setelah Prabu Brawijaya V masuk Islam, persembunyiannya segera diketahui oleh Girindra Wardhana. Dengan penuh kebencian, dikirimlah sejumlah pasukan ke Gunung Lawu untuk menumpas sisa keluagra Brawijaya V. Pada bagian ini juga banyak versi tentang kisah kelanjutan nasib Prabu Brawijaya V. Satu versi mengatakan bahwa sebelum masuk Islam Prabu Brawijaya sempat membuat candi sebagai tempat peribadatan, yaitu Candi Sukuh dan dan Candi Ceto. Dengan adanya pengejaran yang dilakukan oleh prajurit Girindra Wardhana yang dipimpin oleh Bupati Cepu, maka Brawijaya V melakukan moksa dan meninggalkan kutukan bagi keturunan Bupati Cepu apabila mendekati Gunung Lawu akan hilang sebagi tumbal ke angakaramurkaan leluhurnya.
Adapun versi lain mengatakan, bahwa dalam pengejaran tersebut Prabu Darma Kusumo ahirnya bisa melarikan diri namun tak lama kemudian meninggal dunia, dan jenazahnya di makamkan di sebelah barat laut Masjid Agung Demak dengan panjang kijing sekitar 5 meter.
Setelah peristiwa itu, Girindra Wardhana semakin brutal dengan terus melakukan aksi penumpasan sisa keturunan Prabu Brawijaya V. Hal ini tentu juga ditangkap dengan serius oleh Demak. Cepat atau lambat Girindra Wardahana pasti akan memburu Raden Patah. Melihat situasi yang terus memanas, Raden Patah pun mengambil keputusan untuk melakukan penyerangan besar-besaran terhadap Girindra Wardhana.
Pada tahun 1481 M, disiapkan sejumlah pasukan yang besar untuk diberangkatan dalam ekspedisi penyerangan ke jantung ibukota Majapahit. Untuk ekspedisi kali ini dipimpin oleh Sunan Kudus (Ja’far Shadiq) sebagai Senapati Manggolo Yudho. Beliau memiliki dua keris yang diberinama Ciptaka dan Cintaka serta diiringi dua panji berwarna hijau. Selain Sunan Kudus, turut juga menyertai peperangan ini diantaranya Sunan Giri, Sunan Mejagung dan Sunan Gunung Jati. Adapun jumlah pasukan Demak adalah 9.100 orang. Pasukan itu terdiri atas 40 Prajurit dari Campa, 7 prajurit Mejagung, 40 santri Cirebon, 7 prajurit dari Gunung Srandil, Sunan Maulana Maghribi membantu dengan 7 prajurit khusus dari Andalusia, santri Sunan Kalijaga sebanyak 40 orang, 7 prajurit dari Malaka, 40 prajurit dari Aceh, 7 prajurit dari Sukadana dan sisanya prajurit dari Demak. Adapun persenjataan yang dibawa diantaranya keris, golok, pedang, tombak dan panah. Khusus untuk pasukan pemanah api, mereka memiliki kesatuan khusus yang diberi nama pasukan sorogenen.
Setelah dipimpin doa dan memohon perlindungan dan kemenangan kepada Allah SWT, maka pasukan besar Demak bergerak dan melakukan strategi supit urang (pengepungan) dalam melawan tentara Majapahit Girindra Wardana. Pasukan Demak dipecah kedalam kesatuan-kesatuan mengelilingi wilayah musuh. Di malam hari mereka banyak membuat api unggun sehingga pasukan Majapahit sempat gentar, mengira pasukan Demak berjumlah sangat banyak. Setelah matahari terbit, perang pun pecah dengan sengit. Dengan adanya pasukan-pasukan khusus dari berbagai wilayah, nampak pasukan Demak tak butuh waktu lama untuk bisa menggempur pasukan Girindra Wardhana. Mereka kocar-kacir banyak yang melarikan diri. Pasukan Demak terus merangsek maju, hingga sampai di kota praja Trowulan, ternyata istana sudah dikosongkan.
Melihat kondisi yang tidak memungkinkan melakukan perlawanan maupun melarikan diri, akhirnya Girindra Wardhana menyerahkan diri sebagai tawanan. Sementara itu Adipati Terung adik dari Raden Patah tidak mau menyerahkan diri dan memilih untuk melarikan diri. Peristiwa besar dan keunggulan akhlak Raden Patah nampak jelas pada peristiwa setelah penyerahan diri oleh Girindra Wardana. Bukannya mendapatkan hukuman mati ataupun dijadikan tawanan seumur hidup, tetapi justru Girindra Wardhana mendapat pengampunan dari Raden Patah dan diberikan wilayah Majapahit namun posisinya dibawah vassal dari Demak. Sementara itu nasib Adipati Terung yang awalnya enggan menyerah akhirnya juga memutuskan untuk bergabung dan mengabdikan diri kepada kepemimpinan kakaknya Raden Patah.
Akhirnya setelah beberapa masalah administrasi perpindahan wewenang dan kekuasaan yang memakan waktu 40 hari, maka pada tanggal 12 Rabiul Awwal 860 H atau bertepatan pada tahun 1482 M, pada umur 34 tahun Raden Patah diangkat sebagai Raja dari Kesultanan Demak Bintara. Adapun secara lengkap beliau memiliki gelar Sultan Fattah Syekh Alam Akbar Panembahan Jimbun Abdrrahman Sayyidin Panotogomo Sirullah halifatullah Amiril Mukminin Hajjuddin Hamid Khan Abdul Fattah Surya Alam.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza
Sumber:
H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud, 2003. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti
Rachmad Abdullah, 2015. Sultan Fattah. Raja Islam Pertama Penakluk Tanah jawa (1482-1518M..Sukoarjo: Al-Wafi
MC Ricklefs. 2005. Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004. Penerbit Serambi